Saturday, 19 April 2025
HomeTravellingMenjelajah Negeri di Atas Awan, Pesona dan Keindahan Alam Dieng

Menjelajah Negeri di Atas Awan, Pesona dan Keindahan Alam Dieng

Bogordaily.net – Setelah berbulan-bulan berkutat dengan tugas, ujian, dan begadang demi menyelesaikan laporan, akhirnya momen yang paling dinanti tiba, yakni libur semester. Ini adalah waktu yang sempurna bagi saya untuk mengistirahatkan pikiran yang sudah bekerja terlalu keras selama perkuliahan. Bukan sekadar bersantai di rumah, saya dan keluarga memutuskan untuk menghabiskan waktu liburan ini dengan berpetualang ke tempat yang selalu menarik perhatian kami, Dataran Tinggi Dieng, seolah menjelajah negeri di atas awan.

Dari awal perjalanan, rasa senang dan bersemangat sudah memenuhi hati saya. Jalanan berkelok dengan pemandangan hijau di kanan dan kiri semakin membangkitkan rasa antusias dalam diri saya.

Udara yang semakin sejuk saat kami mendekati Dieng membuat saya merasa seperti meninggalkan segala penat dan tekanan akademik. Ini bukan hanya sekadar liburan, tetapi juga kesempatan untuk merefresh pikiran, mengisi kembali energi, dan merasakan ketenangan yang sulit didapatkan saat sibuk dengan dunia perkuliahan.

Sesampainya di Dieng, udara dingin langsung menyambut kami. Rasanya segar dan menenangkan, berbeda jauh dari panas dan hiruk-pikuk kota.

Kabut tipis menyelimuti perbukitan saat sinar matahari menyapa Dieng, menghadirkan pemandangan bak negeri di atas awan. Udara dingin yang menembus tulang, membuat setiap tarikan napas terasa segar dan menenangkan.

Dari kejauhan, saya melihat cahaya jingga mulai menilik perlahan, mengusir malam dan memperlihatkan keindahan pegunungan yang memukau seperti sketsa kanvas. Suara gemerisik angin berpadu dengan bisikan para pendaki di belakang rombongan saya yang tak sabar menyaksikan matahari terbit dari Bukit Sikunir.

Cahaya yang mulai perlahan menyapu hamparan awan yang mengapung di lembah, menciptakan panorama yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Ini bukan sekadar “family trip” biasa, Dieng menawarkan pengalaman yang tak bisa ditolak, mengajak siapa pun yang datang untuk sejenak melupakan hiruk-pikuk dunia dan larut dalam keindahan alamnya.

Dieng, sebuah dataran tinggi yang terhampar di Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, Jawa Tengah, telah lama dikenal sebagai surga tersembunyi di Pulau Jawa.

Terletak di ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut, kawasan ini menawarkan udara sejuk sepanjang tahun, dengan suhu yang bisa turun drastis hingga titik beku saat musim kemarau.

Tak heran jika Dieng sering disebut sebagai “Negeri di Atas Awan”. Sebutan yang tidak hanya menggambarkan posisi geografisnya yang tinggi, tetapi juga pemandangan luar biasa yang membuat siapa pun serasa berdiri di atas hamparan awan.

Dieng bukan sekadar destinasi wisata alam. Di balik pemandangannya yang memukau, kawasan ini menyimpan sejarah panjang dan warisan budaya yang kaya.

Menurut masyarakat setempat saat saya menggali rasa penasaran saya, nama “Dieng” sendiri dipercaya berasal dari gabungan kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu “Di” yang berarti tempat yang tinggi, dan “Hyang” yang berarti dewa atau surga.

Sesuai dengan namanya, Dieng memang dikenal sebagai kawasan suci sejak zaman kerajaan Hindu kuno, yang dibuktikan dengan keberadaan kompleks candi-candi berusia lebih dari seribu tahun.

Daya tarik utama Dieng tak hanya terletak pada keindahan panoramanya, tetapi juga pada fenomena alam unik yang sulit ditemukan di tempat lain. Salah satunya adalah Bukit Sikunir, destinasi favorit bagi para pencinta matahari terbit termasuk saya. Dari puncak bukit ini, saya dan keluarga bisa menyaksikan Golden Sunrise yang terkenal sebagai salah satu matahari terbit terbaik di Asia Tenggara.

Sementara itu, di sisi lain, saat kami mengunjungi Telaga Warna menampilkan keajaiban alam dengan airnya yang bisa berubah warna akibat kandungan sulfur dan mineral yang tinggi. Dieng juga memiliki fenomena geotermal yang menarik, seperti Kawah Sikidang, yang terkenal dengan kawahnya yang terus berpindah akibat aktivitas vulkanik di bawah tanah.

Saya sangat kagum dengan seluruh keindahan yang ada. Selain alam dan sejarah, budaya khas Dieng juga menjadi daya tarik tersendiri. Salah satu tradisi unik yang masih dilestarikan hingga kini adalah Ritual Pemotongan Rambut Gimbal, sebuah prosesi sakral yang dilakukan bagi anak-anak yang terlahir dengan rambut gimbal.

Konon, anak-anak ini dipercaya sebagai titisan leluhur yang memiliki hubungan erat dengan roh-roh penjaga Dieng. Ritual ini menjadi peristiwa penting bagi masyarakat setempat dan sering diadakan dalam sebuah festival tahunan yang menarik perhatian saya dan keluarga.

Dengan kombinasi keindahan alam, jejak sejarah, serta tradisi unik yang masih terjaga, Dieng bukan hanya tempat untuk berlibur, tetapi juga ruang bagi siapa pun yang ingin merasakan berbagai pengalaman seperti, spiritual, petualangan, dan kedekatan dengan alam.

Perjalanan ke Dieng selalu membawa cerita baru, seakan mengajak setiap pelancong untuk kembali dan menemukan pesona alam yang berbeda dengan alam yang lainnya.

Perjalanan ke Dieng tak akan lengkap tanpa menyaksikan matahari terbit dari puncak Bukit Sikunir, bukit ini salah satu spot terbaik menurut saya untuk menikmati Golden Sunrise. Dini hari, saya dan keluarga mulai mendaki jalur setapak yang menanjak, ditemani hembusan angin dingin yang menusuk hingga ke tulang.

Dengan langkah-langkah yang penuh semangat, perjalanan sekitar 30-45 menit menuju puncak terasa seperti mimpi bagi saya, setiap langkah yang terasa tidak semakin berat akan tetapi semakin menambah semangat yang ada dalam jiwa.

Saat langit mulai berubah warna dari gelap ke oranye keemasan, pemandangan di depan mata saya benar-benar memukau. Gugusan awan putih bergulung di bawah bukit, seolah menjadi lautan luas yang melingkupi lembah.

Di kejauhan, tampak siluet gunung-gunung megah seperti Gunung Sindoro, Sumbing, Merapi, hingga Merbabu tampak gagah berdiri. Momen ini begitu menakjubkan, seolah-olah saya sedang berada di negeri dongeng, di mana langit dan bumi menyatu dalam pandangan mata saya.

Banyak wisatawan yang memilih duduk diam, membiarkan mata mereka menikmati keindahan alam tanpa gangguan. Sama halnya seperti saya yang terpaku melihat suasana di depan mata saya.

Suasana di Bukit Sikunir tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga membawa ketenangan bagi saya. Ketika matahari akhirnya muncul dengan sempurna, warna-warna keemasan menyelimuti seluruh lembah Dieng, menciptakan pemandangan yang akan selalu dikenang.

Setelah menikmati sunrise, perjalanan kami di Dieng berlanjut ke salah satu peninggalan sejarah terpenting di kawasan ini, yaitu Kompleks Candi Arjuna. Ketika berlibur, saya dan keluarga menyukai hal-hal yang unik dan berbeda untuk kami pelajari lebih lanjut.

Seperti candi ini, berdiri megah di tengah hamparan rumput hijau, candi-candi Hindu ini telah berusia lebih dari seribu tahun dan diyakini sebagai salah satu tempat peribadatan Hindu tertua di Indonesia.

Begitu memasuki kompleks candi, saya seolah dibawa kembali ke masa lalu. Struktur bangunan yang kokoh, relief yang masih terlihat jelas, serta nuansa mistis yang menyelimuti area ini menciptakan suasana yang berbeda.

Kompleks ini terdiri dari beberapa candi, di antaranya Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Menurut saya sebagai pengunjung dari segi arsitektur, candi-candi di Dieng memiliki ciri khas yang berbeda dari candi-candi di Jawa lainnya.

Bentuknya sederhana dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan Candi Prambanan atau Borobudur. Namun, keberadaan candi-candi ini membuktikan bahwa Dieng pernah menjadi pusat keagamaan Hindu pada masa lalu.

Selain sebagai situs Sejarah menurut keterangan guide tour, Kompleks Candi Arjuna juga sering digunakan untuk berbagai ritual dan acara budaya, termasuk Ritual Pemotongan Rambut Gimbal yang menjadi salah satu tradisi unik masyarakat Dieng.

Berjalan di antara candi-candi kuno ini, saya bisa merasakan aura spiritual yang kuat, seolah tempat ini masih menyimpan kisah-kisah dari masa lampau yang belum sepenuhnya terungkap.

Keunikan Dieng tidak hanya terletak pada pemandangan yang indah atau situs sejarahnya yang berharga, tetapi juga pada fenomena geotermal yang bisa ditemui di Kawah Sikidang. Kawah ini merupakan salah satu destinasi yang menurut saya paling menarik di Dieng, berkat aktivitas vulkaniknya yang masih terus berlangsung hingga saat ini.

Begitu tiba di lokasi, saya dan keluarga disambut oleh pemandangan kawah yang terus mengeluarkan asap putih tebal. Bau belerang cukup menyengat, tetapi tidak mengurangi rasa penasaran untuk menjelajahi tempat ini.

Menurut saya, yang membuat Kawah Sikidang unik adalah letaknya yang relatif datar dan mudah diakses, berbeda dari kebanyakan kawah gunung berapi yang biasanya berada di puncak atau lereng curam.

Ketika rasa penasaran tersebut mencuat, saya kembali bertanya kepada guide tour mengenai nama sikidang. Nama “Sikidang” sendiri berasal dari legenda setempat yang mengisahkan seekor kijang yang melompat-lompat.

Hal ini dikaitkan dengan sifat kawah yang terus berpindah-pindah akibat aktivitas geothermal di dalamnya. Kawah ini tidak memiliki lokasi tetap, karena endapan belerang yang mengeras bisa pecah kapan saja, menciptakan lubang baru di area yang berbeda.

Selain menyaksikan fenomena alam ini, saya juga mencoba membeli oleh-oleh khas seperti telur belerang, telur yang direbus langsung di air panas alami kawah, rasanya aneh menurut lidah saya sebagai pengunjung yang baru saja merasakan telur ini. Tetapi saya tetap merasakan keunikannya.

Tak lengkap rasanya berkunjung ke Dieng tanpa mencicipi kuliner khasnya yang menggugah selera. Setelah seharian menjelajahi keindahan alam dan sejarahnya, berbagai makanan khas Dieng menggoda saya untuk mencicipinya. Salah satu kuliner yang wajib dicoba adalah Mie Ongklok, hidangan khas Wonosobo yang juga populer di Dieng.

Mie ini disajikan dengan kuah kental berbumbu rempah khas yang terbuat dari campuran tepung kanji, ebi, dan bawang putih. Disajikan bersama sate sapi dan tempe kemul, mie ongklok menjadi santapan untuk menghangatkan tubuh saya di tengah dinginnya udara pegunungan.

Selain itu, ada juga Tempe Kemul, unik sekali menurut saya, gorengan tempe dengan lapisan tepung yang lebih tebal dan renyah dibandingkan tempe goreng biasa. Camilan ini sering dijadikan teman minum teh atau kopi saat menikmati pemandangan Dieng di sore hari.

Dengan keanekaragaman kuliner yang khas, Dieng menurut saya tidak hanya menyuguhkan keindahan alam dan sejarah, tetapi juga pengalaman dan pengetahuan yang menakjubkan. Setiap hidangan di sini seolah menjadi pelengkap dari liburan semester saya kali ini.

Dieng bukan sekadar destinasi wisata, menurut saya Dieng adalah pengalaman yang membuka pengetahuan, perjalanan yang membekas dalam ingatan, dan keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dieng menurpakan negeri di atas awan.

Setiap sudutnya menyimpan pesona yang unik, dari matahari terbit yang magis di Bukit Sikunir, kompleks candi-candi tua yang penuh sejarah, kawah beruap yang terus hidup, hingga sajian kuliner khas yang menggugah selera.

Saat perjalanan ini berakhir, saya menyadari bahwa Dieng telah memberikan lebih dari sekadar pemandangan yang indah.

Ia menawarkan ketenangan, refleksi, dan kesempatan untuk benar-benar menyatu dengan alam dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Udara dinginnya yang menyegarkan, awan-awan yang bergulung di antara pegunungan, serta keramahan masyarakat lokal menciptakan suasana yang begitu berbeda dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Di sini, waktu seakan berjalan lebih lambat, memberi kesempatan untuk menikmati setiap momen tanpa terburu-buru.

Bagi siapa pun yang mencari tempat untuk melepas penat, menemukan inspirasi, atau sekadar menikmati keindahan alam, Dieng adalah tempat yang sangat saya rekomendasi.

Ia bukan hanya tempat wisata, tetapi juga sebuah perjalanan emosional mengajarkan kita untuk menghargai keindahan alam, merasakan kedamaian di antara pegunungan, dan membawa pulang energi baru untuk hari yang baru.

Jadi, kapan terakhir kali kamu memberikan hadiah untuk diri sendiri berupa perjalanan yang menenangkan? Jika tubuh dan pikiranmu mulai lelah dengan rutinitas, mungkin sudah saatnya melangkah ke Dieng. Datanglah, rasakan sendiri bagaimana negeri di atas awan ini membawamu ke dalam dunia yang lebih tenang, indah, dan tak terlupakan.***

Vansa Audia Frisaningrum
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here