Friday, 18 April 2025
HomeOpiniAI dan Seni Ghibli: Inovasi atau Pencurian Kreativitas?

AI dan Seni Ghibli: Inovasi atau Pencurian Kreativitas?

Bogordaily.net – Beberapa waktu terakhir, dunia maya diramaikan oleh tren gambar-gambar bergaya Seni Ghibli yang ternyata bukan hasil karya tangan animator, melainkan hasil ciptaan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Teknologi ini mampu menghasilkan ilustrasi memukau, meniru gaya khas Ghibli yang selama ini dikenal dengan kehangatan visual, keindahan fantasi dan jiwa Jepang yang kuat. Namun, dibalik kekaguman publik terhadap kecanggihan ini, muncul pertanyaan besar: apakah karya AI tersebut adalah bentuk inovasi yang harus disambut atau justru pencurian terhadap kreativitas manusia?

Studio Ghibli bukan sekadar rumah produksi animasi, melainkan simbol dari seni yang dibuat dengan ketulusan dan ketekunan di bawah arahan maestro Hayao Miyazaki yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam proses kreatif. Maka, saat muncul gambar-gambar ala Ghibli buatan AI, banyak orang mulai mempertanyakan batas etika dalam penggunaan teknologi tersebut. Apalagi jika gambar itu dihasilkan tanpa seizin kreator asli dan digunakan secara luas di media sosial, bahkan dalam beberapa kasus dikomersialisasikan.

AI art generator seperti Midjourney, DALL•E, dan Stable Diffusion memang luar biasa. Ia bisa menciptakan karya visual dalam hitungan detik hanya dari deskripsi teks. Akan tetapi, kemampuan ini tidak muncul begitu saja. AI “belajar” dari kumpulan data besar yang mencakup ribuan bahkan jutaan karya seniman yang telah ada. Ketika AI menghasilkan gambar bergaya Ghibli, ia sejatinya tidak menciptakan dari nol, melainkan mengolah ulang gaya visual yang sudah melekat kuat dengan identitas Studio Ghibli.

Masalahnya terletak pada tidak adanya persetujuan eksplisit dari para kreator yang karyanya digunakan sebagai bahan pelatihan AI. Dalam konteks ini, penggunaan AI tidak lagi menjadi bentuk apresiasi, melainkan eksploitasi. Bahkan Hayao Miyazaki sendiri dalam sebuah wawancara pernah menyebut bahwa AI art adalah sesuatu yang “tidak memiliki jiwa” dan “tidak menghormati kehidupan”. Ucapan ini menjadi cerminan keresahan para seniman terhadap pesatnya kemajuan teknologi yang mulai mengaburkan batas antara kreasi manusia dan ciptaan mesin.

Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa AI hanyalah alat. Seperti halnya kamera yang dulu dianggap mengancam eksistensi pelukis, AI juga bisa digunakan untuk membantu proses kreatif manusia, bukan menggantikannya. Misalnya, AI bisa dimanfaatkan untuk membantu visualisasi awal sebelum seniman membuat versi akhirnya. Bahkan, beberapa seniman digital mulai memasukkan AI sebagai bagian dari eksplorasi artistik mereka.

Namun yang menjadi persoalan bukan sekadar “apakah AI bisa berkarya?”, tapi lebih kepada “siapa yang berhak atas karya tersebut?” Jika AI menghasilkan ilustrasi ala Ghibli dan seseorang mengklaim itu sebagai miliknya lalu mengunggah atau menjualnya, apakah itu adil bagi Studio Ghibli yang telah membangun identitas visual itu selama puluhan tahun?

Dalam ranah hukum, perdebatan ini masih terus berlangsung. Banyak negara belum memiliki regulasi yang tegas terkait hak cipta terhadap karya yang dihasilkan AI. Di beberapa kasus, pemilik model AI yang bukan kreator gambar dan memiliki hak cipta, sehingga menambah lapisan rumit dalam diskusi etika ini.

Bagi mahasiswa komunikasi digital dan media seperti saya, isu ini menjadi refleksi penting. Di era teknologi yang serba cepat ini, kita harus kritis dan peka terhadap dampak sosial dan etika dari kemajuan digital. AI adalah alat yang kuat, tetapi tanpa batasan yang jelas, ia bisa menjadi senjata yang merusak nilai orisinalitas dan apresiasi terhadap kerja kreatif manusia.

Kesimpulannya, penggunaan AI dalam dunia seni, termasuk yang meniru gaya Ghibli, bukan sekadar perbincangan teknologi, melainkan adalah soal moral dan identitas. Kita tidak bisa menolak kemajuan, tetapi kita juga tidak boleh menormalisasi pencurian kreatif hanya karena dilakukan oleh mesin. Inovasi harus berjalan berdampingan dengan penghormatan terhadap hak cipta dan nilai kemanusiaan. Jika tidak, maka seni akan kehilangan jiwanya dan yang tersisa hanyalah gambar-gambar kosong tanpa makna.***

 

Witsqa Nurul Aflah, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here