Monday, 31 March 2025
HomeBeritaTragedi Dokter PPDS Undip: Alarm bagi Dunia Kedokteran

Tragedi Dokter PPDS Undip: Alarm bagi Dunia Kedokteran

Bogordaily.net – Dunia massa digemparkan ketika kabar mengenai berpulangnya salah seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), dr. Aulia Risma Lestari (30) pada 12 Agustus 2024. Keadaannya ditemukan tergeletak dalam kamar indekosnya di Lempongsari, Gajahmungkur, Semarang dengan dugaan bahwa ia menyuntikkan obat ke dalam tubuhnya.

Dalam buku hariannya tertulis tentang tekanan yang ia alami selama menempuh pendidikan, hal ini termasuk perintah keras dari senior dan beban akademik yang berat. Ia juga pernah mengungkapkan keinginannya untuk berhenti kepada ibunya karena dirasa tidak lagi kuat.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menanggapi lewat investigasi yang langsung dilancarkan untuk memastikan bahwa tidak adanya unsur perundungan dalam kasus ini. Menkes Budi Gunadi Sadikin juga menyatakan bahwa pihaknya sendiri telah mengirimkan tim audit ke Undip untuk bekerja sama dengan pihak kepolisian setempat.

Adapun, pihak Undip sendiri membantah dugaan adanya perundungan yang terjadi serta penyebab dari kematian dr. Aulia. Begitu pula, pihak orang tua dari dr. Aulia yang menolak dugaan bahwa alasan kematian didasarkan oleh bunuh diri.

Kasus ini menyoroti isu perundungan dan pentingnya kesehatan mental mahasiswa dan tenaga medis, selain itu memberikan wawasan dari realitas kelam yang jarang dibicarakan di dunia medis, yakni tekanan akademik yang berat, dan budaya senioritas yang kental. Tragedi ini mencerminkan masalah sistemik yang telah berakar dalam lingkungan pendidikan kedokteran di Indonesia.

Hal ini memberikan rasa relevansi yang semakin kuat karena dekat dengan isu kesehatan mental yang mulai banyak diperbincangkan khususnya dalam konteks kasus ini pada kalangan mahasiswa dan tenaga medis, kelompok dengan tuntutan kuat dan profesionalitas yang tinggi, sehingga rentan akan stres.

Semakin banyak suara yang bersatu, perubahan pun juga dapat dinyatakan. Peristiwa ini seharusnya dapat menjadi titik balik untuk mengevaluasi secara menyeluruh sistem pendidikan dan juga perlindungan bagi tenaga medis.

Budaya Perundungan di Dunia Kedokteran
Jika menilik budaya perundungan di dunia kedokteran, dapat ditinjau jauh sekali dari masa kolonial Belanda. Pada era tersebut, isntitusi seperti STOVIA (School tot Opleidig van Inlandsche Artsen) yang telah menerapkan praktik perpeloncoan bagi siswa baru dengan tujuan untuk memperkenalkan masa kehidupan kampus serta membentuk kedisiplinan.

Namun, praktik ini melibatkan hingga tugas-tugas yang dapat merendahkan martabat, seperti contohnya membersihkan sepatu senior atau pekerjaan pribadi lainnya yang kadang tidak ada hubungannya dengan akademik.

Lalu, sering berjalannya waktu budaya senioritas mulai berkembang hingga menjadi budaya hierarki yang terasa kaku dan menyesakkan dalam pendidikan kedokteran.

Sampai suatu saat, budaya senioritas ini mulai dianggap sebagai suatu bagian integral yang tak terlepaskan, bahkan dinormalisasikan dalam proses akademik, dengan anggapan bahwa tekanan dan kedisiplinan yang ketat diperlukan demi mewujudkan sosok dokter yang kompeten.

Namun, budaya senioritas dengan “tujuan awalnya” mendisiplinkan mahasiswanya malah mulai mengarah pada perundungan serta perlakuan tidak adil terhadap mahasiswa junior.

Permasalahan ini bukan hanya menyangkut pada satu institusi, tetapi sebuah masalah besar bagi negara, terutama dalam menghasilkan kualitas sumber daya manusia tenaga medis yang harusnya mumpuni malah melalui penindasan secara struktural.

Meskipun begitu, beberapa pihak juga berpendapat bahwa budaya senioritas ini tetap diperlukan sebagai bentuk pendisiplinan serta mengajarkan profesionalisme.

Namun, realitasnya menunjukkan bahwa praktik ini malah sering kali disalahgunakan sehingga berdampak pada kesehatan mental mahasiswa hingga merusak kualitas pendidikan dan layanan kesehatan di masa depan.

Kasus perundungan dalam pendidikan kedokteran di Indonesia terbilang bukan sebuah fenomena yang baru. Seperti contohnya pada tahun 2024 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran (Unpad) terduga tujuh mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) menerima sanksi akibat terlibat dalam perundungan terhadap rekan mereka.

Hal ini terjadi, walaupun pihak kampus sendiri telah menetapkan pakta integritas serta membentuk tim khusus pencegahan perundungan di lingkungan kampus, menunjukkan bahwa upaya pencegahan telah diupayakan dan memang masih perlu lebih lagi ditingkatkan.

Selain itu, tertulis sebanyak 300 laporan dengan kasus dugaan perundungan di lingkungan PPDS di berbagai universitas di Indonesia dalam data Kementerian Kesehatan.

Kasus ini mencakup berbagai jenis perundungan, mulai dari intimidasi secara verbal hingga tekanan mental yang berlebihan.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang efektik atas perundungan dalam pendidikan kedokteran sangat dibutuhkan.

Tanpa adanya penanganan yang tepat, perundungan dapat sangat berdampak secara negatif pada kesehatan mental serta kinerja para calon tenaga medis, serta merusak citra profesi medis secara keseluruhan.

Peran Institusi dan Masyarakat
Kasus perundungan yang menjamur ini memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Mulai dari pihak universitas, rumah sakit, dan masyarakat. Setiap peran diperlukan demi menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung.

Tanggung jawab besar diharapkan dari pihak institusi dan rumah sakit dalam memastikan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari budaya senioritas yang mulai melenceng ke arah perundungan.

Dua pihak ini perlu menciptakan sebuah budaya baru yang mendorong rasa hormat dan juga penghargaan antarsejawat, serta menginiasi adanya perubahan pada kurikulum pendidikan dengan menyelipkan beberapa materi dengan topik mengenai pencegahan perundungan serta pengembangan keterampilan sosial-emosional.

Selain itu, institusi pendidikan kedokteran perlu memastikan bahwa seluruh sivitas pendidikan paham betul akan pentingnya kesetaraan hak akan pendidikan dan juga mengenai etika. Seperti lewat perbaikan kurikulum dan pelatihan bagi tenaga pendidik dan mahasiswa.

Mekanisme pengaduan yang efektif juga penting untuk memastikan setiap korban perundungan dapat melaporkan insiden tanpa muncul rasa malu atau takut. Seperti contohnya Kementerian Kesehatan yang telah menyediakan sarana pengaduan perundungan lewat web dan nomor yang dapat diakses lewat aplikasi WhatsApp.

Namun, kenyataannya implementasi serta peraturan yang ada masih kurang disosialisasikan kepada mahasiswa, pendidik, tenaga kesehatan, serta seluruh sivitas dalam pencegahan dan penanganan perundungan.

Selain menyediakan sarana pengaduan, institusi pendidikan kedokteran perlu dan harus mengadakan pendampingan terhadap korban perundungan dengan kembali memberdayakan tim konseling dan layanan kesehatan.

Selain itu pada kasus dokter PPDS Undip, identitas korban dan/atau saksi harus dirahasiakan demi mengantisipasi pemberitaan yang berlebihan.

Masyarakat juga memegang peranan penting dalam mendorong perubahan budaya ke arah yang positif dalam dunia pendidikan kedokteran.

Lewat, meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif perundungan dan pentingnya kesehatan mental, masyarakat dapat menyatukan suara untuk menekan institusi pendidikan kedokteran untuk mengambil langkah preventif dan responsif terhadap kasus perundungan.

Selain itu, dukungan masyarakat terhadap korban perundungan sangat penting. Lewat penciptaan akan lingkungan yang suportif dan mendukung serta tidak menyudutkan korban, masyarakat mampu membantu proses pemulihan dan memberikan dukungan pada korban untuk melaporkan kasus tersebut.

Secara keseluruhan dokter PPDS Undip, kolaborasi antara institusi pendidikan kedokteran, rumah sakit, dan masyarakat sangat penting untuk menghasilkan sinergi yang menciptakan lingkungan pendidikan kedokteran yang aman, inklusif, dan bebas dari perundungan.

Kasus Dokter PPDS Undip, dr. Aulia dan berbagai insiden serupa menunjukkan bahwa perundungan dalam dunia pendidikan kedokteran bukanlah isu yang dapat diabaikan begitu saja.

Diperlukan komitmen kuat dari beberapa pihak seperti institusi pendidikan kedokteran, rumah sakit, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan manusiawi. Lewat mekanisme perlindungan yang efektif dan perubahan budaya menuju yang lebih sehat, diharapkan tragedi serupa tidak akan terulang di masa depan.***

Happy Taranian Olifia
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here