Tuesday, 25 March 2025
HomeBeritaKelangkaan Gas Elpiji 3 Kg: Kebijakan Tergesa-gesa yang Menyulitkan Rakyat

Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kg: Kebijakan Tergesa-gesa yang Menyulitkan Rakyat

Bogordaily.net – Kelangkaan gas elpiji 3 kilogram (kg) atau yang sering disebut “gas melon” telah menjadi permasalahan serius di berbagai daerah di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan dampak signifikan bagi masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah yang sangat bergantung pada gas bersubsidi ini untuk kebutuhan sehari-hari. Kebijakan pemerintah yang melarang penjualan elpiji 3 kg di tingkat pengecer sejak 1 Februari 2025 menjadi sorotan utama dalam polemik ini.

Penyebab Kelangkaan Gas Elpiji 3 Kg
Pada 1 Februari 2025, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberlakukan kebijakan baru yang melarang pengecer menjual gas elpiji 3 kg. Tujuannya adalah memastikan distribusi subsidi tepat sasaran, sehingga gas bersubsidi ini hanya dapat diperoleh di pangkalan resmi Pertamina.

Namun, implementasi kebijakan ini menimbulkan masalah baru. Masyarakat yang sebelumnya terbiasa membeli gas elpiji 3 kg di pengecer atau warung kecil kini harus mengantre di pangkalan resmi. Hal ini menyebabkan antrean panjang dan kelangkaan pasokan di beberapa daerah. Bahkan, dilaporkan seorang ibu rumah tangga di Pamulang, Tangerang Selatan, meninggal dunia akibat kelelahan setelah mengantre berjam-jam demi mendapatkan gas melon yang sulit diperoleh. Ini menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dapat berujung pada dampak sosial yang merugikan masyarakat kecil.

Dampak Kebijakan terhadap Masyarakat
Kebijakan pelarangan penjualan gas elpiji 3 kg di tingkat pengecer berdampak luas pada masyarakat, terutama rakyat kecil dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyak warga yang kesulitan mendapatkan gas melon dengan harga subsidi, terutama di daerah yang minim pangkalan resmi. Antrean panjang di pangkalan resmi mulai terjadi akibat meningkatnya permintaan.

Selain itu, kebijakan ini juga mempengaruhi para pengecer atau warung kecil yang selama ini menjual elpiji 3 kg. Mereka kehilangan sumber pendapatan karena tidak lagi diperbolehkan menjual gas bersubsidi tersebut. Alih-alih memberikan solusi yang efektif, kebijakan ini justru menambah kesulitan bagi pedagang kecil dan masyarakat yang benar-benar membutuhkan subsidi. Ekonom UGM, Dr. Fahmy Radhi, MBA, menilai kebijakan ini justru berpotensi mematikan pedagang kecil dan menyusahkan konsumen untuk mendapatkan LPG 3 kg, bahkan melabrak komitmen pemerintah yang ingin berpihak pada rakyat kecil.

Kelangkaan gas elpiji 3 kg yang terjadi belakangan ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dalam distribusi gas bersubsidi perlu dievaluasi. Meskipun tujuan awalnya adalah memastikan subsidi tepat sasaran, implementasi yang tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan sosialisasi yang memadai justru menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Seharusnya, sebelum menerapkan kebijakan seperti ini, pemerintah terlebih dahulu memastikan distribusi yang stabil dan akses yang mudah bagi masyarakat kecil. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk mengatasi kelangkaan ini, seperti mengevaluasi kebijakan distribusi, menjamin ketersediaan gas bersubsidi di seluruh daerah, dan memastikan transparansi dalam pengelolaan subsidi energi agar benar-benar sampai ke masyarakat yang berhak.

Dalam konteks komunikasi, penting bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Tanpa komunikasi yang baik, kebijakan yang dibuat hanya akan menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat. Dengan komunikasi yang efektif dan transparan, diharapkan kebijakan yang diambil dapat diterima dan didukung oleh masyarakat luas, sehingga tujuan untuk menyejahterakan rakyat dapat tercapai tanpa menimbulkan polemik atau permasalahan baru.***

Nurul Hikmah | Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here