Saturday, 26 April 2025
HomeTravellingMencuri Tenang di Tengah Bisingnya Ibu Kota yang Tak Pernah Tidur

Mencuri Tenang di Tengah Bisingnya Ibu Kota yang Tak Pernah Tidur

Bogordaily.net – Pernahkah kamu membayangkan Jakarta tanpa bunyi mesin mobil, tanpa kerumunan manusia yang lalu lalang dikejar waktu, atau lampu yang begitu menyilaukan? Ziggy, dalam novel Jakarta Sebelum Pagi, menghipnotis kita dengan potongan sunyinya kota lewat petualangan Emina dan Abel–dua karakter yang menyusuri sudut-sudut hening Jakarta sebelum subuh. Tapi kalau dipikir-pikir, apakah Jakarta betulan menyisakan ruang hening di dalamnya?
Salah satu tempat yang dapat menjawab pertanyaan ini adalah Cikini, sebuah kawasan di Jakarta Pusat yang seperti disihir lepas dari hukum alam tentang kota metropolitan ini. Hiruk-pikuk yang riuh itu seperti disihir dalam jalanan yang tak sebesar Sudirman, dengan bangunan tua yang masih dipertahankan untuk berdiri tegak, juga trotoar yang cukup lapang untuk dilalui sembari bergandengan tangan dengan yang terkasih.
Perjalanan saya dimulai dari Stasiun Cikini. Saat itu agak salah sih timingnya karena saya baru keluar di jam 11 pagi–atau bahkan sudah dapat dikatakan siang– udaranya sudah cukup panas ketika saya melangkahkan kaki menuju Jalan Cikini Raya. Untung saja pohon-pohon yang sudah berumur itu memberikan sedikit keteduhan.
Sepanjang jalan satu kilometer ini terasa seperti ritual karena gaya Indische Empire masih melekat di bangunan yang ada, seakan berjalan di tengah kota Batavia.
Bahkan, saya temukan pula rumah yang cukup autentik milik Masagus Nur Muhammad Hasyim Ning. Rumah dengan cat putih itu pernah menjadi saksi dari syuting series atau sinetron Catatan si Boy. Tidak hanya itu, nama Jalan Raden Saleh tidak hanya mengingatkan saya pada sang maestro juga pada sebuah film  garapan Angga Dwi Sasongko.
Ujung perjalanan ini akan bermuara di Taman Ismail Marzuki (TIM). Bangunan yang dibangun di atas tanah seluas 9 hektar dengan gaya bangunan futuristik. Dan yang semakin menarik adalah ini punya kaitan dengan nama jalan yang tadi saya jumpai. Kompleks ini dulunya adalah kebun binatang pribadi Raden Saleh, di mana beliau melukis harimau-harimaunya.
Patung Ismail Marzuki menyambut saya di gerbang TIM. Sang maestro berdiri gagah, biolanya terangkul seperti sedang memeluk melodi yang tak pernah mati. Di belakangnya, lorong sempit di antara gedung utama dan parkiran menjadi portal magis: hanya sepuluh langkah, tapi Jakarta tiba-tiba kehilangan desibelnya.
TIM bukan sekadar kompleks seni—ia adalah mesin pembunuh kebisingan. Di sini, seni bekerja sebagai peredam. Graha Bhakti Budaya menelannya dengan pertunjukan monolog yang membuat klakson tak lagi relevan.
Gedung Ali Sadikin, dengan arsitektur meliuk mirip not balok Rayuan Pulau Kelapa, menyimpan perpustakaan di mana deru komuter digantikan derik halaman buku yang dibalik.
Gedung Oemar Effendi memaksa pengunjung bisu lewat pamerannya. Saat itu, Jakarta Biennale ke-50 sedang memamerkan kegelisahan seniman yang terlalu jujur untuk diucapkan.
Pameran ini seperti labirin ide. Tanpa tema spesifik, karya-karya saling berteriak dalam diam. Saya terjebak di depan instalasi Mantra Tubuh—sebuah zine raksasa dari kain perca, pita, dan benang yang menjuntai dari langit-langit. Di setiap “halaman”-nya, puisi tentang tubuh perempuan tertulis dalam sulaman yang patah-patah.
“Ini ruang untuk menjahit luka,” bisik seorang pengunjung sambil melangkahkan kakinya mengitari halaman zine. Karya ini bukan untuk dilihat, tapi dirasakan dengan tangan: meraba kekasaran kain, menyusun ulang kata-kata yang tercabik, atau sekadar berdiri di bawahnya sambil bertanya, “Apakah Abel dan Emina juga menyimpan begitu banyak pertanyaan dalam pencariannya yang sunyi itu?”
Tempat ini adalah dunia lain dari Jakarta yang biasanya berputar dengan bagaimana bisa mendapat lebih banyak uang. Desas-desus tentang seni–sastra–pemeran lebih banyak bergaung di sini. Bahkan, Jakarta Sebelum Pagi sendiri dinobatkan sebagai pemenang melalui malam anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 di sini juga.
Lorong-lorong di dalam Gedung Ali Sadikin yang mengantarkan saya pulang ini membuat saya tidak ingin cepat meninggalkan tempat ini. Seakan ingin lebih lama menghabiskan waktu untuk berputar dengan isi kepala sendiri.
Satu persinggahan terakhir sebelum betul-betul meninggalkan tempat ini, adalah duduk melamun di pendopo, di depan kolam yang menghadap gedung Trisno Soemardjo atau Planetarium. Melihat ikan yang bergerak tanpa berisik itu juga air yang tenang rasanya seperti ingin serakah berharap “apa lebih baik Jakarta sesunyi kolam ini saja ya?”
Kembali ke pertanyaan awal, bisakah kita masih menemukan Jakarta yang sunyi? Jawabannya mungkin tak akan pernah sependapat dengan semua orang. Tapi di Cikini, langkah yang buru-buru itu perlahan ditelan. Deretan pekerjaan yang harus segera dituntaskan itu terganti dengan berbagai ruang-ruang ekspresi diri. Entah buku yang menjadi lebih berisik atau suara di tengah teater. Tapi rasanya, kemerdekaan memiliki diri sendiri dapat ditemukan di sini.
Seperti kata Ziggy dalam novelnya: “Jakarta adalah kota yang tak pernah benar-benar tidur, tapi di sudut-sudut tertentu, ia masih bisa berbisik.” Dan Cikini adalah salah satu sudut itu—tempat di mana kita bisa mendengar bisik-bisik itu, ketika Jakarta tak sebising pukul 8 pagi dan 5 sore, di mana kamu masih bisa temukan kewarasan di tengah semua orang yang sibuk berlari dikejar ambisinya.***
Ayu Ardiyati Nuraini Joyo Atmojo, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here