Bogordaily.net – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memegang teguh falsafah Sunda, kalimat yang selalu ia dengungkan adalah: Rea Ketan Rea Keton. Apa maknanya?
Meski sudah jadi Gubernur, ia kembali ke dunia yang dicintainya: desa, sawah, ternak, olahraga.
Di Lembur Pakuan, Subang — tempat tinggalnya — ia membuktikan satu hal: falsafah Sunda yang ia pegang teguh itu bukan sekadar omongan.
Di sana, hampir 100 orang bekerja bersamanya. Bertani, memelihara sapi, merawat kerbau. Filosofinya sederhana: “Réa Ketan, Réa Keton.”
Banyak ketan, banyak keton. Banyak pangan, banyak uang.
Dulu, saat Dedi melantunkan kalimat-kalimat itu, banyak yang salah paham. Ada yang bilang ia membaca mantra. Padahal, bukan. Itu bukan jampi-jampi. Itu adalah filsafat. Fondasi.
“Réa ketan réa keton; buncir leuit, loba duit; bru di juru bro di panto, ngalayah di tengah imah; di pipir aya petikeun; di kolong aya si jambrong, na para aya si jago.”
Bukan mantra. Bukan jampi. Tapi peribasa. Pepatah Sunda.
Mantra itu apa?
Di Minang, mantra bagian dari sastra lisan. Di Sunda, setara dengan jampé — doa dalam bahasa lama. Mantra dan jampé, asalnya beda, tapi artinya sama: memohon, berdoa.
Kalimat-kalimat Dedi, kalau mau dipaksa, ya bisa disebut doa. Tapi lebih tepat: ia paribasa. Nasihat hidup yang membumi.
Mari kita buka satu-satu.
Réa Ketan, Réa Keton
Sagala aya. Semua tersedia. Banyak ketan — lambang pangan. Banyak keton — lambang uang. Sejahtera. Sebuah kondisi ideal yang pernah dicapai, dan kini harus dikejar lagi.
Buncir Leuit, Loba Duit
Padi ditumpuk penuh di leuit (lumbung). Sampai buncir — sesak. Kalau lumbung penuh, dompet pasti ikut tebal.
Bru di Juru, Bro di Panto, Ngalayah di Tengah Imah
Barang berlimpah. Sampai berserakan di penjuru rumah. Tapi bukan sampah, melainkan harta.
Di Pipir Aya Petikeun
Halaman belakang rumah di desa Sunda penuh tanaman obat dan sayur. Tidak perlu ke pasar kalau mau makan. Cukup petik dari belakang rumah.
Di Kolong Aya Si Jambrong, Na Para Aya Si Jago
Di kolong rumah panggung, ada ayam, kambing, itik — cadangan pangan kapan saja dibutuhkan. Di langit-langit rumah, ayam jago bertengger, menjaga kehidupan.
Semua itu bukan hanya ucapan. Itu peta jalan. Itu rencana besar: menjadikan rakyat kecil mandiri. Seperti dulu.
Kembali ke akar. Kembali ke sumber.
Itu yang terus Dedi tanamkan. Dengan sawah, kerbau, ayam, dan ketan.
Ternyata falsafah Sunda inilah yang selalu didengungkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sejak masih menjabat Bupati Purwakarta.***