Bogordaily.net – Secara resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah mengeluarkan surat yang menyatakan akan ada pemangkasan anggaran negara untuk beberapa sektor. Perintah ini merupakan arahan langsung dari Presiden Prabowo Subianto guna melakukan efisiensi anggaran.
Ada sekitar Rp256,1 triliun atau sekitar 22% dari total anggaran K/L yang mencapai Rp1.160 triliun. Selain itu, efisiensi juga dilakukan pada alokasi dana transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun. Secara keseluruhan, pemotongan anggaran ini mencapai Rp306,69 triliun atau sekitar 8,5% dari total APBN 2025.
Dalam kebijakan tersebut beberapa instansi turut merasakan adanya pemotongan. Efisiensi yang dilakukan pun terbilang cukup ekstrim jika dilihat dari persentase nilai yang dipotong. Ada sekitar 16 sektor yang akan dipangkas sesuai dengan surat resmi nomor S-37/MK.02/2025 yang dikeluarkan Menteri Sri Mulyani.
Walaupun begitu, Menteri Keuangan Republik Indonesia menjamin bahwa sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi tidak akan terdampak dari efisiensi ini. Namun, ucapan hanyalah ucapan karena tidak sampai dua minggu setelahnya hampir seluruh PTN di Indonesia berbondong-bondong mengeluarkan surat edaran yang mengatakan akan ada akan ada fasilitas yang dihentikan. Bahkan, PTN yang mengeluarkan edaran tersebut adalah PTN ternama yang sudah berbadan hukum dan teratas di Indonesia.
Sebetulnya, hal ini sudah sedikit terlihat hilalnya dengan ditariknya beasiswa dari Kementerian Keuangan. Padahal beasiswa itu masih dalam masa pendaftaran yang seharusnya baru berakhir pada bulan Maret ini. Namun, apa boleh buat seperti yang diketahui bersama bahwa pendidikan juga bukan fokus utama dalam pemerintahan ini.
Dalam keseharian sebagai mahasiswa, fasilitas dari kampus memiliki peranan yang sangat besar dalam menunjang kegiatan belajar. Ketiadaan akses jurnal resmi menghambat mahasiswa dalam mengakses jurnal ilmiah, bahkan yang berbasis internasional.
Padahal dengan adanya akses jurnal internasional mahasiswa dapat dengan mudah mengupdate pengetahuan yang ada di belahan dunia lain. Riset dan penelitian adalah hal dinamis yang sangat cepat berkembang, tapi sayangnya kita harus merelakan update pengetahuan ini.
Tidak hanya ketiadaan akses jurnal, dampak dari efisiensi anggaran, mahasiswa kini harus menghadapi kenyataan bahwa mendapat ruang kelas yang layak adalah barang mahal. Beserta surat edaran yang diumumkan, beberapa PTN memberikan batasan kapan lampu harus menyala dan mati. AC dan lift pun sekarang menjadi barang yang tidak diakses dengan bebas.
Padahal, beberapa gedung di PTN yang bertingkat sangat bergantung dengan kedua hal tersebut. Apakah setelah ibu-ibu berebut membeli gas di tengah terik matahari, kini harus dirasakan juga oleh anaknya dengan berebut lift dan kepanasan di kelas?
Beradu data melalui data statistik, lantas tidak mengubah kenyataan bahwa sebagian besar mahasiswa berlatar belakang keluarga menengah bawah. Menurut data dari Katadata kurang dari 7% masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan sampai pendidikan tinggi, bukankah ini dapat dikatakan bahwa pendidikan tinggi adalah barang mewah di negeri ini?
Masih dari sektor pendidikan tinggi, dosen pun rasanya juga duduk di kursi yang sama karena hingga saat ini belum mendapat Tunjangan Kinerja (tukin). Selain dengan tunjangan yang belum tau kapan akan cairnya, dana untuk penelitian pun kian seret.
Padahal, yang kita ketahui riset dan pendidikan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Sudah sulit untuk mengakses jurnal internasional, kini melakukan penelitian mandiri pun kian sukar. Rasanya menuntut pendidikan terbaik terasa semakin utopia di negeri ini.
Sebagai seorang mahasiswa yang memang didorong untuk melihat suatu fenomena Efisiensi Anggaran, dengan kacamata yang lebih kritis, situasi ini rasanya sangat miris. Transparansi penyampaian informasi yang dilakukan oleh pemerintah terasa sekedarnya, bahkan terkesan ditutup-tutupi. Bahkan perilisan Danantara yang agak spontan cukup dapat menggambarkan bahwa rakyat tidak perlu tau banyak apa yang sedang dikerjakan oleh pemerintahnya.
Apakah memang benar di mata pemerintah kita adalah makhluk yang tidak tahu menahu sehingga kritik yang disampaikan hanyalah sebuah angin lalu. Mungkin, memang kesejahteraan rakyat saat ini tidaklah penting dari kesejahteraan rakyat lain yang berada di gedung-gedung pemerintahan saat ini.
Saat ini, teman-teman mahasiswa lain sedang harap-harap cemas. Takut apabila dengan situasi ekonomi yang diperburuk dengan naiknya nilai tukar dollar disertai pula dengan kenaikan UKT.
Bahkan, KIP-K bukan lagi hal yang dapat diharapkan sejak efisiensi diumumkan. Semua hanya tinggal menunggu waktu, pendidikan tinggi menjadi barang tersier yang tidak akan pernah dijangkau masyarakat luas atau pemerintah sadar bahwa pendidikan adalah cara terbaik untuk mewujudkan Indonesia Emas.***
Oleh: Ayu Joyo Atmojo
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB