Monday, 21 April 2025
HomeOpiniDari Kelangkaan ke Kepanikan, Mengapa Gas LPG 3 KG Selalu Bermasalah?

Dari Kelangkaan ke Kepanikan, Mengapa Gas LPG 3 KG Selalu Bermasalah?

Bogordaily.net – Gas LPG sangat lekat kehadirannya di lingkungan masyarakat luas. Hal ini dikarenakan LPG merupakan salah satu kebutuhan pokok yang paling banyak dicari dan digunakan dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak, sejatinya LPG memainkan peran yang cukup penting dalam masyarakat, karena gas minyak cair ini digunakan sebagai bahan bakar ketika memasak.

Akhir-akhir ini, pada awal bulan Februari 2025, Indonesia kembali mengalami kelangkaan gas LPG.

Kelangkaan LPG 3 kg di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh faktor teknis dalam distribusi, tetapi juga merupakan konsekuensi dari kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran, permainan pasar, serta lemahnya pengawasan pemerintah.

Setiap kali terjadi kelangkaan, masyarakat kecil yang paling bergantung pada LPG bersubsidi menjadi korban, sementara solusi yang ditawarkan pemerintah sering kali tidak menyelesaikan akar masalah.

Oleh karena itu, perlu adanya reformasi dalam sistem distribusi dan pengawasan LPG 3 kg agar subsidi benar-benar dinikmati oleh mereka yang berhak.

Sistem distribusi LPG 3 kg masih jauh dari ideal. Kebijakan baru yakni pelarangan penjualan eceran guna merapikan subsidi agar tepat sasaran menambah persoalan baru mengenai pendistribusi gas LPG.

Aturan Baru bagi pengecer sejalan dengan kebijakan harga, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menyampaikan bahwa mulai 1 Februari 2025, LPG 3 kg hanya dapat dibeli di pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina.

Langkah ini dilakukan untuk memastikan harga yang sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Akan tetapi, banyak kasus di mana stok yang tersedia di pangkalan tidak mencukupi permintaan masyarakat. Kebijakan distribusi berbasis subsidi tepat sasaran sering kali tidak berjalan efektif karena kurangnya mekanisme pengawasan yang ketat.

Akibatnya, banyak LPG bersubsidi yang jatuh ke tangan mereka yang tidak berhak, sementara masyarakat kecil kesulitan mendapatkannya. Selain distribusi yang bermasalah, banyak oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi.

Pengecer sering menimbun stok dan menjualnya dengan harga jauh di atas harga eceran tertinggi (HET). Hal ini semakin memperparah kelangkaan dan membebani masyarakat kecil yang seharusnya mendapatkan LPG dengan harga yang terjangkau.

Pemerintah telah mencoba menerapkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah ini, seperti peluang bagi pengecer yang ingin tetap berjualan agar mereka menjadi agen resmi dengan mendaftarkan diri melalui sistem One Single Submission (OSS).

Pemerintah juga memberikan masa transisi selama satu bulan hingga Maret 2025 untuk mengubah status pengecer menjadi pangkalan resmi.

Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi banyak kendala, terutama di daerah terpencil yang tidak memiliki infrastruktur pendukung. Selain itu, kuota distribusi di beberapa daerah sering kali tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat, sehingga stok cepat habis dan menimbulkan kepanikan.

Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, menegaskan bahwa saat ini tidak ada kenaikan harga LPG 3 Kg di pangkalan resmi.

Harga yang berlaku masih mengikuti HET yang ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah. Jika ditemukan harga lebih mahal, besar kemungkinan LPG tersebut dibeli dari pengecer yang tidak terdaftar.

Selain harga yang lebih stabil, membeli di pangkalan resmi juga memberikan jaminan mutu dan kualitas LPG, termasuk kepastian berat isi tabung sesuai standar.

Saat ini, terdapat 259.226 pangkalan resmi Pertamina yang tersebar di seluruh Indonesia, dan pemerintah terus memperluas cakupan pangkalan agar masyarakat lebih mudah mendapatkan LPG bersubsidi.

Kelangkaan LPG 3 kg akibat belum meratanya distribusi dan ulah beberapa oknum tidak bertanggung jawab berdampak besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.

Ketika harga naik dan tidak sesuai dengan HET atau stok sulit didapat, mereka terpaksa beralih ke alternatif energi yang lebih mahal atau mengurangi konsumsi, yang pada akhirnya berdampak pada ekonomi rumah tangga dan usaha mereka.

Menanggapi situasi yang kisruh, pemerintah mengambil langkah cepat dalam menangani persoalan LPG ini. Terlihat, pada tanggal 4 Februari 2025 pemerintah bergerak cepat dengan menaikkan status sekitar 375 ribu pengecer menjadi sub-pangkalan per 4 Februari 2025. Langkah ini diharapkan dapat memastikan distribusi LPG 3 kg lebih tepat sasaran dan harga tetap terjangkau.

Namun, masyarakat kini diwajibkan membawa KTP saat membeli LPG 3 kg untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Terdapat pro dan kontra dengan kebijakan ini, di sisi pro kebijakan diwajibkannya membawa KTP saat membeli LPG membuat distribusi tepat sasaran yakni pemerintah dapat memastikan bahwa LPG 3 kg benar-benar digunakan oleh masyarakat miskin dan UMKM yang berhak menerima subsidi.

Kedua, mencegah penyalahgunaan. Dengan adanya kebijakan ini, dapat mengurangi oknum-oknum yang membeli LPG bersubsidi dalam jumlah besar untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Ketiga, data lebih transparan dan mudah untuk dirinci lebih lanjut.

Pemerintah dapat mengumpulkan data pembelian LPG 3 kg yang lebih akurat, sehingga memudahkan perencanaan subsidi kedepannya. Keempat, meningkatkan efisiensi anggaran, dengan subsidi yang lebih terarah, anggaran negara bisa lebih efektif digunakan untuk membantu kelompok yang benar-benar membutuhkan.

Di lain sisi, terdapat juga kontra yang membersamainya. Pertama, kebijakan dinilai terlalu sistematis dan merepotkan masyarakat. Tidak semua warga membawa KTP setiap saat, sehingga mereka mungkin kesulitan ketika hendak membeli LPG 3 kg secara mendadak.

Kedua, potensi kendala teknis yang kapan saja dan dimana saja dapat terjadi. Sistem pencatatan dan verifikasi KTP di pangkalan atau sub-pangkalan mungkin belum siap, sehingga bisa memperlambat proses pembelian. Tidak semua warga memiliki identitas (KTP).

Beberapa kelompok, seperti lansia, warga tanpa dokumen kependudukan, atau masyarakat adat tertentu, bisa kesulitan mengakses LPG bersubsidi. Yang terakhir, kemungkinan penyalahgunaan data. Ada risiko kebocoran atau penyalahgunaan data pribadi jika mekanisme pencatatan KTP tidak memiliki perlindungan yang memadai.

Meskipun kebijakan ini bertujuan baik untuk memastikan subsidi LPG 3 kg tepat sasaran, pemerintah perlu memastikan kesiapan sistem, perlindungan data, serta kemudahan akses bagi masyarakat agar kebijakan ini tidak justru menambah beban mereka.

Masalah kelangkaan LPG 3 kg adalah persoalan yang kompleks dan memerlukan solusi menyeluruh dari berbagai pihak. Kebijakan baru yang mewajibkan penggunaan KTP saat pembelian bertujuan untuk menyalurkan subsidi secara tepat sasaran dan mencegah penyalahgunaan.

Namun, implementasi yang kurang matang telah menimbulkan kebingungan dan kesulitan bagi masyarakat, terutama dalam mengakses gas LPG yang menjadi kebutuhan sehari-hari.

Pemerintah harus memperkuat pengawasan distribusi agar fleksible, memberikan sanksi tegas bagi pelaku penyelewengan, serta memberikan sosialisasi yang lebih jelas agar kebijakan ini dapat berjalan efektif tanpa memberatkan masyarakat, serta memastikan kebijakan yang diterapkan benar-benar berjalan dengan efektif.

Tanpa langkah konkret dan sistematis, kelangkaan ini akan terus berulang dan semakin memperburuk kondisi masyarakat kecil. Oleh karena itu, reformasi dalam kebijakan dan distribusi LPG 3 kg harus segera dilakukan demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang berhak menerima subsidi.***

 

Vansa Audia Frisaningrum
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here