Tuesday, 3 June 2025
HomeOpiniSalah Paham dalam Melihat Kekerasan Musik Beatdown-hardcore

Salah Paham dalam Melihat Kekerasan Musik Beatdown-hardcore

Oleh: Raefa Raja Augena, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB

 

Dalam beberapa bulan terakhir, video-video gigs Beatdown-hardcore yang menapilkan aksi crowd killing dan moshing brutal sering kali menjadi bahan perdebatan bahkan olok-olokan di internet, khususnya di kalangan netizen Indonesia. Banyak yang menganggap aksi tersebut sebagai bentuk kekerasan yang tidak bisa dibenarkan. Namun, anggapan ini muncul karena kurangnya pemahaman terhadap budaya asli dari skena beatdown-hardcore itu sendiri.

Budaya menikmati seperti ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Musik-musik seperti ini sudah lama ada tapi memang keberadaannya berada di bawah tanah. Hal ini disebabkan karena tidak banyak orang yang bisa menerima kekhasan dari musik Beatdown-hardcore ini. Karena masifnya internet, sekarang, musik-musik seperti ini sudah memasuki arus utama dalam informasi perihal musik, yang akhirnya banyak netizen yang mengkritisi budaya ini tanpa tahu sejarah awalnya.

Awal Kekerasan di Lantai Dansa 

Sulit untuk mencari asal muasal dari Beatdown-hardcore itu sendiri. Dari apa yang saya tahu, bahwa Beatdown-hardcore adalah subgenre dari Hardcore punk yang berkembang di Amerika Serikat pada awal 1990-an yang diawali dengan berpindahnya band Bad Brains ke New York yang pada akhirnya menjadi pengaruh besar dalam pembentukan skena New York Hardcore (NYHC). Dari skena Hardcore tersebut terciptalah etos Straight Edge, Tough Guy, dan beberapa etos kolektif lainnya. Namun, yang dominan menjadi asal-muasal dari kekerasan di lantai dansa berasal dari etos Tough Guy yang bersifat super maskulin yang akhirnya melahirkan subgenre Beatdown-hardcore yang keras dan kasar.

Musik ini memiliki tempo yang lebih lambat dan nuansa yang lebih berat dibandingkan hardcore tradisional, dengan fokus pada breakdown(bagian tertentu dari sebuah lagu yang ritme, melodi, dan energinya mengalami perubahan dramatis) yang menghancurkan dan lirik yang sering kali mencerminkan perjuangan hidup kaum tertindas serta kemarahan terhadap sistem.

Karena musiknya yang agresif dan maskulin akhirnya tecipta selayaknya konsensus tentang bagaimana cara menikmati beatdown-hardcore agar mengikuti energi yang dihasilkan oleh music tersebut. Crowd killing, stage diving, windmill kicks, dan berbagai bentuk moshing keras lainnya bukanlah bentuk kekerasan yang sembarangan, melainkan sebuah ekspresi kolektif dari komunitas yang sudah memahami aturan tidak tertulis dalam skena ini. Di dalamnya, ada respek antar sesama penggemar. Mereka tahu risiko dan konsekuensi ketika masuk ke dalam gigs tersebut, dan hal itu menjadi bagian dari pengalaman Beatdown-hardcore yang otentik.

Kemungkinan lain mengapa kekerasan bisa menjadi bagian dari skena musik tersebut juga karena faktor geografi sosial asal musik tersebut lahir. Laju cepat kota New York, hiruk pikuk, dan etos kerja yang keras yang dilahirkan di tanah tersebut juga bisa menjadi alasan mengapa orang dapat menciptakan sebuah genre musik yang sesuai dengan energi yang dipancarkan di tempat tersebut.

 

Kontras Kebudayaan

Berbeda dengan Indonesia yang kental dengan sejarahnya dengan musik melayu. Alunan lagu-lagu melayu yang mendayu-dayu dan lirik-liriknya yang melankolis pun membuat budaya dalam menikmati musik dan cara pandang terhadap musik menjadi berbeda. Masayarakat Indonesia lebih mudah untuk menikmati musik dengan irama yang santai dan lirik yang terkesan sederhana.

Ditambah dengan budaya konser genre musik alternatif di Indonesia yang masih lebih banyak didominasi oleh norma yang lebih tertata, seperti crowd surf ringan di konser punk atau headbanging di konser metal. Ketika aksi crowd killing muncul di konser lokal, banyak netizen yang melihatnya sebagai tindakan barbar yang tidak beretika. Mereka cenderung menilai dari sudut pandang masyarakat umum, bukan dari perspektif komunitas yang memang sudah terbiasa dengan budaya tersebut.

Ketidaksiapan ini juga diperburuk oleh sifat media sosial yang sering kali mengamplifikasi hal-hal yang terlihat “mengerikan” tanpa konteks. Sebuah video singkat seseorang terkena tendangan di  mosh pit bisa dengan mudah viral dan memicu reaksi negatif, tanpa ada penjelasan bahwa itu adalah bagian dari kultur beatdown-hardcore yang telah berlangsung puluhan tahun.

 

Semangat Komparasi

Tidak semua jenis musik harus dinikmati dengan cara yang sama. Dalam skena beatdown-hardcore, adrenalin dan ekspresi fisik adalah bagian dari pengalaman musikal. Menghakimi budaya ini sebagai sesuatu yang salah hanya karena tidak sesuai dengan norma mayoritas adalah bentuk intoleransi budaya yang sempit.

Alih-alih langsung mencapnya sebagai kekerasan, penting untuk memahami bahwa skena ini memiliki kode etiknya sendiri. Jika seseorang merasa tidak nyaman atau tidak siap menerima risiko dari pit, pilihan terbaik adalah menikmati konser dari area yang lebih aman. Seperti halnya budaya lain, memahami dan menghormati perbedaannya jauh lebih baik daripada menghakimi tanpa dasar.

Beatdown-hardcore bukan untuk semua orang, dan itu tidak menjadi masalah. Tapi bagi mereka yang memahami dan menikmati budaya ini, crowd killing dan aksi kasar lainnya bukanlah sekadar kekerasan—itu adalah bagian dari identitas dan ekspresi diri yang telah menjadi tradisi puluhan tahun.

Pada akhirnya, masalah seperti ini hanyalah perihal preferensi kesenian yang menghasilkan solusi yang sebenarnya tidak solutif. Tidak ada solusi instan untuk masalah ini, hanya waktu yang semoga akan melunturkan cara pandang orang terhadap kesenian yang berbeda seperti Beatdown-hardcore ini.

 

 

 

           

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here