Oleh: Anggia Leksa Putri
Kebijakan Kemenkeu 2026 yang diunggah oleh sebuah akun X pada pada Rabu 29 Januari 2025 menuai beragam tanggapan dari warganet Indonesia. Mengapa isu ini menjadi hangat untuk dibicarakan? Nampaknya banyak netizen Indonesia yang beranggapan bahwa penempatan prioritas dari kebijakan Prabowo-Gibran tidak sepenuhnya tepat. Dikarenakan anggaran Kemenkeu di bidang Pendidikan dan juga Kesehatan yang seharusnya berada di prioritas utama, ditempatkan pada prioritas pendukung. Warganet Indonesia menyoroti bahwa masih banyak sekali kesenjangan Pendidikan di wilayah-wilayah di luar pulau Jawa, terlebih lagi gaji yang seharusnya diterima oleh para tenaga kerja kesehatan dan pendidikan Nampak tidak sesuai dengan kinerja yang mereka keluarkan untuk masa depan generasi bangsa.
Mari kita telisik lebih lanjut mengapa penempatan prioritas di era kepemimpinan Prabowo-Gibran Nampak kurang tepat apabila diimplementasikan di Indonesia, terlebih lagi jika kita ingin mencapai Indonesia emas 2045. Dalam membangun suatu bangsa, ada dua faktor utama yang akan menjadi penentu nasib masa depan generasi muda di kemudian hari. Pertama adalah pendidikan, disinilah para generasi muda dipupuh dan sudah seharusnya difasilitasi dengan baik oleh negara, tetapi pada kenyataannya masih banyak sekali sekolah-sekolah di Indonesia yang mengalami kesenjangan pendidikan baik secara kualitas pengajar maupun fasilitas yang disediakan oleh sekolah. Pemerintah sudah seharusnya menempatkan fokus utama mereka untuk membangun sekolah-sekolah tersebut, serta memperhatikan murid-murid khususnya di luar pulau Jawa agar dapat merasakan pengalaman belajar yang serupa sehingga nantinya mereka juga dapat bersaing di dunia kerja. Kita dapat mengambil contoh dari negara Korea Selatan yang memiliki tahun kemerdekaan tak jauh dari Indoneisa, lalu apa faktor mereka dapat menjadi negara maju dengan waktu yang cukup cepat? Karena Korea Selatan berhasil dalam membangun pendidikannya.
Sejak awal merdeka, negara tersebut berani untuk menginvestasikan anggaran pemerintah di bidang pendidikan, alhasil negara Korea Selatan dapat memfasilitasi generasi nya dengan sangat baik, tercipta pula lingkungan kompetitif yang mendorong mereka untuk terus berinovasi dan melaju pesat sebagai negara maju, serta memperluas aksesibilitas pendidikan di wilayah-wilayah selain ibu kota nvestasi ini bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja yang lebih terampil dan produktif, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Domino effect yang diberikan oleh pendidikan adalah sangat besar, mungkin kita tidak akan melihat hal tersebut dari jangka waktu dekat. Namun, yang pasti makanan bergizi gratis bukanlah urgensi yang harus diprioritaskan pemerintah. Di beberapa kasus, makanan bergizi gratis memang dapat memuaskan kalangan masyarakat tertentu dengan alasan yang mereka butuhkan adalah ‘perut kenyang’ tetapi apabila kita kaji hal tersebut untuk melihat apakah program tersebut pantas diprioritaskan oleh pemerintah yang bahkan memotong anggaran untuk bidang lain, tentu saja tidak.
Bidang Pendidikan adalah sesuatu yang mengakar, apabila seseorang memiliki pondasi pendidikan yang baik, maka dari segi pemikirannya akan berbeda, mereka akan lebih mudah untuk mencari pekerjaan serta membangun kemajuan ekonomi keluarga serta daerahnya tanpa harus menunggu ‘program sumbangan’ seperti bantuan sosial ataupun makanan bergizi gratis dari pemerintah. Sementara untuk saat ini, makanan bergizi gratis hanya menyelesaikan permasalahan di tingkat dasar, perut mereka mungkin akan kenyang dalam hari itu namun kualitas pendidikan mereka tidak meningkat secara signifikan, hal ini tentu akan berdampak pada terulangnya permasalahan permasalahan yang sudah lama mengakar di Indonesia seperti kemiskinan struktural.
Selanjutnya adalah bidang kesehatan. Indonesia mungkin belum dapat dikatakan sebagai negara yang memiliki urgensi tertentu karena jumlah penduduk kita masih dalam angka yang cukup produktif, namun seringkali ditemukan kesejahteraan yang diterima oleh tenaga kesehatan (dan pendidikan) masih belum dapat terpenuhi dengan baik. Gaji yang mereka terima tidaklah sebanding dengan biaya yang mereka keluarkan dalam menempuh pendidikan. Selain itu, hal mengkhawatirkan lainnya adalah rasio dokter Indonesia yang tidak dapat dikatakan baik. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut Indonesia masih kekurangan 110 ribu dokter umum untuk mencukupi penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan di Tanah Air.
Budi menjelaskan, dengan populasi 280 juta, Indonesia butuh 280 ribu dokter. Sekarang yang baru terpenuhi 170 ribu dokter. Banyak faktor yang mendasari hal tersebut dapat terjadi seperti (1) biaya pendidikan yang cukup mahal, pemerintah seharusnya memberikan biaya bantuan lebih khsusus untuk menempuh kedokteran agar dapat diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat (2) Penghasilan seorang dokter belum dapat dikatakan ‘sejahtera’ justru banyak dari mereka yang underpaid.
Apabila kita menarik kesimpulan, pemerintah sudah seharusnya mengkaji lebih lanjut terkait penempatan prioritas penganggaran program selama kepemimpinan Prabowo-Gibran, karena pada sejatinya jantung sebuah negara adalah pada pendidikan dan juga kesejahteraan di bidang kesehatan-nya. Dengan menuntaskan permasalahan secara lebih terukur dan mengakar, tidak hanya mengatasi permasalahan di tingkat dasar, Indonesia akan menjadi suatu negara yang dapat berprogress dengan cepat. Implementasi hal tersebut harus dilakukan dengan kolaborasi secara Penta-helix. Selain itu, pemerataan serta peningkatan kesejahteraan baik di bidang pendidikan atau kesehatan sudah seharusnya menjadi fokus utama agar Indonesia benar-benar dapat mengimplementasikan bunyi Pancasila ke-5 yakni ‘Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.***