Thursday, 5 June 2025
HomeOpiniOversharing di Media Sosial menjadi Komunikasi Strategis atau Ajang Pencitraan?

Oversharing di Media Sosial menjadi Komunikasi Strategis atau Ajang Pencitraan?

Oleh: Siti Nur Aistatul Fajri,  Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB

 

Di era digital yang serba terhubung ini, media sosial telah mengubah cara kita berkomunikasi dan membangun identitas diri. Setiap hari, jutaan orang membagikan potongan-potongan kehidupan mereka dari momen bahagia hingga kesulitan pribadi pada platform yang bisa diakses siapa saja. Namun, fenomena oversharing atau berbagi berlebihan tentang kehidupan pribadi menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah ini merupakan strategi komunikasi yang terencana, atau sekadar ajang pencitraan demi eksistensi digital?

Sebagai strategi komunikasi, oversharing memang memiliki nilai strategis tersendiri. Banyak figur publik dan influencer secara sengaja membuka tirai kehidupan personal mereka untuk membangun kedekatan emosional dengan pengikutnya. Konsep storytelling pribadi dianggap lebih relatable dan terbukti meningkatkan engagement. Ketika seorang influencer membagikan perjuangan di balik kesuksesannya atau saat selebritis memperlihatkan sisi kesehariannya yang “biasa saja”, terciptalah ilusi kedekatan yang membuat audiens merasa terhubung. Strategi ini sering kali berhasil mengubah followers menjadi komunitas yang loyal dan responsif.

Namun, di sisi lain, oversharing juga kerap menjadi alat pencitraan untuk menciptakan persepsi “sempurna” di mata publik. Feed yang dipenuhi pencapaian, liburan mewah, atau curahan hati yang tampak mendalam seringkali hanyalah topeng digital untuk meraih validasi. Hal ini menciptakan realitas virtual yang terdistorsi, di mana pemilik akun secara selektif hanya menampilkan aspek-aspek kehidupan yang ingin dilihat orang lain. Fenomena “highlight reel” ini menciptakan kesenjangan antara citra yang ditampilkan dan realitas sebenarnya.

Dampak oversharing pada audiens juga tidak bisa diabaikan. Konsumsi berlebihan atas potongan-potongan kehidupan orang lain di media sosial memicu fenomena comparison trap dan FOMO (Fear of Missing Out) yang berdampak signifikan pada kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa paparan konstan terhadap “kehidupan sempurna” orang lain dapat menurunkan tingkat kepuasan hidup dan meningkatkan kecemasan sosial. Paradoksnya, meskipun media sosial dirancang untuk menghubungkan, oversharing justru dapat menciptakan isolasi emosional dan rasa tidak cukup.

Lalu, sampai mana kehidupan pribadi boleh dibagikan? Batasan antara keterbukaan yang otentik dan eksploitasi diri sendiri sangatlah tipis. Oversharing yang tidak terkontrol dapat membahayakan privasi, membuka celah untuk cyberbullying, dan bahkan berdampak pada hubungan personal dan profesional. Di satu sisi, transparansi dapat membangun kepercayaan, di sisi lain terlalu banyak informasi dapat menjadi bumerang yang merusak reputasi.

Fenomena oversharing di media sosial sesungguhnya adalah pedang bermata dua. Jika dilakukan secara sadar dan terencana, ia bisa menjadi strategi komunikasi yang efektif untuk membangun komunitas dan mendukung tujuan personal atau profesional. Namun, tanpa kontrol dan kesadaran diri, oversharing hanya akan menjebak kita dalam pusaran pencitraan semu yang berisiko merusak citra itu sendiri. Kita perlu menyadari bahwa di balik setiap postingan, ada keputusan editorial yang menentukan narasi digital kita.

Sebagai pengguna media sosial, kita perlu membangun literasi digital yang lebih baik, kemampuan untuk membedakan antara autentisitas dan pencitraan, serta kebijaksanaan untuk membatasi konsumsi dan berbagi informasi pribadi. Hanya dengan kesadaran inilah kita dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat komunikasi yang sehat, bukan sekadar panggung pencitraan yang merusak.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here