Bogordaily.net – Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi. Dunia virtual kini menjadi ruang sosial baru, terutama melalui platform game online yang memungkinkan para pemain terhubung dalam skala global. Salah satu game yang populer di komunitas pemain game adalah Player Unknown’s Battlegrounds (PUBG). Dalam game ini, komunikasi digital menjadi suatu hal penting yang menentukan strategi, koordinasi tim, dan pengalaman bermain secara keseluruhan.
Namun, di balik keragaman interaksi tersebut, terdapat perilaku komunikasi yang kompleks, termasuk munculnya fenomena perilaku “toxic”. Perilaku ini mencakup tindakan negatif seperti penghinaan verbal, trolling, pelecehan, cyber bullying, hingga penggunaan kata-kata kasar yang dapat merusak suasana bermain. Di sisi lain, perilaku “supportive” yang ditandai dengan dukungan, motivasi, dan kerjasama antar pemain juga banyak ditemukan, menciptakan lingkungan permainan yang lebih positif dan menyenangkan.
Artikel ini, akan menganalisis dua jenis perilaku komunikasi digital tersebut dalam komunitas PUBG. Analisis akan berfokus pada bagaimana perilaku “toxic” dan “supportive” muncul dalam interaksi pemain, serta dampaknya terhadap perilaku sosial dalam game. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan para pemain dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya komunikasi positif dalam menciptakan suasan bermain yang sehat dan mendukung perkembangan komunitas game yang lebih baik.
Perilaku “Toxic” dalam Komunikasi Digital di PUBG
Perilaku “toxic” biasa merujuk pada tindakan negatif yang dilakukan oleh pemain, seperti penggunaan bahasa kasar, penghinaan, cyber bullying dan perilaku agresif lainnya yang ditujukan kepada rekan tim atau lawan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurmohamed (2018), perilaku “trash talking” dalam game dapat menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya perilaku kompetitif yang tidak sehat dan menurunnya kinerja serta kreativitas pemain.
Perilaku “toxic” sering kali dipicu oleh tekanan bermain dalam permainan, terutama ketika pemain merasa frustasi akibat kekalahan atau ketidakseimbangan tim. Situasi tersebut mendorong beberapa individu untuk melampiaskan emosi negatif nya melalui komunikasi digital. Salah satu bentuk perilaku “toxic” yang sering ditemui di PUBG adalah flame war, yakni saling berbalas hinaan atau ejekan di kolom chat. Meski bagi sebagian pemain perilaku ini dianggap hiburan atau bentuk ekspresi bebas, nyatanya flame war dapat memicu konflik lebih besar dan memperburuk suasana bermain.
Faktor virtual dalam komunikasi digital juga menjadi alasan kuat munculnya perilaku “toxic”. Pemain merasa lebih bebas mengekspresikan perilaku negatif karena identitas mereka tidak diketahui secara langsung. Penelitian oleh Suler (2004) mengenai Online Disinhibition Effect menjelaskan bahwa anonimitas digital sering membuat individu bertindak lebih agresif
dibandingkan dalam interaksi langsung. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh pemain tertentu untuk melakukan cyberbullying terhadap pemain lain, yang dapat berujung pada stres, tekanan mental, bahkan keputusan beberapa pemain untuk berhenti bermain secara permanen.
Dalam konteks PUBG, perilaku “toxic” dapat muncul dalam bentuk trolling (bermain tidak serius atau mengganggu rekan tim), taunting (melakukan gerakan atau ucapan yang menghina lawan), trash talking (mengeluarkan kata kata kasar untuk menghina tim sendri ataupun lawan) dan penggunaan cheat (bermain curang dengan memanfaatkan program ilegal). Perilaku semacam ini tidak hanya merusak pengalaman bermain individu, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan permainan yang tidak menyenangkan dan negatif bagi komunitas secara keseluruhan.
Perilaku “Supportive” dan Dampaknya pada Komunitas PUBG
Sebaliknya, perilaku “supportive” melibatkan tindakan positif yang mendukung kerjasama tim dan menciptakan suasana bermain yang kondusif. Komunikasi yang efektif melalui fitur voice chat atau chat box dalam PUBG memungkinkan pemain untuk berkoordinasi, memberikan instruksi, dan saling mendukung selama permainan berlangsung. Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang baik antar pemain dapat meningkatkan kinerja tim dan memberikan pengalaman bermain yang lebih menyenangkan.
Selain menciptakan suasana bermain yang lebih positif, perilaku “supportive” juga berperan dalam meningkatkan rasa kebersamaan dan solidaritas antar pemain. Ketika pemain saling memberikan dukungan, baik melalui komunikasi verbal maupun tindakan seperti membantu rekan tim yang terjatuh atau berbagi perlengkapan, rasa kepercayaan dan solidaritas dalam tim pun meningkat. Hal ini tidak hanya berdampak pada keberhasilan dalam permainan, tetapi juga memperkuat hubungan sosial di luar game. Beberapa pemain bahkan membangun pertemanan yang berlanjut di dunia nyata berkat komunikasi yang positif selama bermain PUBG.
Tak hanya di dalam game, perilaku “supportive” juga terlihat dalam komunitas online yang terbentuk di berbagai platform media sosial, seperti grup Facebook, Discord, dan WhatsApp Group. Di tempat-tempat ini, para pemain sering berbagi pengalaman, memberi saran strategi, serta mendiskusikan berbagai hal terkait permainan. Diskusi yang sehat dan saling mendukung dalam komunitas daring ini dapat menjadi sarana edukasi bagi pemain pemula dan mendorong terciptanya budaya bermain yang lebih inklusif dan konstruktif. Dengan adanya ruang diskusi yang positif, komunitas PUBG mampu berkembang menjadi lingkungan yang ramah bagi semua kalangan pemain.
Faktor yang Mendorong Terjadinya Perilaku Toxic dan Supportive
Terdapat beberapa faktor yang mendorong munculnya perilaku toxic atau supportive dalam komunitas game seperti PUBG. Salah satunya adalah pengalaman dan latar belakang pemain. Pemain yang sudah berpengalaman cenderung lebih sabar dan memahami pentingnya kerjasama dalam permainan. Sebaliknya, pemain pemula sering kali merasa tertekan dan akhirnya melampiaskan emosi negatif, pada saat mengalami kekalahan, trolling oleh tim sendiri dan yang paling utama jika tidak mendapat support yang baik dari tim.
Faktor kedua adalah desain permainan itu sendiri. PUBG sebagai game berbasis tim sangat bergantung pada komunikasi antar pemain. Ketika permainan didesain dengan mekanisme yang mendorong kompetisi tinggi tanpa adanya fitur komunikasi yang memadai, seperti chatbox, dan fitur voice chat, peluang munculnya perilaku toxic menjadi lebih besar. Namun, fitur-fitur seperti
sistem laporan perilaku dan pemberian penghargaan bagi pemain yang berperilaku baik dapat membantu mengurangi tindakan negatif dan mendorong perilaku supportive.
Faktor lingkungan sosial juga memainkan peran penting. Pemain yang terlibat dalam komunitas positif di luar game, seperti grup media sosial yang mendukung komunikasi sehat, lebih cenderung menunjukkan perilaku supportive. Sebaliknya, lingkungan komunitas yang tidak terkontrol dapat memicu sikap agresif atau toxic di dalam game.
Strategi Mengatasi Perilaku Toxic dalam Komunitas Game
Mengatasi perilaku “toxic” dalam komunitas game PUBG memerlukan pendekatan yang baik, melibatkan pengembang, pemain, serta komunitas secara keseluruhan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan oleh pengembang adalah dengan memperkuat sistem fitur komunikasi. Fitur seperti pelaporan atau sering disebut report perilaku buruk, filter kata-kata kasar, hingga pemberian sanksi tegas dapat membantu mengurangi perilaku negatif di dalam game. Penelitian oleh Chesney et al. 2009 menunjukkan bahwa moderasi yang efektif dapat secara signifikan menekan perilaku agresif di komunitas online.
Pendidikan digital juga memberikan peran penting dalam membangun kesadaran pemain mengenai etika berkomunikasi di dunia virtual. Mengedukasi pemain tentang dampak negatif perilaku “toxic” dan mendorong perilaku “supportive” dapat dilakukan melalui kampanye dalam game atau program komunitas. Menurut Kowert dan Oldmeadow 2015, “pendekatan edukatif berbasis komunitas mampu meningkatkan kesadaran sosial pemain, sekaligus memperkuat solidaritas antar anggota komunitas”.
Selain itu, Komunitas Game PUBG itu sendiri dapat berperan sebagai pengawas sosial yang membantu menciptakan suasana positif. Pemain yang memiliki pengaruh besar dalam komunitas, seperti streamer atau pro player, dapat memberikan contoh perilaku yang baik, sehingga mendorong anggota lain untuk mengikuti perilaku tersebut. Studi oleh Pratama 2022 menunjukkan bahwa pemain dengan status sosial tinggi di komunitas online sering berperan sebagai agen perubahan dalam membangun budaya komunikasi yang sehat.***
Arzan Malika Satriawan