Bogordaily.net – Pernahkah Anda membayangkan berjalan menembus lebatnya hutan pegunungan, diiringi gemericik sungai kecil, hingga akhirnya menemukan air terjun yang menakjubkan? Itulah yang saya alami saat menjelajahi Curug Cibeureum, sebuah permata tersembunyi di kawasan Cibodas, Jawa Barat. Perjalanan ini bukan sekadar wisata alam biasa, tetapi sebuah pengalaman penuh tantangan, keindahan, dan sedikit misteri yang membuatnya semakin berkesan.
Curug Cibeureum, yang terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cibodas, Cianjur, menjadi tujuan perjalanan kami kali ini. Nama “Cibeureum” sendiri berasal dari bahasa Sunda, di mana “ci” atau “cai” berarti air, dan “beureum” berarti merah. Konon, dahulu air terjun ini tampak kemerahan karena adanya lumut merah yang tumbuh di dinding tebingnya.
Awal Perjalanan Menuju Cibodas
Perjalanan dimulai dari Bogor pukul 06.30 pagi. Saya dan teman saya pergi menggunakan sepeda motor dengan menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam menuju gerbang Wisata Cibodas. Rute yang kami lalui begitu menawan, melintasi kawasan Puncak yang terkenal dengan keindahan alamnya. Langit cerah dan udara sejuk pagi itu semakin menambah semangat untuk menjelajahi destinasi yang kami tuju
Setibanya di gerbang Wisata Cibodas, kami membayar tiket retribusi sebesar Rp12.000 per orang untuk motor. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju pintu dua Kebun Raya Cibodas, tempat kami akan memarkir kendaraan di area terdekat. Perjalanan pun berlanjut dengan berjalan kaki menuju pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, di mana kami membeli tiket masuk seharga Rp18.500 per orang. Dari sinilah petualangan trekking ke Curug Cibeureum dimulai.
Trekking Menuju Curug Cibeureum
Jarak menuju Curug Cibeureum sekitar 28 hektometer dengan waktu tempuh kurang lebih satu setengah jam jika berjalan santai. Jalur yang kami lalui merupakan jalur yang sama dengan pendakian menuju puncak Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Karena kami datang pada hari kerja dan bukan musim liburan, suasana terasa sangat sepi, hanya ada kami berdua. Rasa khawatir dan takut sempat muncul, mengingat ini adalah pengalaman pertama kami dan jalur ini berada di tengah hutan pegunungan.
Di awal perjalanan, jalur yang kami lalui berupa tangga bebatuan yang cukup tinggi. Tantangan ini cukup melelahkan bagi kami yang jarang berolahraga. Kami beberapa kali berhenti untuk beristirahat dan mengisi tenaga dengan makanan ringan yang kami bawa. Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan hutan tropis yang rimbun dengan berbagai jenis tumbuhan khas kawasan taman nasional. Jika beruntung, pengunjung bisa melihat lutung bergelantungan di antara pepohonan.
Setelah melewati 10 hektometer pertama, jalur mulai landai dan tidak terlalu menanjak. Kami tiba di Telaga Biru yang terletak di 16 hektometer. Telaga ini memiliki air yang dapat berubah warna, terkadang hijau, terkadang biru, tergantung pada ekosistem di dalamnya. Kami berhenti sejenak di pos yang tersedia untuk mencuci tangan dan kaki di mata air yang mengalir jernih. Di sini, kami bertemu dengan tiga orang pengunjung lain, yang membuat kami merasa lebih tenang karena ternyata kami bukan satu-satunya pengunjung hari itu.
Setelah beristirahat dan berfoto sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Jalur berikutnya lebih datar, namun tetap berbatu. Tak lama, kami tiba di Jembatan Gayonggong, sebuah jembatan panjang yang membentang di tengah area terbuka. Berbeda dengan jalur sebelumnya yang tertutup pepohonan lebat, di sini kami bisa melihat pemandangan langit yang luas serta Gunung Pangrango yang berdiri megah di kejauhan. Di bawah jembatan mengalir sungai kecil yang jernih, sementara di kanan-kiri terdapat ladang rumput yang tinggi.
Saat berada di Jembatan Gayonggong, hujan gerimis mulai turun. Langit yang mulai gelap kembali membangkitkan rasa khawatir, terlebih kami hanya berdua. Meski begitu, kami tetap mengabadikan momen dengan berfoto. Setelah melintasi jembatan, jalur kembali menanjak dan hutan lebat kembali mengelilingi kami. Tak lama kemudian, kami menemukan pertigaan dengan papan petunjuk arah. Kami memilih jalur lurus menuju Curug Cibeureum, sementara jalur ke kiri adalah pendakian ke Gunung Gede Pangrango.
Ketika suara gemuruh air mulai terdengar, kami tahu bahwa tujuan kami sudah dekat. Aliran sungai kecil yang jernih semakin banyak ditemui di sepanjang jalur. Hingga akhirnya, kami tiba di Curug Cibeureum dan disambut oleh pemandangan air terjun yang begitu indah dan memukau.
Keindahan Curug Cibeureum
Curug Cibeureum memiliki aliran air yang sangat deras dan dingin. Percikannya bahkan bisa mencapai area tempat duduk yang tersedia di sekitarnya. Meski tak bisa berendam karena dingin dan derasnya aliran air, kami menikmati keindahan curug ini dari kejauhan. Selain Curug Cibeureum utama, ada juga curug tersembunyi lainnya yang lebih mudah diakses dan tak kalah cantik. Jika tak ingin mendekati air terjun langsung, pengunjung bisa bermain air di sungai kecil yang mengalir di sekitar curug.
Di sekitar curug, terdapat fasilitas seperti warung kecil, pos istirahat, kamar mandi, dan mushola. Kami pun memutuskan untuk membeli kopi, basreng, dan mi instan cup di salah satu warung. Sambil menunggu pesanan, kami mengobrol dengan dua penjual warung yang ramah. Setelah kenyang dan puas berfoto, kami memutuskan untuk kembali turun sekitar pukul 13.00 siang.
Perjalanan Pulang yang Penuh Misteri
Saat perjalanan pulang, hujan kembali turun dengan lebih deras. Kami tidak menggunakan jas hujan, mengandalkan rindangnya pepohonan sebagai pelindung alami. Kali ini, jalur terasa lebih mencekam. Kabut tipis mulai turun, membuat suasana hutan semakin gelap.
Dalam perjalanan, kami menemukan sesuatu yang cukup aneh. Sebelumnya, semua warung di sepanjang jalur tutup karena hari kerja. Namun, sebelum melintasi Jembatan Gayonggong, kami menemukan sebuah lapak jualan di pinggir hutan. Tidak berbentuk warung, hanya meja panjang dengan berbagai makanan ringan dan mi instan cup di atasnya. Yang membuat kami merinding, tak ada satu pun penjual di sana. Kami berusaha mengusir pikiran-pikiran negatif dengan membaca Asmaul Husna bersama.
Ketika membaca bagian terakhir, kami merasa ada sesuatu yang mengikuti dari belakang. Kami tak berani menoleh, hanya terus berjalan dan melanjutkan doa. Hingga akhirnya, ada suara yang berkata “permisi” dari belakang. Dua orang laki-laki yang ingin berjalan lebih dulu ternyata adalah pengunjung yang kami lihat di area curug tadi. Rasa lega menyelimuti kami karena akhirnya ada orang lain yang menemani perjalanan turun.
Turun dari curug ternyata jauh lebih cepat dibanding mendaki. Namun, otot-otot kaki kami mulai bergetar akibat ketegangan. Curug Cibeureum memang bukan tempat yang cocok untuk berenang atau bermain air seperti curug lainnya, tetapi tempat ini sangat sempurna bagi mereka yang ingin menikmati trekking ringan dan melarikan diri sejenak dari hiruk-pikuk kehidupan kota.
Perjalanan ke Curug Cibeureum menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Keindahan alam, tantangan ketika trekking, serta berbagai kejadian unik yang kami alami selama perjalanan menambah kesan tersendiri. Meskipun awalnya penuh dengan kekhawatiran, pada akhirnya perjalanan ini justru memberikan kebahagiaan dan kepuasan tersendiri. Bagi siapa pun yang ingin mencari ketenangan di tengah alam dan menikmati suasana pegunungan yang asri, Curug Cibeureum adalah destinasi yang sangat direkomendasikan.