Oleh: Putri Apsari Najwan, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University
Belakangan ini, marak fenomena “ngemis” online di TikTok dan menjadi perbincangan publik. Kasus Gunawan, atau yang biasa dikenal dengan panggilan Sadbor, mengajak banyak orang di desanya untuk berjoget demi saweran digital. Lewat TikTok, ia berhasil menarik banyak orang di sekitarnya menjadi live streamer, tapi bukan untuk berjualan seperti live streaming pada umumnya. Sadbor berjoget berharap saweran digital dari penonton itu bersama hampir satu masyarakat desa yang berlokasi di Sukabumi. Di satu sisi, hal ini menunjukkan bagaimana media sosial membuka peluang ekonomi baru dengan menghadirkan fitur live streaming, tetapi tren ini juga memperlihatkan wajah lain dari kemiskinan dan eksploitasi digital yang terjadi di Indonesia. Fenomena ini bukan hanya sekedar hiburan semata, melainkan cerminan dari sistem sosial dan ekonomi yang belum mampu memberikan solusi yang tepat dan jangka panjang bagi masyarakat yang membutuhkan.
TikTok Menjadi Inovasi atau Ladang Eksploitasi?
TikTok menjadi platform yang kini mengubah cara orang mencari penghasilan, atau bahkan ada yang menjadikan TikTok sebagai penghasilan utama mereka. Sejak populer di Indonesia pada 2017, aplikasi ini berkembang pesat dan menciptakan profesi baru, mulai dari content creator hingga pedagang online. Dengan lebih dari 110 juta pengguna di Indonesia, TikTok kini bukan sekedar media hiburan, tetapi juga platform ekonomi digital yang menggiurkan. Namun, apakah inovasi ini akan membawa manfaat bagi semua kalangan? Atau justru menjadi ladang eksploitasi bagi mereka yang kurang beruntung?
Fitur live streaming ini memungkinkan pengguna mendapatkan saweran berbentuk gift yang harus dibeli menggunakan koin. Hal ini membuka peluang sekaligus jebakan bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat dengan keterbatasan ekonomi akan melihat kesempatan ini sebagai cara cepat untuk mendapatkan uang tanpa perlu bekerja secara resmi. Namun, kenyataannya mereka hanya menjadi objek tontonan yang dipermainkan oleh algoritma dan empati penonton. Jika kreativitas berarti menggali potensi dan inovasi, maka mengemis online—baik dengan berjoget, mandi lumpur, dan sebagainya—bukanlah kreativitas, melainkan bentuk eksploitasi diri yang disengaja pada platform digital.
Mentalitas Instan Menjadi Faktor Pendorong Utama
Fenomena “ngemis” online ini tidak muncul secara tiba-tiba. Kondisi ekonomi yang sulit menjadi salah satu faktor pendorong utama. Ketimpangan ekonomi yang semakin lebar, sedangkan kesempatan kerja yang layak masih terbatas bagi banyak orang. Alih-alih memilih untuk mengasah keterampilan atau diberdayakan dengan pelatihan keterampilan, mereka justru lebih memilih untuk terjerumus dalam mekanisme mencari uang yang instan, meskipun dengan cara yang merendahkan diri sendiri. Mereka bisa mendapatkan uang hanya dengan menjadi objek penonton yang melalukan sawer, berpikir bahwa itu cara yang paling instan.
Selain itu, rendahnya literasi digital juga menjadi masalah. Banyak orang yang belum memahami bagaimana dunia digital bekerja dan bagaimana algoritma menentukan kenaikkan konten. Mereka tidak menyadari bahwa semakin mereka melakukan aksi yang dianggap “unik” atau “menghibur” dalam perspektif tertentu, semakin besar kemungkinan mereka viral dan mendapatkan saweran. Hal ini termasuk pada jebakan psikologis yang memanfaatkan mentalitas instan. Artinya, kepuasan dan keuntungan harus didapat dengan cara yang paling cepat tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.
Dampak Negatif: Normalisasi Eksploitasi
Hal yang paling mengkhawatirkan dari fenomena ini bukan hanya soal mengemis online itu sendiri, tetapi bagaimana praktik ini perlahan menjadi sesuatu yang dinormalisasi oleh masyarakat Indonesia. Jika dibiarkan, hal ini tentu saja bisa menurunkan standar moral masyarakat Indonesia dalam melihat kerja keras seorang individu. Alih-alih berjuang untuk meningkatkan taraf hidup dengan keterampilan dan pendidikan yang berkualitas, orang-orang mulai percaya bahwa cukup dengan tampil menyedihkan di depan kamera, mereka bisa mendapatkan uang dan bertahan hidup.
Terlebih lagi, fenomena ini memperkuat eksploitasi kelompok rentan, termasuk anak-anak dan lansia. Saya sudah melihat bagaimana sebelumnya seorang nenek rela mandi lumpur atau seorang kakek berjoget demi mendapatkan perhatian dan donasi dari penonton. Jika hal seperti ini terus terjadi, masyarakat seharusnya mengecam praktik live streaming berkedok eksploitasi digital ini, bukan malah menikmatinya sebagai hiburan.
Perlunya Regulasi Ketat dan Kesadaran Individu
Tentunya, masalah ini tidak bisa dibiarkan terus berkembang semakin besar. Pemerintah dan platform digital harus mengambil tindakan tegas terkait masalah ini. Regulasi ketat perlu diterapkan untuk mencegah ekploitasi digital, terutama terhadap anak-anak dan kelompok rentan. Tidak cukup hanya dengan “pedoman kounitas”, tetapi harus ada tindakan konkret dari TikTok seperti pemblorikan akun yang melanggar dan penghapusan fitur gift atau sawer bagi konten-konten tertentu.
Selain itu, edukasi mengenai pentingnya literasi digital harus diperkuat, baik melalui sekolah, komunitas, ataupun media. Msyarakat Indonesia harus diberi pemahaman bahwa ada acara lain untuk mencari uang dengan memanfaatkan teknologi tanpa harus merendahkan diri sendiri. Kita juga harus mendorong ekonomi digital yang lebih sehat, seperti pelatihan keterampilan sebagai content creator, dan promosi konten-konten kreatif yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat Indonesia.