Bogordaily.net – Di zaman kolonial, akses terhadap informasi sangat terbatas. Hanya golongan tertentu yang berhak membaca berita, memahami politik, dan menentukan arah kebijakan. Kini, kita hidup di era digital, di mana informasi mengalir deras tanpa batas. Namun, pertanyaannya: apakah masyarakat benar-benar lebih tercerahkan, atau justru semakin tersesat dalam pusaran informasi yang simpang siur?
Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo, 2022), Indeks Literasi Digital Indonesia berada di angka 3,54 dari skala 5, yang berarti masyarakat kita masih berada di tingkat pemahaman yang sedang dalam memilah informasi. Data dari UNESCO (2022) menunjukkan bahwa 68% masyarakat menilai media sosial sebagai tempat utama penyebaran hoaks. Ini menandakan bahwa kebebasan informasi tidak serta-merta membuat masyarakat lebih sadar akan kebenaran. Justru, semakin bebas akses informasi, semakin banyak juga tantangan dalam memastikan keakuratan dan kredibilitasnya.
Sejak dahulu, informasi digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Di masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda mengendalikan surat kabar dan menerapkan sensor ketat terhadap tulisan yang dianggap berbahaya. Pramoedya Ananta Toer (1980) dalam bukunya Tetralogi Buru menggambarkan bagaimana kebebasan berpikir dan berbicara menjadi momok yang ditakuti oleh penguasa. Kini, meski tidak ada lagi penjajahan fisik, masyarakat tetap dikendalikan melalui informasi.
Media sosial, yang seharusnya menjadi wadah kebebasan berekspresi, justru menjadi alat untuk memanipulasi opini publik. Algoritma media sosial menentukan apa yang harus kita baca, iklan politik membentuk persepsi publik, dan berita palsu menggiring opini. Kominfo (2023) mencatat lebih dari 11.642 konten hoaks yang tersebar di internet hingga Mei. Hoaks politik, kesehatan, dan agama menjadi yang paling banyak ditemukan. Keadaan ini menunjukkan bahwa kendali terhadap informasi masih berada di tangan segelintir pihak yang memiliki akses dan kekuatan untuk membentuk narasi.
Dalam konteks politik, misinformasi sering kali digunakan untuk mendiskreditkan lawan atau memengaruhi hasil pemilu. Studi dari Oxford Internet Institute (2021) mengungkapkan bahwa kampanye disinformasi politik telah meningkat secara global, termasuk di Indonesia. Di tingkat lokal, Pemilu 2019 menjadi salah satu contoh bagaimana penyebaran hoaks dapat mempengaruhi pemilih. Laporan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo, 2019) menunjukkan bahwa selama periode pemilu, hoaks politik meningkat hingga 61,86% dibandingkan tahun sebelumnya.Ironisnya, di era kebebasan informasi, justru semakin sulit memilah mana yang benar dan mana yang sekadar manipulasi. Survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa hanya 21%-36% masyarakat yang mampu mengenali hoaks dengan benar. Mayoritas dari mereka mudah terpengaruh oleh narasi yang bersifat emosional dibandingkan dengan fakta yang objektif.
Hal ini sejalan dengan teori agenda-setting yang dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1972), di mana media memiliki kekuatan untuk membentuk isu yang dianggap penting oleh masyarakat. Akibatnya, hoaks yang tersebar luas dapat menggeser persepsi publik terhadap suatu peristiwa atau kebijakan. Contohnya adalah bagaimana hoaks terkait pandemi COVID-19 menyebar begitu cepat, menyebabkan ketidakpercayaan terhadap vaksinasi di kalangan masyarakat. Data dari WHO dan UNICEF (2021) menunjukkan bahwa sekitar 37% masyarakat Indonesia masih ragu atau menolak vaksinasi COVID-19 karena disinformasi yang beredar luas di media sosial.
Selain itu, penyebaran informasi yang cepat juga dipengaruhi oleh echo chamber dan filter bubble, di mana pengguna media sosial cenderung hanya terpapar dengan informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Hal ini semakin memperparah polarisasi di masyarakat. Misalnya, dalam isu politik atau agama, kelompok tertentu hanya akan mengonsumsi berita yang memperkuat keyakinan mereka tanpa mempertimbangkan perspektif lain. Hal ini berpotensi memperlebar jurang perbedaan dan menciptakan ketidakstabilan sosial.
Jika masyarakat tidak aktif dalam menyaring dan menyebarkan informasi yang benar, mereka hanya akan menjadi objek dalam permainan informasi. Langkah awal yang perlu diambil adalah meningkatkan literasi digital dan membangun kesadaran kritis dalam masyarakat. Berdasarkan survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2023), sekitar 210 juta masyarakat Indonesia menggunakan internet, tetapi tingkat literasi digital yang rendah membuat banyak di antaranya menjadi korban manipulasi informasi.
Dalam menghadapi tantangan ini, peran pemerintah, media, dan institusi pendidikan menjadi sangat penting. Pemerintah harus lebih proaktif dalam menyaring dan menindak penyebaran hoaks, bukan sekadar memberikan regulasi yang belum tentu efektif. Media arus utama juga harus lebih mengedepankan prinsip jurnalistik yang objektif dan bertanggung jawab. Sementara itu, pendidikan literasi digital harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah agar generasi muda memiliki keterampilan berpikir kritis sejak dini.
Informasi adalah senjata sekaligus perangkap. Di satu sisi, ia membuka wawasan, di sisi lain, ia bisa menyesatkan. Seperti yang ditunjukkan oleh berbagai data, masyarakat masih memiliki tantangan besar dalam memilah informasi yang benar. Hoaks dan propaganda terus merajalela, membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan tertentu. Oleh karena itu, masyarakat harus lebih kritis, tidak hanya menerima informasi, tetapi juga mempertanyakan dan mengolahnya.
Literasi digital harus menjadi agenda utama dalam pendidikan, agar setiap individu memiliki kemampuan untuk bertahan dalam arus informasi yang semakin deras. Sebab, di era modern ini, kebenaran bukan hanya sesuatu yang ditemukan, tetapi juga sesuatu yang harus diperjuangkan. Masyarakat yang cerdas dalam memilah informasi adalah kunci bagi demokrasi yang sehat dan masa depan yang lebih baik.***
Muhammad Umar Budiman
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB.