Monday, 31 March 2025
HomeOpiniMasyarakat Sipil VS Kekuatan Militer : Menanggapi RUU TNI

Masyarakat Sipil VS Kekuatan Militer : Menanggapi RUU TNI

Bogordaily.net – Pengesahan RUU TNI oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 20 Maret 2025 telah memicu gelombang penolakan dari masyarakat. Dalam pandangan saya, RUU ini merupakan undang-undang yang sangat berbahaya bagi masyarakat Indonesia. Dengan memberikan kewenangan kepada TNI untuk bertindak layaknya masyarakat sipil, kita menghadapi risiko yang signifikan, terutama karena mereka memiliki akses dan kewenangan atas senjata api.

Bayangkan jika prajurit TNI adalah atasan kita di tempat kerja. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, ada kemungkinan mereka akan menggunakan kewenangan tersebut secara tidak semestinya.

Hal ini bukan hanya berpotensi menciptakan ketidakadilan, tetapi juga dapat mengancam keselamatan masyarakat sipil. Menurut Prof. Susi Harijanti, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran,

“Pembahasan RUU TNI ini menunjukkan tanda-tanda abusive law making, di mana prosedur penyusunan undang-undang tidak mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.”

Demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah juga menjadi bukti nyata bahwa penolakan terhadap RUU TNI meluas.

Mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan untuk menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap pengesahan RUU tersebut.

Dalam aksi demonstrasi di Jakarta, salah satu mahasiswa yang ikut serta, Andi, menyatakan, “Kami menolak RUU TNI karena ini akan mengembalikan kekuasaan militer ke dalam ranah sipil, yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi.” Pendapat ini sejalan dengan banyak suara lain yang menuntut agar DPR mendengarkan aspirasi rakyat.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menganggap penolakan masyarakat sebagai bagian dari dinamika politik dan menyatakan bahwa DPR telah berusaha melibatkan publik dalam pembahasan RUU ini. Namun, banyak pihak meragukan klaim tersebut.

Penolakan yang masif di media sosial dengan tagar #TolakRUUTNI menunjukkan bahwa masyarakat tidak merasa didengar.

Hingga saat ini, petisi penolakan terhadap RUU TNI telah ditandatangani oleh hampir 30 ribu orang.

RUU TNI juga mengatur peran TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), yang dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi disalahgunakan.

Menurut Prof. Susi, konsideran dalam RUU ini tidak mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan hukum internasional yang seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan undang-undang.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mempertanyakan, Apakah kita ingin kembali ke era di mana militer memiliki peran dominan dalam kehidupan sipil? Atau apakah kita ingin memperkuat posisi demokrasi dan supremasi sipil?

Pengesahan RUU TNI harus menjadi panggilan bagi kita semua untuk lebih aktif terlibat dalam proses politik dan memastikan bahwa suara masyarakat didengar.

Kita tidak bisa membiarkan keputusan yang merugikan kepentingan publik diambil tanpa adanya partisipasi dan transparansi yang memadai.

Mari kita bersama-sama menolak pengesahan RUU TNI demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Pengesahan RUU ini bukan sekadar masalah hukum; ia merupakan refleksi dari kondisi demokrasi kita saat ini.

Banyak pihak melihatnya sebagai langkah mundur bagi Indonesia yang baru saja berjuang untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi setelah era Orde Baru yang otoriter.

Seharusnya, pengesahan undang-undang seperti ini dilakukan dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat agar menghasilkan kebijakan yang benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.

Perdebatan mengenai RUU TNI juga mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap cara DPR berfungsi sebagai wakil rakyat.

Banyak kalangan merasa bahwa DPR lebih mendengarkan suara elite politik daripada suara rakyat biasa. Hal ini terlihat dari bagaimana proses legislasi sering kali berjalan cepat tanpa melibatkan dialog publik yang cukup.

Kita perlu mendorong transparansi dalam setiap proses legislasi agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dan memberikan masukan yang konstruktif. Dengan demikian, undang-undang yang dihasilkan akan lebih akomodatif terhadap kebutuhan dan harapan masyarakat luas.

Di sisi lain, penting juga untuk mengingat sejarah kelam ketika militer memiliki kekuasaan besar dalam pemerintahan. Kita tidak boleh melupakan pelajaran dari masa lalu ketika militer berperan aktif dalam kehidupan politik dan sosial negara.

Pengalaman tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa kekuasaan militer harus dibatasi dan diawasi dengan ketat agar tidak menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

Kita harus bersatu menolak pengesahan RUU TNI ini dengan cara-cara damai namun tegas. Aksi demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi ketidakpuasan kita sebagai warga negara terhadap keputusan yang dianggap merugikan. Setiap suara penting dan harus didengar oleh para pengambil keputusan.

Akhirnya, mari kita teruskan perjuangan untuk menjaga demokrasi Indonesia agar tetap hidup dan berkembang.

Kita harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah selalu berpihak pada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu.

Hanya dengan cara inilah kita bisa berharap untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik, adil, dan demokratis bagi semua warga negara.***

Abang Muhammad Rafie Dzulfiqar,
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here