Bogordaily.net – Jokowi akhirnya memperlihatkan ijazah s1 dari UGM yang gaduhnya tak pernah berhenti.
Hari Rabu, 16 April 2025, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, membuka pintu rumahnya sendiri. Di Gang Kutai Utara nomor 1, Solo.
Bukan untuk menjamu tamu negara. Bukan pula untuk kampanye politik.
Tapi untuk hal yang jauh lebih sederhana — dan lebih sensitif.
Ijazah.
Ya, ijazah. ijazah Jokowi dari mulai SD hingga kuliah, dari Tirtoyoso sampai UGM.
Jokowi meminta wartawan masuk ke dalam rumah. Rumah itu tidak berubah sejak ia masih wali kota dulu.
Rumah sederhana. Lorong kecil. Meja tamu dari kayu biasa. Tapi hari itu, meja itu menjadi saksi dari lembar demi lembar: fotokopian ijazah Jokowi.
Tidak ada kamera. Tidak ada handphone. Semua harus dititipkan di pintu depan. Aturan dari Jokowi langsung.
“Saya tunjukkan, tapi jangan difoto ya,” katanya. Suaranya datar. Tapi terdengar tegas.
Mungkin, malam sebelumnya ia duduk sendiri. Mungkin di ruang kerjanya. Membuka laci. Mengeluarkan stoomap plastik yang sudah mulai buram.
Membuka satu per satu. SD Tirtoyoso. SMPN 1 Surakarta. SMAN 6 Surakarta. Dan akhirnya, UGM.
Lalu memutuskan: “Ya sudah, tunjukkan saja besok pagi.”
Di luar rumah, puluhan orang dari TPUA sudah berdiri. Tim Pembela Ulama dan Aktivis.
Mereka datang bukan untuk demo. Mereka ingin bertemu langsung. Menanyakan: “Apakah ijazah Bapak asli?”
Pertanyaan yang tidak semua presiden mau jawab.
Tapi Jokowi, entah kenapa, membiarkan tiga perwakilan mereka masuk. Duduk. Bicara. Sekitar 20 menit di dalam.
Mereka keluar. Wajahnya datar. “Beliau tidak mau menunjukkan langsung,” kata Rizal Fadillah, Wakil Ketua TPUA. “Katanya, kalau diminta pengadilan, baru ditunjukkan.”
Bagaimana perasaan Rizal saat itu?. Mungkin kecewa. Tapi mungkin juga maklum.
Karena kemarin, kata dia, mereka juga sudah ke UGM. Dan jawabannya sama: “Ijazah hanya bisa ditunjukkan oleh pemilik.”
Dan si pemilik sudah menunjukkan — tapi dengan syarat. Tidak untuk difoto. Tidak untuk direkam.
Mungkin bukan soal ijazahnya. Tapi soal martabat. Dan cara Jokowi menjaganya: diam, tenang, tapi tetap terbuka — dalam batasan yang ia tentukan sendiri.
Ijazah itu tidak banyak bicara. Tapi hari itu, lembar-lembar kertas tua itu seolah berteriak: “Saya pernah sekolah. Dari kecil. Di Solo. Sama seperti kalian.”
Tapi seperti biasa, Jokowi memilih kalimat pendek. “Yang ini dari UGM. Asli. Kalau yang ini stopmap-nya bukan asli. Tapi isinya ya itu.”
Seseorang bertanya tentang kacamata lamanya. “Sudah pecah,” jawabnya ringan. Lalu tersenyum.
Saya tidak tahu apakah semua orang puas dengan itu. Tapi saya yakin, pagi itu ada satu pesan yang ingin ia sampaikan:
Bahwa seorang presiden pun, kadang harus membuka lemari tua — hanya untuk menjawab keraguan tentang dirinya.
Dan Jokowi memilih melakukannya, di rumah kecil, di Gang Kutai.***