Bogordaily.net – Fenomena Fear of Missing Out (FoMO) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak orang, terutama di era digital saat ini. Dengan media sosial yang mempengaruhi cara kita berinteraksi dan melihat dunia, tekanan untuk mengikuti tren terbaru semakin meningkat.
Melihat teman-teman atau influencer memamerkan produk terbaru sering kali menciptakan perasaan seolah-olah harus ikut serta agar tidak ketinggalan. Hal ini bisa membuat seseorang merasa terasing jika tidak memiliki barang-barang yang sedang populer.
Generasi Z, yang tumbuh di tengah perkembangan teknologi digital, adalah kelompok yang paling terpengaruh oleh fenomena ini. Mereka menghabiskan waktu lebih dari tujuh jam sehari di internet, dan dengan akses mudah ke berbagai platform media sosial, mereka menjadi semakin terbiasa dengan perbandingan sosial.
Dalam konteks ini, FoMO dapat memicu perasaan tidak puas dengan diri sendiri dan meningkatkan kecemasan sosial. Seseorang mungkin merasa harus terus-menerus memeriksa media sosial untuk memastikan mereka tidak ketinggalan sesuatu yang penting atau menarik.
Dampak Psikologis FoMO
FoMO bukan sekadar rasa ingin tahu, ia dapat menimbulkan kecemasan yang nyata. Penelitian menunjukkan bahwa FoMO berkontribusi pada perilaku konsumtif yang tidak rasional. Dalam sebuah studi, ditemukan bahwa individu yang mengalami FoMO cenderung melakukan pembelian impulsif, yang dapat mengganggu stabilitas keuangan mereka dan meningkatkan tingkat kecemasan serta stres.
Misalnya, penelitian oleh Puspitasari dan Chikmiyah (2024) menunjukkan bahwa semakin tinggi skor FoMO seseorang, semakin banyak pembelian impulsif yang dilakukannya. Ketidakpuasan hidup yang muncul dari perbandingan sosial ini menciptakan siklus negatif, di mana individu terus mencari pengalaman yang dapat meningkatkan kepuasan sosial tetapi pada saat yang sama mengorbankan kesejahteraan finansial dan emosional mereka.
Solusi: No Buy Challenge 2025
Menyadari dampak negatif dari FoMO, konsep No Buy Challenge 2025 mulai menarik perhatian sebagai solusi. Tantangan ini mengajak seseorang untuk lebih sadar dalam setiap keputusan pembelian. Bukan berarti dilarang berbelanja sama sekali, tetapi lebih kepada mengurangi pembelian barang-barang non-esensial selama satu tahun. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan kebiasaan belanja dan mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.
Prinsip Utama No Buy Challenge
1. Mengidentifikasi Kebutuhan vs Keinginan
● Tantangan ini mendorong individu untuk membedakan antara apa yang benar-benar dibutuhkan dan apa yang hanya diinginkan. Ini membantu dalam membuat keputusan yang lebih bijaksana saat berbelanja.
2. Mengurangi Pembelian Impulsif
● Menunda keputusan pembelian dan mempertimbangkan kembali apakah barang tersebut benar-benar diperlukan menjadi salah satu cara efektif untuk menghindari pembelian yang tidak perlu.
3. Memprioritaskan Kualitas daripada Kuantitas
● Alih-alih membeli banyak barang murah yang cepat rusak, tantangan ini mengajarkan untuk memilih barang berkualitas tinggi yang lebih tahan lama dan memberikan nilai lebih dalam jangka panjang.
4. Memperbaiki atau Menyewa
● Mempertimbangkan opsi memperbaiki barang yang sudah ada atau menyewa barang tertentu ketika diperlukan juga menjadi alternatif yang baik.
Manfaat Jangka Panjang
Dengan mengikuti tantangan ini, individu dapat mengurangi pengeluaran dan meningkatkan kesadaran finansial secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip-prinsip Maqashid Syariah, seperti menjaga jiwa (Hifz an-Nafs) dan harta (Hifz al-Mal), sangat relevan dalam membantu individu mengelola dampak negatif FoMO. Selain itu, dengan lebih fokus pada pengalaman hidup daripada barang material, orang dapat menemukan kebahagiaan sejati dalam hubungan sosial dan kegiatan yang lebih bermakna.
No Buy Challenge 2025 menawarkan pendekatan yang lebih positif terhadap masalah FoMO dan pembelian berlebihan. Dengan mengadopsi pola pikir yang lebih sadar dalam berbelanja, kita bisa menciptakan kehidupan yang lebih seimbang dan memuaskan tanpa terjebak dalam siklus pembelian impulsif yang dipicu oleh ketakutan akan kehilangan sesuatu yang “trendy.” Ini bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga tentang menemukan kembali nilai-nilai sederhana dalam hidup dan menikmati momen-momen berharga tanpa harus selalu mengejar barang-barang baru.***
Kaila Natania
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University