Bogordaily.net – Dedi Mulyadi memilih turun tangan sendiri menelusuri potongan dana kompensasi sopir angkot.
Ia mendengar kabar: dana kompensasi untuk sopir angkot di Puncak, Bogor, dipotong Rp200 ribu.
Bantuan yang seharusnya Rp1 juta tunai itu, ternyata cuma sampai Rp800 ribu di tangan sopir.
Sisanya? Hilang di jalan.
Kisruh ini cepat membesar. Sopir-sopir resah. Ada yang berani bicara. Ada yang hanya menggerutu dalam hati.
Dedi tahu, ini tidak bisa diselesaikan dari kantor. Ia mengumpulkan semua yang terlibat.
Termasuk Nandar, Ketua KSSU jalur 02A Cisarua. Nama Nandar sudah lebih dulu disebut-sebut sopir.
“Bagaimana Bapak meminta uang ke Emen?” tanya Dedi, tanpa basa-basi.
Nandar mengelak. Katanya, tidak ada permintaan. Hanya saran untuk koordinasi.
Dedi mendengar jawaban itu dengan tenang. Tapi ia tahu apa yang terjadi.
“Itu perintah, Pak. Bukan saran,” kata Dedi. Suaranya pelan, tapi tegas.
Emen, sopir yang pertama buka suara, membenarkan: uang dikumpulkan dari teman-teman sopir, lalu diserahkan di posko tempat Nandar berada. Alasannya, untuk biaya koordinasi. Agar sopir-sopir tidak “kabur.”
Dedi menggali lebih dalam. Ia paham betul, dalam birokrasi informal seperti ini, perintah tidak selalu diucapkan dengan kata “perintah.”
Cukup dengan “perlu koordinasi,” maka bawahan sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Dan lebih jauh lagi: Nandar juga tidak bergerak sendiri. Ada arahan dari Sekretaris Organda.
Sebuah rantai. Dari atas, ke bawah. Dari pejabat ke sopir.
Dedi menyimpulkan: potongan Rp200 ribu itu bukan inisiatif sopir. Bukan ide Nandar sendiri. Ini adalah instruksi berjenjang yang rapi.
“Kalau logikanya diteruskan, ini bukan kesalahan Emen. Ini instruksi berantai,” kata Dedi.
Logika Dedi sederhana: “Bapak dapat perintah dari Sekretaris Organda, lalu Bapak teruskan ke Emen. Jadi ini rantai instruksi, bukan inisiatif pribadi.”
Kisruh dana kompensasi sopir angkot dipotong Rp200 ribu ini pun akhirnya terkuak. Ini bukan aksi individu. Ini sistem.
Kasus ini masih diproses. Tapi Dedi Mulyadi sudah janji: ia akan kawal sampai hak sopir angkot kembali. Sampai tidak ada lagi pungutan liar yang bersembunyi di balik kata “koordinasi.”
Bantuan dari Pemprov Jabar itu—Rp1 juta tunai dan Rp500 ribu sembako—harus diterima penuh oleh sopir. Tidak kurang sepeser pun.***