Bogordaily.net – Pada paruh kedua abad ke-20, khususnya di era 1960-an dan 1970-an, gerakan feminisme gelombang kedua semakin menolak korset sebagai simbol penindasan. Banyak perempuan memilih untuk menyingkirkan segala bentuk pakaian yang dianggap membatasi tubuh mereka. Ini ditunjukan dengan berbagai kutipan dan narasi pada berbagai film, seperti “You like pain? Try wearing a corset,” kutipan ini terdapat di dalam Pirates of the Caribbean (2003) oleh Elizabeth Swann (Kiera Knightly).
Disusul dengan penulis novel Lucy Maud Montgomery (The Blue Castle, 1926), “Tight lacing gives a woman a figure—but at what cost?”. Sejarah korset lebih kompleks dari yang sering diasumsikan. Sejak abad ke-16, korset tidak hanya berperan sebagai penopang tubuh, tetapi juga menjadi elemen penting dalam tren mode dan simbol status sosial.
Banyak perempuan secara sukarela mengenakannya, baik untuk alasan estetika, kesehatan, maupun demi menjaga postur tubuh. Korset telah lama menjadi ikon kecantikan dalam sejarah mode.
Sejak berabad-abad lalu, busana ini bukan sekadar penyangga tubuh, tetapi juga lambang keanggunan dan kemewahan. Pada abad ke-16, korset mulai digunakan untuk membentuk siluet tubuh yang dianggap ideal pada masanya.
Wanita mengenakannya untuk menciptakan postur tegap, pinggang ramping, dan lekuk tubuh yang elegan, menjadikannya simbol feminitas dan daya tarik.
Pada era Victoria, korset mencapai puncak popularitasnya. Dalam masyarakat saat itu, bentuk tubuh yang ideal adalah pinggang kecil dengan proporsi yang seimbang. Para wanita berlomba-lomba mengenakan korset, percaya bahwa keindahan mereka terpancar dari bentuk tubuh yang harmonis.
Bukan hanya sekadar tren, korset juga melambangkan status sosial—semakin ramping pinggang seorang wanita, semakin tinggi daya tarik dan kelasnya di mata masyarakat.
Korset sering kali dikaitkan dengan feminitas dan standar kecantikan wanita, tetapi sejarah menunjukkan bahwa pakaian ini tidak hanya diperuntukkan bagi kaum hawa.
Pada abad ke-18 dan ke-19, terdapat pria yang mengenakan korset untuk memperoleh postur tubuh yang tegap dan siluet ramping.
Di era Victoria, misalnya, standar kecantikan tidak hanya berlaku bagi wanita—laki-laki dari kelas sosial tertentu juga diharapkan tampil rapi dengan tubuh yang lebih proporsional.
Korset membantu mereka mendapatkan bentuk tubuh yang ideal untuk dipadukan dengan mantel panjang dan setelan resmi yang populer pada saat itu. Banyak sejarawan telah berupaya menelusuri asal-usul korset.
Pada era Tudor, korset kemungkinan sudah digunakan dalam bentuk a pair of bodies, yaitu pakaian pelapis kaku yang membantu membentuk siluet tubuh. Salah satu tokoh terkenal yang mengenakannya adalah Ratu Elizabeth I.
Ia diketahui mengenakan a pair of bodies sebagai bagian dari busananya untuk menciptakan postur tegap dan tampilan yang anggun, menunjukkan bahwa korset telah menjadi bagian dari mode kerajaan sejak periode tersebut.
Walau begitu, a pair of bodies pada zamannya hanya dapat digunakan oleh kalangan aristokrat dan belum normal untuk semua kalangan. Namun, hingga kini mereka masih mengalami kesulitan dalam menentukan kapan pertama kali korset digunakan, mengingat istilah pakaian mengalami perubahan yang cepat dari waktu ke waktu.
Walau begitu Elizabeth Ewing, dalam bukunya Fashion in Underwear: From Babylon to Bikini Briefs (2010) menyebutkan bahwa istilah korset diambil dari Bahasa Prancis “cotte”.
Seiring perubahan waktu, tidak hanya nama yang berubah pada korset namun juga makna dan representasinya. Korset sering kali dianggap sebagai simbol penindasan perempuan, terutama dalam narasi feminis abad ke-20 yang melihatnya sebagai alat patriarki untuk membatasi kebebasan fisik dan sosial wanita.
Asal Usul Korset Sebagai Simbol Penindasan
Korset sering dianggap sebagai simbol penindasan karena dikaitkan dengan standar kecantikan pada zamannya. Namun, pandangan ini sebagian besar dipengaruhi oleh perspektif modern yang melihat standar kecantikan sebagai bentuk pembatasan bagi perempuan.
Dengan adanya pengalaman serta gerakan sosial seperti body positivity dan speak up movement, banyak orang saat ini menilai korset sebagai bagian dari sistem yang menekan perempuan agar menyesuaikan diri dengan idealisasi kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat patriarkal.
Namun, jika ditinjau dari konteks sejarah, pengaruh standar kecantikan yang berkaitan dengan korset tidak sebanding dengan dampaknya di era modern. Dahulu, standar kecantikan bersifat eksklusif dan hanya memengaruhi kelompok tertentu, terutama kalangan aristokrasi dan kelas menengah atas, yang memiliki akses serta dorongan untuk mengikutinya.
Sebaliknya, di era media sosial saat ini, standar kecantikan tersebar secara masif, menjangkau berbagai lapisan masyarakat, dan memberikan tekanan yang jauh lebih luas dibandingkan masa lalu.
Dengan berkembangnya media sosial, konsep kecantikan kini semakin distandarisasi secara global, menciptakan tekanan yang jauh lebih besar dibandingkan masa lampau. Informasi mengenai bentuk tubuh ideal, gaya hidup, hingga prosedur kosmetik dapat diakses dalam hitungan detik, memperluas dampak psikologis bagi banyak orang.
Jika pada era Victoria penggunaan korset lebih terbatas pada kelompok sosial tertentu, kini ekspektasi terhadap tubuh ideal dapat menjangkau siapa saja melalui internet.
Di sisi lain, media digital sering kali menggunakan judul clickbait untuk menarik perhatian pembaca, menyederhanakan sejarah korset dengan narasi yang berlebihan. Artikel-artikel dengan judul kontroversial kerap mengabaikan fakta bahwa banyak perempuan di masa lalu memilih mengenakan korset sebagai bagian dari gaya hidup mereka.
Sensasionalisme ini semakin diperparah oleh tren media sosial yang cenderung menyebarkan informasi dangkal tanpa memberikan pemahaman yang lebih mendalam.
“Misinformation is worse than ignorance.” Charles Spurgeon, misinformasi tentang korset tidak hanya datang dari content creator independen, tetapi juga dari media besar seperti Vogue. Salah satu contohnya adalah video berjudul “Everything You Need to Know About the Corset”, yang berdurasi kurang dari enam menit.
Video ini mendapat kritik dari sejarawan mode di kanal YouTube Abby Cox. Dalam video reaksinya, Abby Cox tidak sendirian, melainkan didampingi oleh sejarawan dan pengamat mode lainnya, seperti Mina Le, Bernadette Banner, Nicole Rudolph, dan Karolina Żebrowska.
Mereka menilai bahwa video Vogue terlalu dangkal dan tidak menyajikan informasi yang lebih akurat dari yang dapat ditemukan di Wikipedia.
Selain media digital, film-film abad ke-20 juga berkontribusi dalam membentuk miskonsepsi tentang korset. Banyak film berlatar sejarah lebih menekankan unsur drama dibandingkan keakuratan fakta, sering kali menampilkan adegan perempuan yang kesulitan bernapas atau bahkan pingsan akibat korset yang terlalu ketat.
“History is written by the victors, but fashion history is often rewritten by Hollywood.” oleh Karolina Żebrowska. Representasi dramatis ini telah menjadi trope umum dalam film bertema sejarah, meskipun kenyataannya tidak semua perempuan pada masa itu mengalami ketidaknyamanan yang ekstrem.
Gambaran seperti ini semakin memperkuat anggapan bahwa korset adalah alat penindasan, padahal dalam banyak kasus, pemakaiannya bersifat sukarela dan sesuai dengan norma sosial yang berlaku saat itu.
Korset Sebagai Simbol Bereskpresi
Alih-alih dianggap sebagai alat penindasan, korset pada zamannya merupakan bentuk ekspresi diri dan identitas sosial. “Women did not wear corsets because they were forced to. They wore them because that was simply what one did.” Oleh Valerie Steele (The Corset: A Cultural History).
Perempuan menggunakan korset sebagai cara untuk menampilkan diri sesuai dengan norma budaya dan estetika yang berlaku. Di beberapa periode sejarah, korset bahkan dianggap sebagai lambang kebebasan dalam berpakaian, memungkinkan pemakainya menonjolkan citra diri yang mereka inginkan.
Selain itu, perempuan dari berbagai latar belakang sosial menggunakan korset untuk menciptakan siluet yang dianggap menarik atau untuk meningkatkan kenyamanan dalam berpakaian sehari-hari. Gagasan ini juga didukung oleh Hilary Davidson, Sejarawan Mode “Corsets were a foundation garment, no more oppressive than a bra is today.”
Begitu juga dengan kutipan “Throughout history, people have worn structured garments to support and shape the body. The corset was simply one of them.”
ungkap Bernadette Banner (Sejarawan Mode & YouTuber).
Dalam penelitian The Corset: A Cultural History (2001), sejarawan fashion Valerie Fahnestock Steele menjelaskan bagaimana korset menjadi bagian penting dalam praktik presentasi diri kaum elite bangsawan.
Korset menandakan kontrol atas tubuh yang dibentuk melalui serangkaian praktik sosial, mulai dari menari hingga berpakaian. Kaum bangsawan menggunakan korset untuk menghargai norma-norma kesopanan, sesuatu yang menggambarkan posisi sosial mereka di masyarakat.
Menariknya, tren penggunaan korset justru dipelopori oleh perempuan sendiri. Meskipun banyak laki-laki pada era tersebut mengkritik dan menyindir mode perempuan, termasuk korset, melalui satir dan tulisan humor, perempuan tetap mengenakan korset sebagai bentuk kontrol atas tubuh mereka sendiri.
Dalam konteks ini, korset justru bisa dilihat sebagai simbol kebebasan perempuan terhadap pandangan misoginis yang mencoba mendikte bagaimana mereka harus berpakaian. Fakta ini menjadi ironi jika dibandingkan dengan presepsi feminis masa kini dengan argumentasi bahwa korset adalah bentuk restriksi yang berbahaya.
Apakah Korset Memiliki Dampak Buruk?
Serena Dyer, Dosen Sejarah Desain dan Budaya Material di Universitas De Montfort, pernah menulis tentang bagaimana korset dibingkai jadi sumber penyakit oleh dokter-dokter misoginis pada tahun 1990-an.
Dr. William Henry Flower, seorang ahli anatomi Inggris, menulis buku Fashion in Deformity (1881) menungkapkan “The corset is responsible for the unnatural shape of women, compressing the ribs and causing serious injury to internal organs.”, ia mengkritik korset dengan menyebutnya sebagai penyebab deformitas tubuh perempuan.
Ia menegaskan bahwa korset merusak organ dalam dan menghambat pernapasan, meskipun bukti medisnya sering dilebih-lebihkan. Pernyataan serupa juga dijelaskan oleh Dr. Robert L. Dickinson (1911) – “The Corset: Questions of Pressure and Displacement” dimana ia mengatakan “The effects of the corset are not merely cosmetic; they lead to functional disturbances in the body, particularly in the abdomen.”
Korset sering dianggap sebagai penyebab berbagai masalah kesehatan yang memengaruhi bentuk tubuh perempuan, seperti pneumonia, komplikasi kehamilan, gangguan pencernaan seperti sembelit, infeksi pasca-persalinan, hingga tuberkulosis.
Selain itu, penggunaan korset dalam jangka panjang juga disebut dapat menyebabkan saraf terjepit pada tulang belakang. Hal ini dicatat oleh Dyer dalam penelitiannya.
Anggapan bahwa tulisan ilmiah atau jurnal tentang korset di masa lalu bersifat faktual dan objektif perlu mendapat sorotan kritis.
Pada era Victoria, standar objektivitas ilmiah belum seketat saat ini, sehingga banyak dokter dapat menyisipkan opini pribadi ke dalam tulisan mereka tanpa dukungan bukti ilmiah yang kuat. Akibatnya, banyak pandangan negatif tentang korset lebih bersifat subjektif daripada hasil analisis medis berbasis data.
Faktanya, sebagian besar klaim kesehatan yang mengkritik korset berakar pada pandangan misoginis. Dalam tulisannya di The Conversation, Dyer menjelaskan bahwa isu-isu kesehatan yang dikaitkan dengan korset sebenarnya hanyalah mitos yang dikonstruksi oleh dokter laki-laki untuk mendukung perspektif patriarki mereka sendiri.
Kekhawatiran masyarakat modern terhadap korset juga dipicu oleh foto-foto era Victoria yang menampilkan perempuan dengan pinggang yang tampak sangat kecil, bahkan abnormal. “The camera may do justice to reality, but reality is not always what we see in photographs.”
Kata Susan Sontag (1977) yang menyoroti bagaimana foto dapat dikonstruksi untuk menyampaikan narasi tertentu, termasuk dalam kasus foto-foto perempuan berpinggang sangat kecil di era Victoria. Banyak yang berasumsi bahwa korset memang berbahaya tanpa mempertimbangkan kemungkinan manipulasi gambar.
Padahal, praktik edit foto sudah ada sejak lama. Fotografer era Victoria sering menggunakan latar belakang hitam atau putih dan menyesuaikan pencahayaan serta tinta untuk menciptakan ilusi pinggang yang lebih kecil.
Peran Komunitas Pecinta Sejarah Fashion
Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas penggemar sejarah fashion telah berupaya mengoreksi kesalahpahaman tentang korset dengan menghadirkan perspektif yang lebih akurat berdasarkan penelitian.
Sosok-sosok seperti Abby Cox, Mina Le, Bernadette Banner, Nicole Rudolph, dan Karolina Żebrowska berperan penting dalam menyebarkan informasi yang lebih seimbang mengenai sejarah fashion, termasuk penggunaan korset.
Bernadette Banner beranggapan “The corset is not an instrument of torture. It is a work of art.”, kemudian Valerie Steele pada The Corset: A Cultural History mengatakan “There is nothing unnatural about shaping the body through dress; all societies do it in one way or another.”.
Melalui platform seperti YouTube dan TikTok, mereka membagikan analisis mendalam tentang bagaimana korset sebenarnya digunakan dalam berbagai periode sejarah. Mereka juga mengungkap berbagai mitos yang beredar, seperti anggapan bahwa korset menyebabkan cedera serius atau dibuat semata-mata untuk menekan perempuan.
Konten mereka sering kali menampilkan demonstrasi langsung, di mana mereka membuat dan mengenakan korset berdasarkan pola asli dari abad-abad sebelumnya. Hasilnya menunjukkan bahwa korset yang dibuat dan dipakai dengan benar tidak hanya nyaman, tetapi juga dapat memberikan dukungan tubuh yang baik tanpa menimbulkan masalah kesehatan.
Selain menyebarkan informasi, komunitas ini juga menantang narasi sensasional yang sering dipopulerkan oleh media digital dan industri hiburan. Mereka mengkritisi bagaimana film, acara televisi, dan bahkan beberapa museum menggambarkan korset sebagai alat penyiksaan, meskipun dalam banyak kasus, pandangan tersebut lebih didasarkan pada dramatisasi daripada fakta sejarah.
Dengan pendekatan yang berbasis edukasi dan bukti, komunitas ini memainkan peran penting dalam mengoreksi kesalahpahaman publik mengenai sejarah fashion. Upaya mereka menyoroti pentingnya memahami mode masa lalu, termasuk korset, dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas, daripada menilainya melalui sudut pandang modern yang kerap menyederhanakan realitas sejarah.
Dengan demikian, mereska mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap narasi populer dan lebih menghargai kompleksitas sejarah fashion.
Anggapan bahwa korset merupakan simbol utama penindasan perempuan sebagian besar dipengaruhi oleh pemberitaan media, propaganda feminisme abad ke-20, serta penggambaran yang keliru dalam film dan literatur ilmiah yang cenderung bias.
Padahal, jika dilihat dalam konteks sejarahnya, korset memiliki makna yang jauh lebih kompleks daripada sekadar alat pembatas gerak. Korset juga berfungsi sebagai bentuk ekspresi diri, bagian dari tren mode, dan bahkan simbol kebebasan dari norma misoginis pada masanya.
Di era digital saat ini, informasi tentang sejarah fashion sering kali disederhanakan demi menarik perhatian melalui clickbait dan sensasi, sehingga semakin memperkuat stereotip negatif terhadap korset.
Namun, komunitas penggiat sejarah fashion telah berupaya membongkar mitos ini melalui riset mendalam dan rekonstruksi berdasarkan fakta sejarah. Oleh karena itu, memahami sejarah dengan perspektif yang lebih objektif menjadi sangat penting, daripada sekadar mengandalkan narasi populer yang belum tentu akurat.***
Oleh: Elsa Anastasya Wijaya, Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi, IPB University