Wednesday, 16 April 2025
HomeBeritaDari Mahasiswa ke Mentor: Perjalanan Saskia Putri Maudian di Komunikasi Digital

Dari Mahasiswa ke Mentor: Perjalanan Saskia Putri Maudian di Komunikasi Digital

Bogordaily.net – Saskia Putri Maudian, A.Md., tidak pernah membayangkan bahwa IPB University kampus yang dulu terasa asing dan terlalu kaku baginya akan menjadi ruang tempat ia kembali berdiri, bukan sebagai mahasiswa, melainkan sebagai asisten dosen. Perjalanan ini bukan hasil dari rencana yang rapi, melainkan serangkaian keputusan penuh risiko, perjuangan akademik, dan momentum-momentum kecil yang mengubah arah hidupnya.

Dulu, IPB bahkan tidak masuk dalam daftar kampus impiannya. Saskia lebih tertarik pada dunia jurnalistik dan komunikasi yang dinamis, jauh dari kesan kampus pertanian yang ia bayangkan. Namun, hidup seringkali membawanya ke tempat yang tak terduga.

Titik Balik dari Radar Bogor
Saat SMA di Labschool Kornita IPB, Saskia merasa jenuh dengan lingkungan kampus yang monoton. Fokusnya lebih banyak ke organisasi dan kegiatan luar kelas hingga nilai anjlok: peringkat 20 dari 25. Keterpurukan itu justru membawanya ke komunitas Rebel Journalist di Radar Bogor. Dari satu liputan tentang mahasiswa Komunikasi Universitas Padjajaran, ia merasa menemukan dunia yang ingin ia masuki.

Dengan nekat, ia pindah jurusan dari IPA ke IPS tanpa persetujuan orang tua, keluar dari OSIS, dan menaruh seluruh energinya untuk belajar dan ikut pelatihan. Hasilnya? Ia naik ke peringkat 2. Saat pemilihan kampus, meski target utamanya Unpad, strategi guru BK justru mengantarnya ke IPB. Tanpa ekspektasi, Saskia diterima di jurusan Komunikasi Digital dan Media sebagai satu-satunya siswa IPS yang lolos jalur USMI.

Belajar Mengenal Manusia
Awalnya, ia belum sepenuhnya menerima IPB. Tapi sistem pengenalan kampus yang humanis membukakan matanya. Di kelas pertama, mereka diminta mengobrol dengan teman yang baru dikenal lalu mendeskripsikannya. Kegiatan itu sederhana tapi membekas. Ia belajar melihat manusia lebih dalam dari sekadar penampilan.

“Dari situ saya mulai suka komunikasi, bukan cuma sebagai ilmu, tapi sebagai cara hidup,” ujarnya. Ia menyadari bahwa komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga memahami manusia dengan segala kompleksitasnya.

Belajar dari Konflik dan Lapangan
Di bangku kuliah, tantangan utamanya datang dari kerja kelompok. Latar belakang budaya, gaya kerja, hingga ritme berpikir yang berbeda kerap jadi konflik. Sebagai pribadi yang cepat, Saskia kesulitan dengan teman yang lambat. Tapi dari situ ia belajar bahwa kecepatan bukan segalanya, dan kadang proses perlahan justru melahirkan hasil yang lebih matang.

Mata kuliah paling membekas baginya adalah TPME (Teknik Penulisan Media Elektronik). Satu semester penuh dihabiskan meliput demo, persidangan, hingga menginap di depan kantor KPK demi berita. “Kami belajar dari lapangan: jadi jurnalis, jadi editor, sampai jadi anchor. Nggak ada yang lebih real dari itu.”

Kembali sebagai Asisten Dosen
Setelah lulus, ia sempat bekerja di perusahaan, namun kembali ke IPB sebagai asisten dosen karena dua hal: rindunya pada dunia akademik dan kondisi sang ibu yang sakit. Ia mengirimkan CV ke dosen yang paling ia hormati, Guruh Ramdani, S.Sn., M.Sn., dan kembali ke kampus sebagai pengajar muda.

Di mata kuliah Desain Promosi, Saskia menjadi satu-satunya asisten untuk seluruh kelas angkatan 59. “Anak-anak ini ribut, tapi brilian. Saya kasih satu ide, mereka kembangkan jadi lima. Itu yang bikin saya bertahan,” ucapnya. Ia menyebut pengalaman ini sebagai salah satu yang paling emosional dan membanggakan dalam hidupnya.

Etika dan Literasi Digital
Saskia Putri,  memandang Pak Guruh lebih dari sekadar dosen. “Beliau guru dengan nurani. Saya pernah digaji lebih besar, tapi nggak bisa ninggalin posisi saya sekarang. Karena di sini saya belajar empati, bukan cuma teori.” Baginya, pendidikan bukan cuma soal kurikulum, tapi relasi antara dosen dan mahasiswa yang dibangun dengan ketulusan.

Di tengah cepatnya arus media digital, Saskia Putri, melihat banyak celah etis. Influencer mereview produk tanpa mencobanya, hoaks menyebar tanpa verifikasi. Dunia komunikasi digital, menurutnya, perlu keseimbangan antara kecepatan dan kualitas. Ia menekankan pentingnya literasi digital, terutama di kalangan mahasiswa. “AI itu alat bantu, bukan pengganti otak. Kalau semua dikerjakan AI, kapan manusianya mikir?”

Filosofi Hidup dan Gaya Kerja
Saskia hidup dengan dua filosofi: “Belajar sepanjang hayat” dan “Jujur serta adil meski dibenci.” Ia tak peduli dianggap keras atau terlalu lurus. Baginya, integritas lebih penting dari citra. Dalam rutinitas, ia disiplin menjaga batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ia selalu mencatat tugasnya, menyelesaikannya di kampus, dan menyisihkan waktu untuk menyendiri baik di mushola, pojokan, atau bahkan kamar mandi hanya untuk menenangkan pikiran.

“Ketenangan jiwa itu nomor satu. Saya nggak mau bawa kerjaan ke rumah.”

Misi yang Tak Selesai
Kini, ia sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi. Mimpi berikutnya: menjadi dosen. Bukan demi gelar, tapi untuk terus berkontribusi di jalur pendidikan. Ia ingin jadi bagian dari ekosistem yang sehat di dunia akademik membantu mahasiswa berkembang tanpa kehilangan arah.

“Jalan saya nggak gampang, tapi layak dicoba. Pendidikan itu ladang nilai, bukan sekadar ruang kelas. Dan sejauh apapun saya melangkah, satu hal tetap sama: hormat pada guru, karena ilmu bukan sesuatu yang bisa dibayar. Bahkan oleh hidup itu sendiri.”

Refleksi dan Harapan
Saskia sering merenung tentang perjalanannya. Dari seorang mahasiswa yang awalnya enggan dengan IPB, kini ia justru menemukan rumah di kampus yang sama. Ia berharap, suatu saat nanti, mahasiswanya akan merasakan hal serupa bahwa belajar bukan hanya tentang nilai, tetapi tentang menemukan diri dan kontribusi nyata bagi masyarakat.

“Saya mungkin bukan orang terpintar, tapi saya ingin jadi yang paling gigih,” ujarnya dengan senyum.

Perjalanan Saskia Putri Maudian adalah bukti bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tetapi setiap langkah baik yang direncanakan maupun tidak bisa membawa kita ke tempat yang tepat. Kini, sebagai asisten dosen, ia tidak hanya mengajar, tetapi juga terus belajar. Dan di situlah esensi sebenarnya dari seorang pendidik: tumbuh bersama, memberi tanpa pamrih, dan selalu siap menghadapi tantangan baru.***

Faris Faid Anwar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here