Bogordaily.net – Saya adalah mahasiswa komunikasi di PTN Bogor sekaligus fotografer dan videografer dalam usaha yang saya rintis bersama teman-teman. Usaha ini kami namakan “Sambil Lari.” Awalnya, fokus kami adalah dokumentasi olahraga lari, tetapi seiring waktu, tawaran yang datang semakin beragam—mulai dari foto wisuda, dokumentasi perjalanan, hingga acara olahraga lain. Kami tetap menerima berbagai pekerjaan ini karena permintaannya lebih banyak dibandingkan dokumentasi olahraga lari.
Selain bayaran yang menarik, kami menikmati pekerjaan ini karena memenuhi rasa penasaran dan semangat eksplorasi kami sebagai anak muda. Kami adalah penggila seni—musik, lukisan, desain grafis, serta foto dan video yang kini kami coba jadikan bisnis. Dari kegemaran ini, muncul ketakutan kami terhadap pekerjaan yang monoton dan kaku. Rutinitas kantor terasa seperti jebakan yang membunuh kreativitas. Itulah alasan kami berusaha mengembangkan bisnis ini agar lebih luas dan menguntungkan.
Suatu hari, kami mendapat tawaran untuk mendokumentasikan video perpisahan salah satu divisi di BUMN. Salah satu atasan mereka akan pindah ke luar negeri, dan mereka ingin mengabadikan momen perpisahan itu. Proyek ini berlangsung selama dua hari, bertepatan dengan jadwal kuliah kami. Namun, dengan bayaran yang cukup menggiurkan, kami bersedia membagi waktu antara pekerjaan dan kuliah.
Hari pertama, rekan saya berhalangan hadir, dan cuaca di Bogor begitu gelap, hampir seperti menjelang maghrib. Saat hendak berangkat, hujan deras turun, membuat saya harus menunggu sebentar. Akibatnya, saya terlambat dan harus buru-buru mengambil peralatan di toko kamera. Dengan barang seberat sekitar 5 kilogram di punggung, saya segera menuju Stasiun Kota Bogor untuk naik kereta ke Stasiun BNI City.
Tiba di sana sekitar pukul 13.00, saya menghubungi PIC untuk konfirmasi, dan mereka memesan taksi ke kantor. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di SCBD, kawasan perkantoran yang banyak diidamkan anak seusia saya. Namun, setelah sampai di sana, saya justru bertanya-tanya, “Apa istimewanya tempat ini?” Yang terlihat hanya gedung-gedung tinggi dan lalu lintas sibuk.
Masuk ke kantor, saya harus mendaftarkan wajah dan identitas agar bisa melewati pintu otomatis pemindai wajah. Saya merasa keren karena nama saya kini tercatat di kantor BUMN di SCBD. Saat tiba di ruang kerja mereka, saya duduk menunggu proses syuting dimulai. Sambil melihat sekeliling, saya memperhatikan orang-orang sibuk dengan laptop masing-masing. Rasanya seperti melihat murid SD yang sedang mengerjakan tugas individu, hanya saja dengan pakaian formal ala pekerja kantoran.
Aura ruangan itu terasa asing bagi saya—dingin, sibuk, dan tanpa jendela kecuali di ruang bos. Saat syuting berlangsung, mereka yang tidak terlibat tetap fokus pada layar, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar. Jam 17.00, setelah syuting selesai, barulah mereka mulai mengobrol, tetapi hanya dalam lingkup pertemanan masing-masing. Suasananya semakin mengingatkan saya pada sekolah dasar.
Saya merenungkan pengalaman ini. Saya semakin yakin bahwa saya tidak ingin bekerja di lingkungan seperti ini. Saya sudah merasa terbebani hanya dengan berada di sana tanpa laptop, apalagi mereka yang harus duduk di depan layar seharian. Tidak ada jendela untuk melihat dunia luar, AC terlalu dingin, dan tidak ada pedagang asongan di sekitar kantor—semua ini terasa begitu menyesakkan bagi jiwa bebas saya.
Setelah beristirahat, saya ditawari makan, tetapi saya sudah tidak betah. Saya memutuskan untuk pulang setelah maghrib dengan barang bawaan yang masih berat. Saat tiba di stasiun, saya tersadar bahwa saya lupa membawa kunci motor. Saya harus menunggu pesanan ojek datang. Sambil menunggu, saya kembali merenungkan masa depan saya.
Saya tidak ingin terjebak dalam rutinitas seperti itu, tetapi saya juga tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi di masa depan. Saya merasa takut dan sedih, baik untuk diri sendiri maupun mereka yang hidup dalam pola kerja yang sudah tertata rapi—jam kerja, makan siang, bahkan waktu untuk berbincang dan bergosip seolah sudah terjadwal. Namun, di sisi lain, saya bersyukur telah memulai bisnis sendiri dan mendapatkan kesempatan untuk melihat realitas pekerjaan yang penuh rutinitas ini.
Akhirnya, kunci saya tiba, dan saya pulang dengan membawa optimisme baru tentang kehidupan dan pilihan masa depan saya.
Â
Raefa Raja Augena J0401231149