Bogordaily.net – Langit perlahan berubah warna ketika langkahku mulai melangkah di pasir Pantai Ulee Lheue, Banda Aceh. Udara sore yang sejuk menyambut kedatanganku dengan belaian angin laut yang lembut. Laut yang terbentang luas di hadapanku seolah tak berujung, menghamparkan biru yang bercampur dengan pantulan warna jingga matahari yang perlahan tenggelam di cakrawala. Ombak kecil bergulung dengan ritme yang tenang, menciptakan suara gemuruh yang berpadu harmonis dengan kicauan burung yang terbang rendah di tepi pantai hendak kembali ke tempat asalnya. Aku menarik napas panjang, membiarkan aroma khas lautan memenuhi paru-paruku, menghapus sejenak kepenatan yang kubawa dari perjalanan panjang menuju tempat ini.
Di sudut pantai yang masih sepi, pandanganku tertuju pada sebuah meja dan bangku kayu yang berdiri sendiri di atas pasir. Sederhana, namun memiliki daya tarik tersendiri. Bangku itu tampak seperti saksi bisu dari banyak cerita, mungkin ada yang pernah duduk di sana sambil menikmati kesendirian, atau mungkin ada yang berbincang hangat dengan sahabat atau kerabat di bawah langit yang mulai beranjak gelap. Aku melangkah mendekat, membayangkan bagaimana rasanya menghabiskan waktu di tempat ini, hanya ditemani deburan ombak dan angin yang membelai lembut wajahku.
Saat aku menduduki bangku kayu coklat tersebut, pasir di bawah kakiku terasa halus, menggelitik kaki, seolah memberikan pijakan yang nyaman bagi siapa pun yang ingin menikmati keindahan pantai ini. Aku membiarkan tubuhku rileks, membiarkan pikiranku mengembara ke mana pun ia ingin pergi. Ada sesuatu yang berbeda dari pantai ini, bukan hanya karena keindahan alamnya, tetapi juga karena ketenangan yang terpancar dari setiap hembusan angin dan suara ombaknya. Aku merasa seperti menemukan tempat di mana waktu melambat, tempat di mana aku bisa benar-benar tenggelam dalam ketenangan tanpa gangguan hiruk-pikuk kehidupan kota.
Namun, di balik ketenangan yang kini terasa begitu mendalam, pantai ini memiliki kisah pilu yang tak bisa dilupakan. Pantai Ulee Lheue pernah menjadi saksi bisu dari salah satu bencana terbesar dalam sejarah, tsunami 2004 yang mengguncang Aceh beberapa tahun silam. Dahulu, tempat ini porak-poranda, diterjang gelombang dahsyat yang menghancurkan segalanya. Ribuan nyawa melayang, rumah-rumah hancur, dan kehidupan yang dulu berjalan normal berubah menjadi tragedi yang mendalam. Namun, waktu berjalan dan masyarakat Aceh bangkit dari keterpurukan. Pantai yang dulu dipenuhi puing-puing kini kembali menjadi tempat yang indah dan menenangkan, menjadi simbol kekuatan dan keteguhan hati manusia dalam menghadapi cobaan yang telah dialami.
Aku membayangkan bagaimana kehidupan di sekitar pantai ini sebelum bencana itu terjadi. Pada saat itu aku belum menginjakkan kaki di dunia, aku tidak dapat menyaksikan secara langsung bagaimana ombak besar melahap kehidupan manusia. Mungkin saat itu ada anak-anak yang berlarian di pasir, para nelayan yang sibuk dengan perahunya, dan keluarga yang menghabiskan waktu bersama menikmati senja. Kini, meski luka lama masih tersimpan dalam ingatan, kehidupan perlahan kembali bersemi. Aku melihat beberapa orang berjalan santai di sepanjang garis pantai, menikmati semilir angin yang berhembus lembut. Ada pasangan yang duduk di bangku kayu, larut dalam obrolan ringan, sementara beberapa anak kecil berlarian di pasir, meninggalkan jejak-jejak kecil yang segera terhapus oleh ombak. Suasana terasa damai, seolah pantai ini menjadi tempat pelarian dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Meski pernah mengalami masa sulit, kini Ulee Lheue kembali menjadi ruang bagi banyak orang untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam kesederhanaan.
Sambil menikmati suasana yang begitu damai, aku membayangkan betapa menyenangkan rasanya jika bisa menghabiskan lebih banyak waktu di sini. Pantai ini bukan hanya sekadar tempat wisata, ia adalah ruang refleksi, tempat di mana siapa pun bisa menemukan kedamaian di tengah suara ombak yang berulang-ulang menyapu pantai. Aku teringat akan berbagai hal dalam hidupku, perjalanan panjang yang telah kulalui, kesibukan yang sering kali membuatku lupa untuk menikmati momen-momen sederhana seperti ini.
Warna langit semakin pekat, menciptakan gradasi jingga, merah muda, kuning, dan ungu yang begitu indah di cakrawala. Matahari perlahan tenggelam, meninggalkan jejak cahaya terakhirnya yang berwarna jingga di permukaan air yang berkilauan. Aku membiarkan diriku larut dalam pemandangan itu, mengabadikannya dalam ingatan sebelum akhirnya malam benar-benar mengambil alih.
Namun, seperti semua perjalanan lainnya, waktu memaksaku untuk beranjak. Aku tahu, aku harus meninggalkan pantai ini, meskipun hati kecilku ingin tetap tinggal lebih lama. Dengan langkah perlahan, aku berjalan menyusuri pasir yang mulai terasa dingin di bawah kakiku, sesekali menoleh ke belakang untuk menikmati pemandangan terakhir sebelum gelap menyelimuti. Aku tahu, suatu hari nanti, aku pasti akan kembali ke sini.
Pantai Ulee Lheue tidak hanya menjadi hamparan pasir dan deburan ombak yang indah, tetapi juga saksi bisu perjalanan panjang kehidupan. Di balik ketenangannya yang menggelitik hati, tersimpan jejak sejarah yang mendalam tentang masa lalu yang penuh luka, tentang duka yang pernah menyelimuti, tetapi juga tentang kekuatan untuk bangkit dan melangkah maju. Setiap hembusan angin yang berdesir membawa kisah tentang mereka yang bertahan, mereka yang memilih untuk tidak larut dalam kesedihan, dan mereka yang kembali membangun kehidupan dengan semangat yang tak pernah padam.
Inayatul Muthmainnah, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB