Oleh: Michelia Aisha Rangkuti, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
PT KAI Commuter baru saja mengumumkan kebijakan drastis mereka untuk menutup seluruh loket tiket di stasiun dan sepenuhnya beralih ke sistem pembayaran digital berbasis QRIS. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya transformasi digital guna meningkatkan efisiensi, mempercepat layanan, dan memberikan kenyamanan lebih bagi penumpang. Namun, di balik janji kemudahan tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini benar-benar mengakomodasi kebutuhan semua pengguna? Atau justru berisiko menimbulkan ketimpangan akses bagi masyarakat yang belum siap dengan digitalisasi penuh dalam transportasi umum?
Kemajuan Teknologi Seharusnya Tidak Mengorbankan Kelompok Rentan
Dalam era digital, inovasi dan teknologi memang menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Namun, kemajuan seharusnya tidak menghilangkan layanan konvensional yang masih dibutuhkan oleh sebagian masyarakat. Mengedepankan teknologi bukan berarti menghapus opsi yang sudah ada, melainkan harus menciptakan ekosistem yang lebih inklusif, di mana teknologi dan metode lama dapat berjalan beriringan serta saling melengkapi.
Menghapus loket tiket di stasiun berpotensi menyulitkan berbagai kelompok masyarakat, seperti lansia yang tidak familiar dengan teknologi, masyarakat ekonomi ke bawah yang tidak memiliki smartphone, serta anak-anak sekolah yang belum memiliki perangkat pribadi. Lalu, bagaimana dengan wisatawan asing atau masyarakat dari daerah terpencil yang masih terbiasa dengan pembayaran tunai? Transportasi umum seharusnya menjadi alat mobilitas bagi semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, bukan hanya mereka yang melek digital dan memiliki akses teknologi.
Digitalisasi atau Pengurangan Biaya Operasional?
Kebijakan ini juga menimbulkan prasangka bahwa alasan sebenarnya bukan hanya transformasi digital, tetapi juga penghematan anggaran. Dengan menutup loket tiket, PT KAI Commuter dapat memangkas biaya operasional dengan mengurangi jumlah pegawai yang harus digaji. Ini mungkin tampak efisien dari segi bisnis, tetapi apakah keputusan ini mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan pegawai dan kenyamanan penumpang?
Tak hanya itu, muncul beberapa opini dari pihak yang berspekulasi bahwa langkah ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam mengalihkan anggaran untuk program lain, seperti program makan siang gratis yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo. Jika benar, maka kebijakan ini berisiko menjadikan transportasi umum sebagai korban pemangkasan anggaran tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap pelayanan publik.
Memadukan Digitalisasi dengan Aksesibilitas
Jika PT KAI Commuter benar-benar ingin melakukan transformasi digital yang berkelanjutan dan inklusif, mereka seharusnya mempertimbangkan alternatif yang lebih ramah bagi semua pengguna. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah menyediakan mesin tiket yang menerima pembayaran tunai maupun digital. Dengan cara ini, transisi menuju digitalisasi tetap dapat berjalan tanpa langsung menghilangkan opsi pembelian tiket secara konvensional.
Selain itu, peran petugas stasiun juga harus ditingkatkan untuk membantu mereka yang belum terbiasa dengan sistem digital. Jangan sampai kebijakan ini justru membuat PT KAI lepas tangan dari tanggung jawabnya dalam memberikan layanan transportasi yang inklusif. Jika alasan utama penghapusan loket adalah untuk menghindari pengeluaran biaya pegawai, mengapa tidak mengalokasikan anggaran untuk pengadaan mesin tiket dan melatih petugas stasiun agar bisa membantu masyarakat yang kesulitan menggunakan sistem baru ini?
Serba Digital, bukan Serba Sulit!
Transportasi umum bukan sekadar alat mobilitas, tetapi juga sarana yang mencerminkan inklusivitas dan keadilan sosial. Kebijakan digitalisasi yang dilakukan secara tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan kelompok yang kurang mampu akan menciptakan kesenjangan baru dalam akses transportasi. Inovasi memang penting, tetapi harus diiringi dengan perencanaan yang matang serta mempertimbangkan seluruh elemen masyarakat.
PT KAI Commuter perlu memahami bahwa tidak semua pengguna siap dengan transisi ini. Digitalisasi seharusnya memberikan kemudahan, bukan menambah hambatan bagi kelompok masyarakat tertentu. Jika benar kebijakan ini dibuat semata-mata demi penghematan anggaran atau alasan politis, maka publik berhak mempertanyakan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari perubahan ini. Transportasi umum harus tetap menjadi fasilitas yang bisa digunakan oleh semua orang, tanpa terkecuali.***
Â