Bogordaily.net – Cerita ini mengambil latar waktu saat saya masih duduk di bangku SMA dulu, tepatnya, saat saya telah berhasil menyelesaikan Ujian Akhir Semester di kelas 2. Keluarga saya sudah merencanakan perjalanan ini jauh-jauh hari, dan destinasi yang kami pilih kali ini adalah Candi Borobudur, salah satu keajaiban dunia yang selalu ingin saya kunjungi. Perjalanan ini terasa begitu spesial karena ini akan menjadi kali pertama saya menginjakkan kaki di sana.
Perjalanan menuju Borobudur dimulai dari kampung halaman kami di Medan. Kami memilih perjalanan darat dengan mobil, sebuah keputusan yang disepakati dengan alasan bisa lebih santai menikmati perjalanan. Namun, siapa sangka perjalanan ini menjadi tantangan tersendiri? Medan menuju Yogyakarta bukanlah jarak yang bisa ditempuh dalam sekejap mata. Berhari-hari di dalam mobil, melewati jalanan yang tak selalu bersahabat, ditambah adik saya yang terus bertanya “kapan sampai?” setiap beberapa jam sekali, membuat perjalanan ini terasa seperti tidak ada ujungnya.
Kami melintasi kota-kota yang sebelumnya hanya saya kenal lewat peta—Pekanbaru, Jambi, Palembang, hingga akhirnya masuk ke Pulau Jawa melalui kapal feri. Saya sudah mengira perjalanan darat ini akan membosankan, tetapi ternyata setiap daerah yang kami lalui menawarkan kejutan tersendiri. Ada makanan khas yang mencuri perhatian, seperti pempek di Palembang yang nikmatnya tak tertandingi. Ada juga pengalaman hampir tersesat di jalan tol yang sepi, gara-gara GPS memutuskan untuk mati mendadak.
Begitu memasuki Jawa Tengah, suasana mulai terasa berbeda. Pepohonan hijau yang membingkai jalanan, langit yang lebih biru, serta udara yang sedikit lebih sejuk menyambut. Kami tiba di Yogyakarta menjelang malam, tubuh terasa remuk setelah perjalanan panjang. Tetapi semangat kami tetap utuh, terutama karena keesokan harinya, petualangan di Borobudur menanti.
Sesampainya di kompleks Candi Borobudur, cuaca siang yang cukup terik langsung menyapa kami. Saya menatap megahnya struktur candi dari kejauhan, terpana oleh keindahannya yang selama ini hanya bisa saya lihat lewat buku dan layar ponsel. Setelah membeli tiket, kami pun masuk ke area wisata dan mulai menaiki tangga menuju candi.
Saat pertama kali melangkah ke pelataran candi, saya tak bisa menyembunyikan kekaguman saya. Struktur batu bertingkat yang dihiasi relief bercerita tentang kehidupan Buddha terasa begitu sakral. Langkah demi langkah, saya menyusuri lorong-lorong yang dipenuhi ukiran detail, mencoba memahami kisah-kisah yang terpahat di dinding. Rasa penasaran saya semakin membuncah, ingin mengetahui lebih dalam makna di balik setiap pahatan yang ada.
Namun, perhatian saya tak hanya tertuju pada keindahan candi. Adik saya, yang penuh semangat dan kebanyakan energi, tiba-tiba memutuskan untuk memanjat tangga ke atas candi dengan cepat. Saya yang awalnya sibuk mengambil foto, baru menyadari kelakuannya saat ia sudah beberapa tingkat di atas saya. Panik, saya pun segera mengejarnya.
Tantangan mulai muncul saat kami naik semakin tinggi. Lorong-lorong yang awalnya ramai kini terasa sepi, hanya ada suara napas kami yang terengah-engah. Saya semakin cemas karena HP saya kehilangan sinyal. Bagaimana jika kami benar-benar tersesat di antara stupa-stupa raksasa ini? Apalagi ini adalah kali pertama saya ke sini.
Di puncak candi, saya berhasil meraih tangan adik saya. “Jangan lari sembarangan!” tegur saya dengan suara setengah meninggi. Namun, melihat senyum polosnya yang seolah tidak terpengaruh dengan marah saya, saya hanya bisa menghela napas panjang. Kami duduk sejenak di dekat stupa terbesar, memandangi hamparan hijau di kejauhan. Pemandangan itu begitu menenangkan, meski di dalam hati saya masih diliputi kekhawatiran karena terpisah dari keluarga.
Dengan hati-hati, saya mengajak adik saya turun. Setiap langkah terasa mendebarkan, apalagi saat melewati wisatawan lain yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Setelah beberapa menit berjalan, kami akhirnya sampai di tangga utama. Saya dan adik saya memutuskan untuk menunggu keluarga di sana, berharap mereka akan segera menyusul dan menemukan kami.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Matahari mulai terasa lebih terik, dan saya hanya bisa mengamati pengunjung lain yang berlalu-lalang dengan degup jantung yang semakin menderu sarat akan cemas. Namun, tak sampai 30 menit kemudian, suara ibu memanggil nama kami terdengar dari kejauhan. Rasa lega menyelimuti saya saat akhirnya kami bertemu kembali.
Setelah peristiwa yang cukup mendebarkan itu, kami sekeluarga memutuskan untuk menutup perjalanan dengan makan bersama di sebuah restoran seafood yang terkenal di daerah Magelang. Aroma ikan bakar dan udang goreng tepung memenuhi udara, membuat perut yang sejak tadi kosong semakin keroncongan. Saat makanan tersaji, kami pun menikmati hidangan sambil tertawa-tawa membahas kejadian di candi tadi. Saya bisa melihat wajah lega di mata ibu dan ayah, serta wajah polos adik saya yang tampak puas dengan petualangannya hari ini.
Hari itu, saya bukan hanya menikmati keindahan Candi Borobudur, tetapi juga mengalami petualangan yang tak terduga. Sebuah pengalaman yang mendebarkan, sekaligus mengajarkan banyak hal dan akan terus saya kenang dalam ingatan.***
Michelia Aisha Rangkuti – Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi