Bogordaily.net – Akhir-akhir ini masyarakat digemparkan dengan isu berita tentang pembangunan pagar laut di Tangerang. Selain itu banyaknya sertifikat yang berseliweran di area kawasan tersebut. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid akhirnya angkat bicara mengenai kemunculan pagar laut yang berada di Tangerang, Banten. Nusron menyatakan, pemilik ratusan SHGB itu ada perusahaan ada juga perorangan. Selain itu, ada juga 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan di lokasi tersebut.
“Jumlahnya 263 bidang dalam bentuk SHGB atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang dan PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang dan perseorangan sebanyak 9 bidang dan kemudian ada SHM surat hak milik atas 17 bidang, jadi berita yang muncul di media maupun sosmed adanya sertifikat tersebut setelah kami cek benar adanya,” ungkap Nusron dalam konferensi pers di kantor di Jakarta, Senin 20 Januari 2025.
Dalam pernyataan lainnya, Menteri Nasron menegaskan bahwa kebijakan penerbitan sertifikat tersebut telah melalui proses hukum yang sesuai dan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemilik lahan. Ia menyebutkan bahwa setiap tahapan telah mempertimbangkan aspek legalitas serta koordinasi dengan pihak terkait, termasuk pemerintah daerah dan instansi hukum lainnya. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum bagi pemilik lahan, tetapi juga diharapkan dapat mendorong iklim investasi yang lebih kondusif di wilayah pesisir. Namun, pernyataan ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat dan pemerhati lingkungan, yang mempertanyakan transparansi serta dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut terhadap ekosistem pesisir dan keberlanjutan ekonomi lokal.
Meskipun demikian, ada beberapa aspek yang perlu dikritisi. Pertama, bagaimana mekanisme penerbitan sertifikat ini bisa terjadi pada area yang rentan secara ekologis? Apakah ada kajian lingkungan yang telah dilakukan sebelum keputusan ini diambil? Beberapa aktivisme menilai bahwa kebijakan ini berpotensi merusak keseimbangan ekosistem pesisir.
Kedua, transparansi dalam proses penerbitan Surat Hak Milik (SHM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) masih menjadi tanda tanya. Masyarakat perlu mengetahui sertifikat yang diberikan apakah benar-benar mendukung atau hanya memicu konflik agraria. Banyak masyarakat yang berada di kawasan pesisir mendapatkan dampak yang besar dari kebijakan ini terhadap kelancaran mata pencaharian mereka, terutama nelayan yang bergantung pada ekosistem laut.
Selain itu, tanggapan Menteri Nusron yang menyatakan bahwa kebijakan ini untuk kepastian hukum perlu dikaji lebih lanjut. Kepastian hukum seharusnya tidak hanya diberikan kepada pemilik modal, tetapi juga kepada masyarakat yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan mereka. Tanpa pendekatan yang adil, kebijakan ini justru dapat memperlebar ketimpangan sosial.
Sebagai masyarakat, kita perlu mengambil sikap kritis terhadap kebijakan yang dapat merugikan seperti ini. Sikap kritis bukan hanya sekedar bentuk ketidaksetujuan, tetapi juga menjadi wujud dari partisipasi aktif dalam mengawal kebijakan publik agar lebih transparan dan akuntabel. Dengan mengkritik, masyarakat dapat menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya menyengsarakan rakyat, tetapi juga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan sosial. Selain itu, kritik juga dapat menjadi bentuk kepedulian serta dorongan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan strategis yang menyangkut kepentingan banyak orang terutama rakyat. Kebijakan yang dibuat harus benar-benar berpihak pada kesejahteraan rakyat serta kelestarian lingkungan, sehingga tidak hanya menguntungkan segelintir pihak tertentu. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, membuka ruang diskusi yang lebih luas, serta memastikan kembali bahwa kebijakan yang dikeluarkan telah melalui proses kajian yang mendalam, terutama dalam menilai dampak jangka panjangnya terhadap sosial, ekonomi, dan lingkungan.tersebut.
Pada akhirnya, Menteri Nusron meminta maaf kepada masyarakat atas kegaduhan yang terjadi dan berjanji akan menindak lanjuti permasalahan ini. Tanggapan Menteri Nusron juga disampaikan dengan langkah konkret dan menjawab kekhawatiran publik. Kebijakan yang mencakup lingkungan dan hak kepemilikan lahan harus dilakukan secara transparan dan berorientasi pada keberlanjutan. Jika tidak, maka kebijakan ini dapat memicu polemik berkepanjangan yang merugikan banyak pihak.***
Nasya Karina Nur’aziza