Bogordaily.net – Fenomena Kabur Aja Dulu dari anak muda Indonesia yang memilih bekerja atau menetap di luar negeri semakin marak. Banyak faktor yang mendorong mereka untuk “kabur,” mulai dari ekonomi hingga lingkungan kerja yang tidak mendukung. Salah satu alasan utama adalah sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang harus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka. Tidak sedikit pula yang akhirnya harus bekerja di bidang yang jauh dari latar belakang pendidikannya.
Selain itu, permasalahan gaji juga menjadi pertimbangan besar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), UMR di berbagai daerah di Indonesia masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin mahal.
Di sisi lain, banyak negara yang menawarkan gaji lebih tinggi dengan standar hidup yang lebih baik. Seorang pengguna Twitter, @rizkysatria_, menulis, “Gaji di sini buat hidup doang, bukan buat masa depan. Gimana mau berkembang kalau tabungan aja nggak ada?”
Komentar ini mencerminkan keresahan banyak anak muda yang merasa terjebak dalam kondisi ekonomi yang stagnan.
Lingkungan kerja yang tidak profesional dan minimnya peluang berkembang juga menjadi faktor pendorong.
Budaya kerja yang masih mengandalkan senioritas dan bukan meritokrasi sering kali membuat pekerja muda merasa sulit untuk berkembang.
Kurangnya apresiasi terhadap tenaga kerja berkualitas di dalam negeri juga menjadi masalah besar. Banyak yang merasa bahwa kerja keras mereka tidak dihargai, sehingga memilih mencari pengakuan di negara lain.
Apakah Mereka Tidak Nasionalis?
Ketika banyak anak muda memilih pergi, muncul kritik bahwa mereka tidak nasionalis atau meninggalkan tanggung jawab membangun bangsa. Ada anggapan bahwa generasi muda seharusnya bertahan dan berjuang demi kemajuan Indonesia, bukan malah mencari kenyamanan di negara lain.
Namun, apakah nasionalisme hanya diukur dari di mana seseorang tinggal dan bekerja? Jika nasionalisme berarti mencintai dan berkontribusi bagi negara, maka hal itu bisa dilakukan dari mana saja.
Seorang pengguna Instagram, @annisa_fajar, berkomentar, “Nasionalisme bukan soal di mana kita tinggal, tapi apa yang kita lakukan untuk Indonesia.” Banyak pekerja migran yang tetap memiliki kepedulian terhadap tanah air, meskipun mereka tinggal jauh dari Indonesia.
Alih-alih dianggap meninggalkan negara, banyak pekerja Indonesia di luar negeri justru memberikan kontribusi nyata. Salah satunya adalah remitansi atau kiriman uang dari luar negeri yang membantu perekonomian keluarga dan negara. Menurut Bank Indonesia, remitansi dari pekerja migran mencapai miliaran dolar setiap tahunnya, yang berperan dalam menopang ekonomi nasional.
Selain itu, diaspora Indonesia di luar negeri turut mempromosikan budaya Indonesia. Mereka memperkenalkan kuliner, seni, dan tradisi Indonesia ke dunia internasional. Bahkan, beberapa dari mereka menjadi duta budaya yang membantu memperkuat citra positif Indonesia di kancah global.
Banyak pula profesional yang kembali ke Indonesia dengan membawa ilmu dan pengalaman baru. Mereka yang pernah bekerja di luar negeri seringkali memiliki wawasan dan keterampilan yang lebih luas, yang kemudian dapat diterapkan untuk membangun industri dan sektor lain di Indonesia.
Meskipun banyak yang memilih untuk pergi, bukan berarti tidak ada solusi untuk memperbaiki kondisi di dalam negeri. Pemerintah dan sektor industri perlu menciptakan ekosistem kerja yang lebih baik agar generasi muda tidak merasa harus pergi ke luar negeri demi kehidupan yang lebih layak. Reformasi di berbagai sektor, mulai dari kebijakan ketenagakerjaan hingga sistem penggajian, perlu menjadi prioritas.
Selain itu, perlu adanya dorongan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih profesional dan mendukung perkembangan karier. Penghargaan terhadap tenaga kerja yang berkompeten harus ditingkatkan agar mereka tidak merasa diabaikan.
Kesimpulannya, memilih bekerja di luar negeri bukan berarti tidak cinta Indonesia. Nasionalisme bisa diwujudkan dalam banyak bentuk, baik dari dalam maupun luar negeri. Yang terpenting adalah bagaimana kita tetap berkontribusi untuk kemajuan bangsa, di mana pun kita berada.***
Sofwa Nurul Karimah, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB