Bogordaily.net – Pada 7 September 2024, kami memulai perjalanan menuju Gelar Alam, sebuah desa adat yang kami ketahui dari sebuah video dokumenter di YouTube. Video tersebut menampilkan sosok Abah Ugi, seorang ketua adat dengan kepemimpinan inspiratif, meskipun hanya lulusan SMA.
Kata-katanya tentang kebermanfaatan bagi sesama dan kelestarian budaya membuat kami tertarik untuk mengunjungi tempat tersebut. Namun, tujuan kami ke sana masih samar. Ketika ditanya, kami hanya bisa menjawab, “Kami ingin belajar.” Tetapi, belajar tentang apa? Itu masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab.
Kami, enam orang, berangkat dari Bogor pukul 10.30 pagi dengan tiga motor. Perjalanan ini sudah kami rencanakan seminggu sebelumnya dengan semangat penuh untuk menjelajahi dan menemukan sesuatu yang baru.
Rute perjalanan kami melewati Cigombong – Cikidang – Pelabuhan Ratu – Gunung Bongkok. Awalnya, perjalanan terasa biasa saja, tetapi begitu memasuki Gunung Bongkok sekitar pukul 14.30, tantangan sesungguhnya dimulai.
Jalur berbatu licin, tanjakan curam, serta naik-turun tanpa sinyal membuat perjalanan semakin sulit. Kami hanya perlu menempuh 24 km dari titik ini ke Gelar Alam, tetapi perjalanan tersebut memakan waktu 5 jam.
Sepanjang perjalanan, kami harus menghadapi berbagai rintangan: motor yang mulai kepanasan, beberapa kali jatuh akibat jalanan yang ekstrem, dan kegelapan malam yang mulai menyelimuti.
Tidak ada sinyal, hanya suara mesin motor yang terus menderu dan rasa lelah yang makin menguji mental kami. Tapi kami terus maju.
Setiap rintangan yang kami lalui terasa seperti gambaran kehidupan—terkadang berat, melelahkan, dan penuh tantangan, tetapi kita harus tetap maju dengan tekad yang kuat.
Selama perjalanan rasanya ingin sekali ingin balik arah namun rasanya tidak ada didalam pilihan namun jika dilanjut sangat berat rasa ingin sekali meneteskan air mata, namun kita tahan demi menjaga mental kami satu sama lain.
Akhirnya, sekitar pukul 21.00, kami tiba di Gelar Alam dengan perasaan lega dan penuh syukur. Di sana, kami disambut hangat oleh masyarakat dan dipersilakan bermalam di balai desa.
Tak hanya itu, kami juga disuguhkan makanan, sebuah bentuk keramahan yang sangat kami apresiasi setelah perjalanan panjang yang melelahkan.
Setelah beristirahat, kami mulai memahami banyak hal dari desa ini. Salah satu yang paling menarik adalah sistem Leuit—lumbung padi tradisional yang mampu menyimpan padi hingga ratusan tahun.
Setiap rumah di Gelar Alam rata-rata memiliki lima leuit yang penuh dengan padi, selain leuit bersama yang digunakan untuk kepentingan komunitas.
Mereka memiliki ketahanan pangan yang luar biasa, hasil dari menjaga warisan pertanian secara turun-temurun.
Di Gelar Alam, pertanian dilakukan dengan penuh penghormatan terhadap alam. Mereka tidak memaksa tanah untuk terus menghasilkan, melainkan memberikan waktu istirahat bagi lahan agar tetap subur.
Hal ini menghasilkan beras organik berkualitas tinggi. Salah satu kebijakan adat yang sangat menarik adalah larangan menjual beras—sebuah filosofi yang sangat dalam.
Menjual beras bagi mereka sama saja dengan menjual kehidupan. Ini mengajarkan kami arti ketahanan pangan sejati dan bagaimana menjaga keseimbangan dengan alam.
Kami juga berbincang dengan beberapa warga yang menjelaskan filosofi hidup mereka. Mereka percaya bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam dan saling menjaga satu sama lain.
Tidak ada persaingan berlebihan, semua saling membantu demi keberlangsungan komunitas. Kami menyadari betapa berbeda pola pikir mereka dengan kehidupan modern yang serba individualistis.
Selain itu, kami belajar banyak tentang kesederhanaan dan rasa syukur. Hal-hal yang sebelumnya kami anggap sepele, seperti jalanan yang bagus, ternyata bisa menjadi sumber kebahagiaan.
Di perjalanan ini, kami benar-benar memahami bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari hal-hal besar, tetapi justru dari kesadaran untuk mensyukuri setiap kemudahan yang kita miliki.
Kami juga diberi kesempatan untuk mencicipi makanan khas mereka, yang semuanya berbahan alami tanpa bahan kimia. Rasanya lebih autentik dan lebih sehat.
Dari sini kami menyadari betapa pentingnya menjaga pola makan yang alami dan lebih menghargai makanan yang kita konsumsi sehari-hari.
Setelah dua hari belajar dan menyerap kebijaksanaan dari masyarakat Gelar Alam, kami bersiap untuk kembali ke Bogor.
Kali ini, kami memilih jalur pulang melalui Kesepuhan Sinar Resmi, yang meskipun masih menantang, tidak seberat jalur Gunung Bongkok.
Perjalanan pulang memakan waktu sekitar 7 jam. Saat menyusuri jalanan kembali ke kota, kami merasakan perubahan dalam diri kami.
Kami tidak hanya membawa pengalaman, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang dalam. Kami belajar tentang ketahanan, tentang bagaimana menghadapi tantangan dengan tekad yang kuat, dan tentang bagaimana alam bisa menjadi guru yang luar biasa.
Kami juga belajar untuk lebih menghargai sumber daya yang kita miliki dan betapa pentingnya hidup berdampingan dengan alam.
Setelah sampai di Bogor, kami kembali ke kehidupan sehari-hari dengan perspektif baru.
Kami menyadari bahwa ada begitu banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan ini, tidak hanya tentang fisik yang harus kuat menghadapi perjalanan, tetapi juga tentang mental dan spiritual yang harus selalu siap menghadapi tantangan kehidupan.
Perjalanan ke Gelar Alam bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi perjalanan spiritual dan mental.
Kami pergi dengan keingintahuan, dan pulang dengan pelajaran hidup yang akan kami kenang selamanya.
Dapat dikatakan bahwa perjalanan ke Kesepuhan Gelar Alam adalah salah satu perjalanan terbaik dalam hidup kami.***
Muhammad Zaki Ilham
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University