Monday, 31 March 2025
HomeOpiniSakit Akibat Rokok Tidak Ditanggung BPJS: Solusi atau Diskriminasi?

Sakit Akibat Rokok Tidak Ditanggung BPJS: Solusi atau Diskriminasi?

Bogordaily.net – Merokok telah menjadi kebiasaan yang mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Tidak hanya orang dewasa, bahkan anak di bawah umur pun sudah banyak yang merokok. Fenomena ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan kurangnya edukasi terkait bahaya merokok.

Banyak remaja yang terjerumus dalam kebiasaan ini karena pengaruh lingkungan, pergaulan, serta mudahnya akses terhadap rokok.

Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang.

Kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti oleh usia 10-14 tahun (18,4%). Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Banyak faktor yang memicu seseorang untuk merokok, seperti pengaruh lingkungan, stres, kebiasaan sosial, hingga ketergantungan nikotin.

Sayangnya, kebiasaan ini tidak hanya berdampak pada perokok itu sendiri, tetapi juga terhadap lingkungan sekitar melalui asap rokok yang mengandung zat berbahaya.

Perokok pasif, termasuk anak-anak dan ibu hamil, turut menjadi korban dari kebiasaan ini, meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan komplikasi kesehatan lainnya. Selain itu, lingkungan juga terdampak oleh limbah puntung rokok yang mencemari tanah dan air.

Menurut data Kementerian Kesehatan, rokok menjadi penyebab utama berbagai penyakit kronis, seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, stroke, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa lebih dari 200.000 orang di Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang berkaitan dengan konsumsi tembakau.

Angka ini menunjukkan betapa besar dampak negatif rokok terhadap kesehatan masyarakat.

Dampak kesehatan ini tentu berujung pada beban finansial yang besar bagi negara, terutama dalam sistem jaminan kesehatan seperti BPJS Kesehatan.

Berdasarkan laporan BPJS, penyakit akibat rokok menghabiskan anggaran yang signifikan, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk penyakit lain yang tidak disebabkan oleh gaya hidup buruk.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah negara harus terus menanggung biaya pengobatan bagi mereka yang secara sadar merusak kesehatannya sendiri?

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa banyak penerima bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan, yang seharusnya termasuk dalam kategori masyarakat kurang mampu, tetap mengonsumsi rokok.

Studi menunjukkan bahwa sebagian besar perokok berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, yang ironisnya masih mengalokasikan dana untuk membeli rokok meskipun memiliki keterbatasan ekonomi.

Ini memicu perdebatan tentang efektivitas subsidi kesehatan bagi kelompok ini jika mereka tetap mempertahankan kebiasaan merokok.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menilai banyak penerima bantuan iuran yang tidak mampu masih mengonsumsi rokok dan cenderung abai dengan kesehatannya.

“Saya contohkan tahun 2024 sampai akhir 2024 itu BPJS Kesehatan bayar berbagai penyakit yang berbiaya katastropik itu seperti jantung, kanker, gagal ginjal, dan lain-lain, ya itu sekitar Rp34 triliun atau sehari itu kurang lebih Rp1,7 juta kunjungan atau Rp615 juta per tahun,” kata Ali Ghufron Mukti dalam tayangan Metro Pagi Primetime, Metro TV, Sabtu, 4 Januari 2024.

Meski demikian, Ali menyampaikan bahwa saat ini belum ada ketentuan terkait penyakit akibat rokok yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Ia mengatakan apapun penyakitnya, asalkan sesuai indikasi medis, pasti dijamin BPJS Kesehatan.

Usulan agar BPJS tidak menanggung biaya pengobatan penyakit akibat rokok pun menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai sebagai langkah tegas untuk mengurangi angka perokok dan mencegah pemborosan anggaran negara.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip hak atas layanan kesehatan yang seharusnya berlaku bagi semua warga negara tanpa pengecualian.

Menurut pendapat saya, kebijakan ini bisa menjadi solusi untuk menekan angka perokok, tetapi harus diterapkan dengan strategi yang adil dan bijaksana.

Tidak serta-merta mencabut hak layanan kesehatan, tetapi lebih kepada pemberian konsekuensi bagi perokok aktif agar lebih sadar akan dampak dari kebiasaan buruk mereka.

Misalnya, bisa diterapkan mekanisme tambahan biaya bagi perokok yang ingin mendapatkan layanan BPJS untuk penyakit yang berhubungan dengan rokok.

Sistem ini serupa dengan yang diterapkan di beberapa negara lain, seperti Singapura, di mana perokok harus membayar premi asuransi yang lebih tinggi daripada non-perokok.

Sebagai alternatif solusi, pemerintah bisa menggalakkan program edukasi yang lebih masif tentang bahaya rokok, memperketat regulasi distribusi dan konsumsi tembakau, serta meningkatkan pajak rokok secara signifikan untuk mengurangi daya beli masyarakat terhadap produk ini.

Selain itu, pendapatan dari pajak rokok dapat dialokasikan khusus untuk pembiayaan kesehatan masyarakat agar lebih berkeadilan.

Mengingat bahwa semakin banyak perokok di usia muda menjadi kekhawatiran bagi masa depan negara, hal ini berkaitan dengan kualitas kesehatan generasi mendatang.

Kita tidak ingin melihat generasi penerus bangsa ini rusak akibat rokok yang dikonsumsi sejak muda.

Meskipun kebijakan untuk tidak menanggung biaya pengobatan akibat rokok dalam BPJS memiliki dasar yang kuat, pendekatan yang lebih komprehensif tetap diperlukan.

Edukasi, regulasi ketat, serta kebijakan kesehatan yang berkeadilan harus menjadi prioritas utama dalam upaya mengurangi dampak buruk rokok di Indonesia.

Dengan demikian, tidak hanya anggaran negara yang bisa lebih efisien, tetapi juga kualitas kesehatan masyarakat secara keseluruhan dapat meningkat.***

Najma Filljannah

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here