Oleh: Fayyaz Ahsan Widyanto, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Kebakaran besar yang melanda Glodok Plaza, Jakarta Barat, pada 15 Januari 2025, menjadi sebuah tragedi yang kembali membuka wacana tentang standar keselamatan dan kesiapan darurat di ruang publik, khususnya di pusat hiburan dan gedung komersial. Insiden ini tidak hanya menyebabkan 14 orang dinyatakan hilang, beberapa di antaranya telah berhasil diidentifikasi, tetapi juga menimbulkan kerusakan bangunan yang parah serta berdampak pada aktivitas ekonomi di sekitar kawasan tersebut.
Api yang melalap lantai 7 hingga 9, yang difungsikan sebagai tempat hiburan seperti karaoke dan diskotek, memperlihatkan bahwa sistem keamanan di tempat-tempat semacam ini masih perlu ditinjau lebih lanjut. Kejadian ini hendaknya dijadikan bahan evaluasi bagi para pemangku kepentingan, termasuk pengelola gedung, otoritas pemerintah, dan masyarakat secara luas.
Salah satu aspek yang menjadi perhatian utama adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk memadamkan api. Kebakaran ini berlangsung lebih dari 12 jam, dan proses pemadaman melibatkan 45 unit mobil pemadam kebakaran serta 230 personel pemadam.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius terkait efektivitas sistem pencegahan kebakaran yang diterapkan di gedung tersebut. Secara ideal, bangunan komersial, terutama yang memiliki fungsi sebagai tempat hiburan dengan risiko kebakaran tinggi, seharusnya dilengkapi dengan sistem alarm yang sensitif, alat pemadam kebakaran yang mudah dijangkau, serta jalur evakuasi yang dirancang dengan baik dan dapat digunakan dengan cepat dalam kondisi darurat.
Jika sistem tersebut telah diterapkan secara optimal, bukan tidak mungkin kebakaran dapat dikendalikan lebih awal, sehingga potensi jatuhnya korban jiwa bisa diminimalisasi.
Dugaan awal mengenai asal mula kebakaran dari lantai 7 dan 8, yang merupakan area karaoke dan diskotek, semakin memperkuat urgensi penegakan standar keselamatan.
Salah satu faktor yang mempercepat penyebaran api adalah penggunaan material peredam suara seperti glasswool, yang dikenal mudah terbakar. Pertanyaannya, apakah bahan bangunan dan sistem keamanan yang digunakan di dalam gedung ini telah memenuhi regulasi keselamatan yang ditetapkan? Apakah pengelola gedung rutin melakukan inspeksi terhadap sistem keamanan? Jika tidak, maka jelas terdapat kelalaian yang berkontribusi terhadap besarnya dampak kebakaran ini.
Dalam situasi seperti ini, bukan hanya pengelola gedung yang harus bertanggung jawab, tetapi juga pihak-pihak yang terlibat dalam proses perizinan dan pengawasan operasional bangunan tersebut.
Lebih jauh, penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian dengan memeriksa manajemen Diskotek Tiyara, yang beroperasi di lantai tempat asal api, merupakan langkah yang tepat. Namun, investigasi semata tidak cukup untuk mencegah peristiwa serupa di masa mendatang. Regulasi mengenai standar keselamatan di pusat hiburan harus diperketat dan diawasi secara lebih ketat oleh pihak berwenang.
Peristiwa kebakaran di gedung-gedung komersial bukanlah kejadian yang baru, tetapi sering kali berlalu tanpa perubahan kebijakan yang signifikan. Akibatnya, insiden serupa terus berulang, dan korban jiwa kembali berjatuhan. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan publik belum menjadi prioritas utama dalam perencanaan dan pengelolaan fasilitas umum.
Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat juga perlu memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap keamanan di ruang publik. Meskipun tanggung jawab utama berada pada pihak pengelola dan regulator, individu sebagai pengguna fasilitas juga perlu lebih kritis dalam memilih tempat hiburan.
Pemeriksaan sederhana seperti mengecek keberadaan alat pemadam kebakaran atau jalur evakuasi dapat menjadi langkah preventif yang menyelamatkan nyawa dalam kondisi darurat. Kesadaran kolektif terhadap pentingnya keselamatan di ruang publik harus terus ditingkatkan, agar tidak ada lagi korban jiwa yang jatuh akibat kelalaian dalam pengelolaan fasilitas umum.
Tragedi yang terjadi di Glodok Plaza bukan hanya sekadar insiden kebakaran biasa, tetapi merupakan cerminan dari persoalan sistemik dalam hal penerapan standar keselamatan di Indonesia.
Kejadian ini harus menjadi momentum evaluasi bagi semua pihak—baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat—agar regulasi yang sudah ada tidak hanya sekadar formalitas, melainkan benar-benar diterapkan secara efektif.
Nyawa manusia tidak boleh dikorbankan demi keuntungan bisnis semata. Sudah saatnya kita bersama-sama menuntut perbaikan sistem yang lebih komprehensif dalam aspek keselamatan di ruang publik, sehingga kejadian tragis seperti ini tidak kembali terulang di masa depan.***