Oleh: Anatasya Disha
Mahasiswa Komunkasi Digital dan Media
Awal Maret 2025, wilayah Jabodetabek kembali dilanda banjir besar dan Bekasi menjadi daerah yang terdampak paling parah. Banjir kali ini dinilai lebih buruk dibandingkan peristiwa serupa yang pernah terjadi sebelumnya, termasuk banjir besar pada tahun 2020. Dari berita yang beredar, 10 dari 12 kecamatan di Kota Bekasi terendam air, bahkan di beberapa titik, banjir dilaporkan mencapai ketinggian 4 meter. Peristiwa ini tentunya tidak hanya merusak ribuan rumah, tapi juga mengganggu aktivitas ekonomi, pendidikan, dan transportasi, serta memaksa ribuan warga mengungsi.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa banjir terus terjadi dengan skala yang semakin besar meskipun fenomena ini sudah diprediksi sebelumnya? Pemerintah sering mengkategorikan banjir besar sebagai “banjir lima tahunan,” seolah-olah ini adalah siklus alamiah yang tidak bisa dihindari. Namun fakta menunjukkan bahwa tidak ada upaya signifikan yang dilakukan untuk meminimalkan dampaknya. Padahal, banyak faktor yang mendorong semakin parahnya banjir, terutama buruknya mitigasi dan tata kelola lingkungan di kawasan Jabodetabek.
Sungai-sungai yang Kian Menyempit dan Sistem Drainase yang Buruk
Bekasi memiliki peran strategis dalam sistem Daerah Aliran Sungai (DAS), terutama dengan keberadaan Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas yang bermuara di Kali Bekasi dan mengalir ke Laut Jawa. Sungai ini seharusnya mampu menampung dan mengalirkan air dengan baik dari wilayah hulu di Bogor ke daerah hilir di Bekasi dan Jakarta, namun nampaknya dalam beberapa tahun terakhir, sistem DAS ini menghadapi berbagai permasalahan seperti penyempitan aliran sungai akibat pembangunan permukiman hingga alih fungsi lahan yang mengurangi daya serap air.
Kondisi juga diperburuk dengan pembangunan yang tidak terkendali di bantaran sungai. Banyak kawasan yang seharusnya menjadi daerah sempadan sungai sekarang dipenuhi dengan permukiman dan infrastruktur lain. Hal hal tersebut pastinya mengurangi kapasitas sungai dalam menampung air saat curah hujan tinggi dan meningkatkan resiko banjir. Sayangnya, izin pembangunan di kawasan ini tetap dikeluarkan oleh pemerintah daerah meskipun mereka paham tentang resiko apa yang akan timbul.
Sistem drainase di Bekasi juga tidak mampu mengalirkan air secara optimal. Banyak saluran yang tersumbat oleh sampah atau sedimentasi, sehingga ketika hujan deras terjadi, air tidak dapat mengalir dengan lancar dan akhirnya menggenang di pemukiman warga. Ini menunjukkan bahwa upaya perbaikan infrastruktur drainase masih belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan tata kota.
Alih Fungsi Lahan Berlebih = Bencana Buatan Manusia
Salah satu penyebab utama banjir di Bekasi bukan hanya curah hujan tinggi di wilayah tersebut, tetapi juga aliran air dari kawasan hulu, terutama dari Bogor. Kawasan Puncak, yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air, kini telah banyak dialihfungsikan menjadi kawasan wisata dan pemukiman. Padahal, daerah ini memiliki peran penting dalam menyerap air hujan sebelum mengalirkannya ke sungai-sungai di hilir.
Alih fungsi lahan ini menyebabkan air hujan yang seharusnya terserap ke tanah malah langsung mengalir ke sungai yang meningkatkan debit air secara drastis dalam waktu singkat. Akibatnya, sungai tidak mampu menampung volume air yang melonjak, sehingga banjir di daerah hilir, termasuk Bekasi, menjadi tidak terhindarkan. Jika kawasan resapan air di hulu terus berkurang, kedepannya kejadian banjir besar seperti ini akan semakin sering terjadi.
Ironisnya, meskipun masalah ini sudah diketahui sejak lama, kebijakan yang ada belum menunjukkan keberpihakan pada lingkungan. Pemerintah daerah dan developer terus mengabaikan pentingnya menjaga ekosistem hulu demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Itu membuktikan bahwa perencanaan tata ruang yang ada saat ini tidak memperhitungkan dampak lingkungan dalam jangka panjang.
Pemerintah Lamban dalam Mitigasi, Padahal Banjir Sudah Menjadi Pola yang Berulang
Banjir di Bekasi sering kali disebut sebagai “banjir lima tahunan,” yang berarti bencana ini sudah memiliki pola yang bisa diprediksi. Namun meskipun pola ini sudah diketahui, upaya mitigasi yang dilakukan tetap minim dan tidak menunjukkan adanya perbaikan signifikan. Salah satu contohnya adalah kurangnya upaya pengerukan sungai secara rutin untuk mengatasi sedimentasi. Sungai yang mengalami pendangkalan otomatis akan kehilangan kapasitasnya untuk menampung air dalam jumlah besar. Selain itu, proyek normalisasi sungai yang telah lama direncanakan tidak pernah benar-benar berjalan dengan efektif.
Pembangunan yang terus berlangsung tanpa mempertimbangkan dampaknya pada lingkungan juga dapat membuat kondisi semakin parah. Banyak lahan yang seharusnya dijadikan daerah resapan air malah dijadikan kawasan permukiman atau industri. Dinas PUPR seharusnya lebih ketat dalam memberikan izin pembangunan, terutama di daerah yang secara geografis rentan terhadap banjir. Namun kenyataannya? Perizinan sering kali lebih didasarkan pada kepentingan ekonomi dibandingkan pertimbangan lingkungan.
Selain itu, tidak ada sistem peringatan dini yang efektif untuk memberitahu warga tentang potensi banjir yang akan datang. Banyak warga yang baru menyadari ancaman banjir ketika air sudah mulai masuk ke rumah mereka. Jika sistem mitigasi yang baik diterapkan, warga seharusnya bisa mendapatkan informasi lebih awal sehingga bisa melakukan langkah-langkah antisipasi.
Mitigasi Banjir Harus Menjadi Prioritas
Banjir di Bekasi bukan sekadar bencana alam yang tidak bisa dihindari, melainkan juga akibat dari kebijakan tata ruang yang tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Penyempitan sungai, sistem drainase yang buruk, hingga alih fungsi lahan adalah faktor utama yang menyebabkan banjir semakin parah dari tahun ke tahun.
Pemerintah seharusnya tidak lagi melihat banjir sebagai kejadian tahunan yang hanya perlu ditangani saat terjadi, tetapi sebagai masalah yang membutuhkan solusi jangka panjang. Perbaikan sistem drainase, penghentian pembangunan di kawasan sempadan sungai, serta restorasi daerah resapan air di hulu harus menjadi prioritas utama dalam perencanaan kota.
Jika tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan mitigasi banjir, maka bencana serupa akan terus terjadi, bahkan dengan dampak yang lebih besar. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan komitmen bersama, baik dari pemerintah, developer, maupun masyarakat, untuk membangun sistem pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Hanya dengan langkah tersebutlah kita bisa menghentikan siklus banjir yang terus berulang dan memastikan kota-kota kita menjadi tempat yang lebih aman untuk dihuni.***