Friday, 28 March 2025
HomeBeritaKomunikasi Massa pada Peran Media Sosial dalam Membentuk Cancel Culture

Komunikasi Massa pada Peran Media Sosial dalam Membentuk Cancel Culture

Bogordaily.net – Cancel Culture adalah budaya yang membuat masyarakat/massa memboikot seseorang atau suatu brand. Aksi pemboikotan tersebut terjadi karena beragam hal, umumnya karena orang tersebut pernah melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap masyarakat tidak pantas, atau menyinggung pihak tertentu.

Media sosial berperan penting dalam membawa opini publik di era saat ini. Media sosial menjadi tempat masyarakat berinteraksi, menghibur diri, atau bahkan berekspresi. Kecenderungan masyarakat untuk melihat suatu isu dari sudut pandang media, membuat media sosial menjadi media yang mempercepat penyebaran informasi.

Informasi tersebut dapat berupa berita, isu yang sedang viral, bahkan hingga ungkapan opini publik yang dianggap menyinggung. Kemudahan dalam memperoleh informasi ini membuat media sosial menjadi salah satu media yang mempercepat terjadinya penyebaran Cancel Culture.

Sebab, di media sosial, masyarakat bebas beropini. Jika opini mereka menentang norma sosial yang berlaku, mereka akan mendapatkan sanksi berupa Cancel Culture dari beberapa pihak. Terutama pihak-pihak masyarakat yang terkena informasi tersebut.

Fenomena ini menarik untuk dibahas, karena percepatan informasi yang terjadi di media sosial saat ini, membuat kita sadar bahwa setiap kali kita memposting atau mengucapkan sesuatu, harus dipertanggungjawabkan kebenaran dan keasliannya.

Atau pun, jika saat kita beropini pada publik di media sosial, kita harus pandai dalam berucap, karena bisa jadi opini kita akan menjadi bumerang yang akan berbeda dari opini orang kebanyakan. Bumerang tersebut dapat berimbas pada kita yang terkucilkan, atau pun dihakimi oleh netizen atas perbedaan pendapat yang kita utarakan.

Hal tersebut dapat memungkinkan kita mendapatkan Cancel Culture dari masyarakat, akibat perbedaan kita yang menyinggung opini atau kepercayaan mereka.
Menurut kamus Merriam Webster, Cancel Culture merupakan praktik atau kecenderungan melakukan pembatalan massal sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan memberikan tekanan sosial.

Cancel culture merupakan sebuah praktik di mana sekelompok orang menarik dukungan terhadap individu, terutama tokoh publik atau selebriti, yang dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma sosial yang berlaku.

Fenomena ini sering digunakan sebagai bentuk ekspresi ketidaksetujuan dan upaya memberikan tekanan sosial. Biasanya, proses “pembatalan” ini terjadi di berbagai platform media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, di mana individu yang terkena Cancel Culture seringkali mengalami kritik tajam hingga terjadinya penurunan reputasi secara massal.

Media Sosial Sebagai Media yang Mempercepat Penyebaran Informasi
Media sosial berperan penting dalam mempercepat penyebaran informasi mengenai tindakan menyinggung yang dilakukan oleh Individu, tokoh publik atau selebriti.

Kecepatan dan jangkauan luas yang dimiliki media sosial memungkinkan isu dapat viral dalam waktu singkat, sehingga menciptakan tekanan sosial yang besar bagi individu yang terlibat. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui Teori Uses and

Gratifications (Blumler & Katz, Seperti dalam Karunia, H., Ashri, N. & Irwansyah, I. (2021)), yang menyatakan bahwa individu menggunakan media sesuai dengan kebutuhan dan kepuasan yang mereka cari.

Dalam Cancel Culture ini, pengguna media sosial terlibat karena beberapa alasan, seperti ingin berpartisipasi dalam keadilan sosial, mencari validasi, atau sekadar mengikuti tren yang sedang ramai. Alasan ini membuat Cancel Culture menyebar dengan cepat, karena semakin banyak pengguna yang membagikan dan mendiskusikannya di media sosial.

Banyak pengguna memperoleh informasi mengenai Cancel Culture melalui X, TikTok, dan Instagram. Di X, fitur trending dan retweet dapat mempercepat terjadinya diskusi secara publik serta memungkinkan isu berkembang dalam waktu yang singkat. Hal ini membuat terjadinya lonjakan orang terlibat dalam pembahasan.

TikTok memanfaatkan algoritma For You Page (FYP), yang membuat video dapat viral lebih cepat tersebar karena sistem rekomendasi berbasis interaksi pengguna.
Sementara itu, Instagram menyebarkan informasi melalui Reels, Feeds, dan Stories, di mana fitur repost memungkinkan konten terus beredar di berbagai jaringan pengguna, meskipun algoritma Instagram tidak seagresif TikTok. Masing masing platform memiliki peran tersendiri.

Cancel Culture dapat menyebar luas dalam waktu singkat dan dapat menciptakan tekanan sosial yang besar terhadap individu yang terkena dampaknya.

Dampak Positif dan Negatif Cancel Culture
Fenomena Cancel Culture yang berkembang di media sosial memiliki dampak positif dan negatif bagi individu maupun masyarakat, baik itu yang terlibat ataupun yang mengikutinya.

Salah satu dampak positifnya adalah meningkatnya kesadaran sosial terhadap berbagai isu seperti diskriminasi, pelecehan, dan ujaran kebencian. Cancel Culture mendorong individu, terutama tokoh publik dan selebriti untuk lebih berhati hati dalam bertindak dan berucap di ruang publik karena adanya tekanan sosial.

Hal ini sejalan dengan teori dramaturgi Erving Goffman, yang menjelaskan bahwa individu selalu berusaha menampilkan citra diri yang baik di depan publik layaknya seorang aktor di panggung sosial. Dengan adanya Cancel Culture, individu semakin sadar bahwa tindakan mereka dapat mempengaruhi reputasi sosial mereka.

Selain itu, Cancel Culture juga memberi ruang bagi kelompok yang mengalami ketidakadilan untuk menyuarakan pengalaman mereka. Melalui media sosial, isu-isu yang sebelumnya kurang diperhatikan, kini dapat diangkat dan didiskusikan secara luas.

Hal ini memungkinkan masyarakat untuk lebih memahami berbagai perspektif dan mendorong perubahan sosial yang lebih inklusif.

Cancel Culture disini berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang menekan perilaku yang dianggap tidak etis atau merugikan. Dengan adanya tekanan sosial ini, banyak individu dan institusi menjadi lebih bertanggung jawab dalam bertindak dan berkomunikasi.

Namun, di sisi lain, Cancel Culture juga memiliki dampak negatif, terutama dalam penyebaran informasi yang tidak selalu akurat.

Informasi yang tidak selalu akurat ini juga mampu membuat individu mengalami Cancel Culture tanpa adanya klarifikasi atau kesempatan untuk membela diri, sehingga dapat menyebabkan penghukuman sosial yang berlebihan. Dalam teori dramaturgi, Goffman menjelaskan bahwa

seseorang memiliki “front stage” dan “back stage” dalam kehidupannya. Ketika kesalahan dari “back stage” seseorang terbongkar dan diviralkan di media sosial, sering kali publik langsung menghakimi tanpa melihat konteks keseluruhannya. Akibatnya, individu yang terkena Cancel Culture dapat kehilangan reputasi, pekerjaan, bahkan mengalami tekanan mental yang berat.

Dampak negatif lainnya adalah munculnya ketakutan dalam berekspresi. Banyak individu yang menjadi ragu untuk menyampaikan opininya, karena khawatir akan serangan sosial yang bisa merusak reputasi mereka.

Cancel Culture yang tidak terkendali juga dapat berubah menjadi perundungan digital (cyberbullying), di mana seseorang tidak hanya dikritik, tapi juga mengalami ancaman dan tekanan psikologis.

Jika tidak diterapkan dengan bijak, cancel culture justru dapat menciptakan ruang yang penuh ketakutan, bukan tempat yang mendorong edukasi dan perubahan positif. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih selektif dalam menyikapi fenomena ini agar tetap dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang adil.

Cancel Culture merupakan fenomena yang berkembang pesat di media sosial sebagai bentuk kontrol sosial terhadap individu atau tokoh publik yang dianggap melanggar norma sosial atau melakukan hal yang menyinggung banyak orang.

Media sosial mempercepat penyebaran informasi terkait Cancel Culture melalui platform media sosial. Dampak positif dari fenomena ini adalah meningkatnya kesadaran sosial dan tanggung jawab individu dalam berperilaku di ruang publik. Selain itu, Cancel Culture juga memberikan suara bagi individu atau kelompok yang mengalami ketidakadilan.

Namun, Cancel Culture juga memiliki dampak negatif, seperti penyebaran informasi yang tidak selalu akurat, penghukuman sosial yang berlebihan, serta munculnya ketakutan pengguna dalam berekspresi.

Dalam perspektif teori dramaturgi Erving Goffman, individu berusaha menampilkan citra terbaiknya di ruang publik, tetapi kesalahan yang terekspos dapat merusak reputasi mereka secara drastis.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi Cancel Culture agar tidak menjadi bahan penghukuman yang tidak adil, melainkan mampu menjadi sarana edukatif yang mendorong perubahan yang lebih positif.***

Siti Marsya Asmarjeni Fadilah

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here