Oleh: Vinda Ramadhani, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Di saat hawa nafsu tidak mampu dibendung, menguasai jiwa, kemudian membabi buta mencari mangsa. Saat itu pula, moral sudah tidak baik-baik saja. Mata yang hanya mendengarkan, bukan melihatnya secara nyata, berpikir yang diam saja patut disalahkan. Lantas apa kabarnya yang jadi mangsa? Sepertinya “Indonesia Darurat Kekerasan Seksual” bukan sekadar bualan.
Tiap tahun ke tahunnya, angka kasus kekerasan seksual di Indonesia kian melonjak. Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh ibu atau ayah ke anaknya, guru ke muridnya, dan masih banyak lagi. Kekerasan seksual itu bahkan sering kali menjamah ke lingkungan yang biasanya kita anggap aman. Ketika berita-berita itu muncul ke permukaan, reaksi kita mungkin akan terbagi menjadi dua. Pertama, kenapa pelaku bisa sampai segitunya? Dan kedua, Apa yang dilakukan korban, kenapa dia tidak melaporkannya lebih cepat? Hal itu yang terjadi jika kita hanya membaca penggalan berita tanpa mendalami apa yang sebenarnya terjadi.
Menilai Tanpa Memahami
Diketahui seorang lansia pemilik panti asuhan di Surabaya berumur 60 tahun melakukan pencabulan dan kekerasan seksual terhadap anak asuhnya selama 3 tahun usai bercerai dengan istrinya. Bagaimana bisa hal itu berlangsung hingga bertahun-tahun? Banyak dari kita terlalu cepat menilai, tanpa mencoba memahami apa yang sebenarnya dirasakan korban. Begitu sebuah kasus kekerasan seksual mencuat, reaksi pertama sering kali bukan empati, tetapi pertanyaan penuh kecurigaan: “Kenapa baru melapor?” atau “Kenapa tidak melawan?” Seakan-akan keberanian melawan atau melapor adalah sesuatu yang bisa dengan mudah dilakukan oleh semua orang.
Ketika Trauma Melumpuhkan
Banyak yang berpikir bahwa korban kekerasan seksual seharusnya bisa berteriak, menendang, atau melawan. Tapi tidak semua orang memahami bagaimana trauma bekerja dalam tubuh manusia. Dalam psikologi, ada fenomena yang disebut tonic immobility, di mana seseorang menjadi tidak bisa bergerak atau berbicara saat menghadapi ancaman yang luar biasa. Ini bukan pilihan. Ini adalah respons otomatis tubuh terhadap ketakutan yang sangat besar. Tonic immobility terjadi ketika otak mendeteksi bahwa perlawanan akan sia-sia. Alih-alih bertarung atau lari, tubuh memilih diam—membeku dalam ketakutan. Ini bisa terjadi dalam hitungan detik, menit, bahkan berjam-jam. Sayangnya, banyak yang tidak memahami hal ini dan justru menggunakannya sebagai alasan untuk menyalahkan korban.
Ketimpangan Kekuasaan yang Membungkam Korban
Dunia tidak pernah benar-benar adil bagi mereka yang tidak memiliki kuasa. Begitu pula dalam kasus kekerasan seksual. Posisi pelaku yang lebih dominan menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus oleh korban. Bagi mereka, melawan bukan hanya soal keberanian, tetapi juga soal melawan kekuatan yang jauh lebih besar. Ketimpangan ini juga diperparah dengan ancaman dan manipulasi yang kerap dilakukan oleh pelaku. “Kalau kamu cerita, kamu tidak akan dipercaya.” “Kamu akan kehilangan tempat tinggal.” “Tidak ada yang akan membelamu.” Ucapan-ucapan seperti ini bukan hanya menanamkan rasa takut, tetapi juga membuat korban merasa sendirian, seakan tidak ada tempat untuk mencari perlindungan.
Hukum yang Sering Kali Tidak Berpihak pada Korban
Andai saja keadilan di negeri ini bisa dipegang teguh, mungkin kita tidak akan melihat korban kekerasan seksual ragu untuk melapor. Tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Banyak kasus di mana pelaku yang seharusnya dihukum berat malah mendapat keringanan. Banyak korban yang suaranya dipadamkan, bukan oleh pelaku saja, tetapi juga oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Banyak kasus pelecehan seksual yang justru berakhir dengan pelaku bebas berkeliaran, sementara korban harus menanggung trauma seumur hidup. Jika hukum seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan, mengapa sering kali justru menjadi penghalang bagi korban untuk mendapatkan keadilan?
Korban yang Seharusnya Dilindungi, Bukan Diminta Berjuang Sendiri
Kita seringkali lupa bahwa banyak dari korban kekerasan seksual adalah anak di bawah umur. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil mereka dengan aman, bukan justru menjadi korban kebiadaban orang-orang yang seharusnya menjaga mereka. Seharusnya, perlindungan itu ada sejak awal, tanpa harus diminta. Tapi kenyataannya? Kita baru bergerak setelah ada korban. Kita baru peduli setelah ada kasus yang viral. Kita baru bersuara ketika luka sudah terlalu dalam. Tidakkah ini menyedihkan? Sejak kapan seorang anak harus berjuang sendirian untuk mendapatkan perlindungan? Sejak kapan kita hanya bertindak setelah semuanya terlambat?
Kasus kekerasan seksual yang terus meningkat bukan sekadar angka di berita. Di balik setiap kasus, ada korban yang menghadapi ketakutan, trauma, dan ketidakadilan. Mereka tidak diam karena ingin, tetapi karena keadaan yang membuat mereka sulit berbicara. Jika mereka bisa melawan, bukankah mereka sudah melakukannya sejak awal?
Kita sering bertanya, “Kenapa korban tidak melawan?” atau “Kenapa baru melapor?” tanpa benar-benar memahami beban yang mereka pikul. Tetapi, “apa yang sebenarnya terjadi di balik keputusan mereka untuk diam?” Banyak yang tidak menyadari betapa besar rasa takut dan trauma yang mereka alami. Dalam situasi yang penuh ancaman, melawan atau bahkan melapor bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tidak jarang, rasa takut akan balasan atau ketidakpastian akan keadilan membuat korban merasa terperangkap dan lebih memilih untuk menahan semuanya dalam diam.
Kita mungkin tidak bisa sepenuhnya merasakan apa yang dirasakan korban, tapi kita bisa berusaha untuk lebih memahami dan mendukung mereka. Sebelum bertanya “Kenapa mereka diam?” atau “Kenapa baru melapor?”, cobalah untuk melihatnya dari perspektif mereka. Ketika kita berhenti menyalahkan dan mulai memberikan ruang bagi mereka untuk berbicara, barulah kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan penuh empati. Jangan biarkan ketakutan dan ketidakadilan memaksa mereka untuk terus diam. Sebab, melawan bukanlah tugas yang seharusnya mereka pikul sendirian.***