Monday, 31 March 2025
HomeOpiniPenutupan Stasiun Karet: Solusi atau Sumber Keresahan Baru?

Penutupan Stasiun Karet: Solusi atau Sumber Keresahan Baru?

Oleh: Nisrina Nur Hakim, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB

Kontroversi Penutupan Stasiun Karet
Rencana penutupan Stasiun Karet pada April 2025 menimbulkan tanda tanya besar bagi pengguna KRL.

Keputusan ini diklaim sebagai bagian dari upaya integrasi transportasi, tetapi dampaknya terhadap kenyamanan penumpang tidak bisa diabaikan.

Dengan mengalihkan layanan ke Stasiun BNI City yang berjarak sekitar 350 meter, PT Kereta Commuter Indonesia (KAI Commuter) tampaknya mengabaikan fakta bahwa kebiasaan dan kenyamanan pengguna tidak semudah itu diubah.

Sebagai pengguna KRL, saya merasa kebijakan ini lebih banyak menimbulkan keresahan daripada memberikan manfaat yang nyata.

Memang, jarak antara Stasiun Karet dan BNI City tidak jauh, tetapi perubahan ini memengaruhi kebiasaan dan waktu tempuh para penumpang.

Perubahan rute dan potensi kepadatan di Stasiun BNI City menjadi hal yang tak terhindarkan.

Penumpang yang selama ini mengandalkan Stasiun Karet sebagai akses utama akan kehilangan kemudahan tersebut dan harus beradaptasi dengan kondisi baru yang belum tentu lebih baik.

Solusi yang Belum Tentu Efektif
Fakta bahwa Stasiun Karet selalu dipadati penumpang justru memperkuat argumen bahwa stasiun ini memiliki peran penting dalam jaringan transportasi KRL.

Jika sebuah stasiun memiliki jumlah pengguna yang besar, seharusnya peningkatan fasilitas menjadi solusi utama, bukan malah menutupnya.

Keputusan ini mengindikasikan kurangnya pemahaman atas kebutuhan pengguna transportasi publik.

Stasiun BNI City yang lebih sepi selama ini tiba-tiba dijadikan alternatif utama, yang justru menimbulkan kekhawatiran apakah kapasitasnya mampu menampung limpahan penumpang dari Stasiun Karet tanpa menimbulkan masalah baru.

Alasan utama yang dikemukakan adalah kondisi fasilitas Stasiun Karet yang dinilai tidak memenuhi standar. Peron yang sempit dan minimnya fasilitas pendukung disebut sebagai faktor utama.

Namun, langkah yang lebih masuk akal adalah meningkatkan dan memperbarui fasilitas tersebut, bukan sekadar mengalihkan penumpang ke stasiun lain yang belum tentu memberikan kenyamanan yang setara.

Mengalihkan masalah tanpa menyelesaikannya hanya akan menambah beban bagi penumpang yang selama ini mengandalkan Stasiun Karet.

Sebagai bentuk kompensasi, KAI Commuter berencana membangun selasar penghubung antara Stasiun Karet dan Stasiun BNI City. Namun, solusi ini tetap menimbulkan tantangan tersendiri.

Tidak semua penumpang merasa nyaman harus berjalan lebih jauh untuk mencapai stasiun lain, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas atau membawa barang banyak.

Alih-alih memberikan kemudahan, perpindahan ini justru memperlihatkan bagaimana keputusan dibuat tanpa mempertimbangkan kenyamanan pengguna secara menyeluruh.
Meskipun begitu, ada sisi positif dari kebijakan ini.

Jika dilakukan dengan perencanaan matang, integrasi dengan Stasiun BNI City berpotensi meningkatkan efektivitas layanan KRL dalam jangka panjang.

Dengan fasilitas yang lebih baik dan tata kelola yang lebih modern, diharapkan pengalaman perjalanan penumpang bisa menjadi lebih nyaman.

Jika pemerintah dan KAI Commuter serius dalam meningkatkan sarana dan prasarana di stasiun yang dituju, maka kebijakan ini masih memiliki peluang untuk memberikan dampak positif bagi sistem transportasi Jakarta ke depannya.

Selain itu, dengan adanya pemusatan layanan di Stasiun BNI City, potensi untuk meningkatkan sistem integrasi antar moda juga menjadi lebih besar.

Dengan akses yang lebih luas dan fasilitas yang diperbarui, ini bisa menjadi peluang untuk memperbaiki sistem transportasi di Jakarta secara keseluruhan.

Integrasi yang lebih baik antara KRL, MRT, dan transportasi umum lainnya berpotensi membuat perjalanan lebih efisien, meskipun butuh waktu bagi pengguna untuk beradaptasi.

Transportasi Publik Harus Berorientasi pada Kenyamanan
Di tengah berbagai perdebatan ini, satu hal yang jelas adalah bahwa penutupan Stasiun Karet tidak bisa dianggap sebagai keputusan yang hanya berdampak kecil.

Transportasi publik seharusnya memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat, bukan sekadar efisiensi operasional bagi penyelenggaranya.

Jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan solusi konkret yang benar-benar mempertimbangkan kebutuhan penumpang, maka keputusan ini akan lebih banyak menimbulkan keresahan daripada memberikan manfaat nyata.

Keputusan besar seperti ini harus dibuat dengan mempertimbangkan dampak langsung bagi masyarakat yang setiap hari bergantung pada layanan KRL.

Sebagai pengguna, tentu kita menginginkan transportasi yang lebih modern, nyaman, dan terintegrasi dengan baik.

Namun, perubahan yang dilakukan secara tiba-tiba tanpa kesiapan yang matang akan menimbulkan lebih banyak kesulitan dibandingkan manfaatnya.

Oleh karena itu, perencanaan yang matang, sosialisasi yang efektif, dan peningkatan fasilitas di stasiun yang menjadi pengganti Stasiun Karet harus menjadi prioritas utama.

Hanya dengan pendekatan yang berorientasi pada kenyamanan pengguna, kebijakan ini bisa diterima dengan baik dan benar-benar memberikan dampak positif bagi masyarakat.***

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here