Bogordaily.net – Sekolah sejatinya bukan hanya sekadar tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, sekolah adalah ruang bagi siswa untuk membangun nilai-nilai moral, mengembangkan keterampilan, dan belajar menghadapi kehidupan bermasyarakat.
Namun, permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia masih sering muncul, mulai dari keterbatasan fasilitas yang tidak memadai sehingga masalah sosial yang menyangkut hubungan antara siswa, guru, dan pihak manajemen sekolah.
Salah satu sekolah kejuruan di Sulawesi Tengah, yaitu SMKN 2 Palu menjadi contoh bagi kita dalam kasus sosial yang terjadi. Terjadi sebuah kasus di SMKN 2 Palu yang menyita perhatian publik di media sosial.
Seorang siswi di sekolah ini mengalami perlakuan tidak adil yang diduga berasal dari sekolahnya sendiri. Siswi terduga dianggap oleh pihak sekolah sebagai seseorang yang memprovokasi teman lainnya untuk melakukan demonstrasi, fitnah, hingga pencemaran nama baik sekolah.
Kasus ini didapat saat siswi yang terduga, jurusan Desain Komunikasi Visual mengikuti rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Sulawesi Tengah setelah membongkar dugaannya terhadap pihak sekolah dan melakukan demonstrasi terhadap pihak sekolah yang melakukan pungutan liar untuk les bahasa inggris seharga 250 ribu rupiah.
Hal ini membuat siswi yang terduga diberhentikan dari jabatan Ketua OSIS di sekolahnya. Ini menjadi perhatian khusus antara pihak sekolah untuk dapat lebih terbuka dalam penyelesaian kasus ini.
Kebebasan Berekspresi Siswa
Kebebasan berekspresi seseorang adalah hak yang dimiliki oleh setiap individu, termasuk siswa/siswi untuk menyampaikan pendapat dan gagasan mereka dengan bebas, baik di lingkungan kampus maupun lingkungan sekitarnya terhadap suatu isu.
Siswa/siswi dapat menyuarakan hal yang sekiranya salah dalam pengelolaan sistematis sekolah, seperti dugaan adanya penyalahgunaan dana.
Dalam kasus SMKN 2 Palu, keberanian siswi untuk mengungkap dugaan penyalahgunaan dana tidak dipandang sebagai bentuk partisipasi aktif dalam menciptakan sekolah yang lebih baik.
Sebaliknya, langkah tersebut justru dipandang sebagai bentuk pembangkangan yang harus dihukum.
Sikap seperti ini tidak hanya melukai kebebasan berekspresi siswa, tetapi juga menciptakan perasaan akan ‘ketakutan’ di lingkungan sekolah.
Melaporkan atau menyampaikan kritik yang konstruktif kepada pihak sekolah adalah bentuk partisipasi dalam menciptakan lingkungan yang jujur, transparan, dan adil. Namun, siswa juga harus memahami etika berpendapat agar tidak merugikan pihak lain.
Komunikasi dan Transparansi Sekolah
Komunikasi menjadi hal yang tak bisa terlewat untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Komunikasi dan keterbukaan menjadi hal yang dibutuhkan untuk mendapat hasil dari permasalahan yang ada.
Pada kasus ini, tampak jelas adanya kegagalan komunikasi dan keterbukaan antara pihak sekolah dan siswa/siswi.
Pihak sekolah harus bisa lebih jujur dan bisa transparansi secara rinci dalam maksud dan tujuan pengelolaan keuangan sekolah.
Dengan adanya transparansi dan keterbukaan, sekolah dapat menyajikan fakta untuk dapat menghindari tuduhan ketidakadilan ataupun kebohongan disini.
Adanya transparansi membuat sekolah tidak hanya melindungi hak siswa tetapi juga menjaga citranya sebagai institusi pendidikan yang adil dan bertanggung jawab.
Peran Sekolah dalam Mengelola Krisis
Sekolah seharusnya menjadi tempat bagi siswa untuk belajar, tumbuh, serta mengembangkan karakter, termasuk keberanian menyuarakan pendapat. Pada kasus ini, dilihat bahwa pentingnya untuk mengelola kritik dan masukan yang bijak dalam lingkungan sekolah.
Kritik adalah refleksi dari pengalaman dan persepsi siswa yang dialami terhadap sistem yang mereka jalani.
Kasus yang terjadi bisa menjadi gambaran untuk pihak sekolah dapat menerima kritik dan masukan atas kejanggalan yang terjadi di sekolahnya tanpa ada rasanya intimidasi bagi siswa/siswi.
Dalam kasus ini, terdapat pernyataan siswi yang ketika menghadiri mediasi dengan sekolah bukannya menjadi tempat aman untuk menyelesaikan masalah secara terbuka, tetapi yang dirasakan siswi terduga adalah tekanan yang diberikan kepadanya untuk meminta maaf.
Permasalahan di SMKN 2 Palu menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga transparansi, keadilan, dan kebebasan berekspresi.
Sekolah harus menjadi tempat yang aman di mana siswa dapat belajar, tumbuh, dan mengekspresikan pendapat mereka tanpa rasa takut.
Namun sikap represif terhadap kritik justru menunjukkan bahwa lembaga pendidikan belum matang dalam menghadapi dinamika sosial yang terjadi di dalamnya.
Kebebasan berekspresi siswa bukanlah ancaman, melainkan kesempatan bagi sekolah untuk merefleksikan kelemahannya dan memperbaikinya demi kebaikan bersama.
Komunikasi yang terbuka, transparansi dalam kepemimpinan, dan menyikapi kritik secara bijak merupakan landasan penting bagi pendidikan yang lebih manusiawi.
Lebih jauh lagi, untuk memastikan kritik yang disampaikan bersifat membangun, siswa harus diberikan pemahaman tentang etika dan tanggung jawab yang terlibat dalam mengungkapkan pendapat mereka.***
Nasywa Athaya Fakhira
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB