Bogordaily.net – Perjalanan ini bermula di pertengahan semester tiga, ketika saya diajak oleh teman-teman, Zaki, Rezi, Fadhil, Fayas, Awan, Umar, dan Zesar untuk mengunjungi sebuah tempat yang, saat itu, masih asing bagi saya. Setiap kali bertanya ke mana tujuan kami, jawabannya selalu sama, “Belajar.” Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang akan kami pelajari di sana.
ADVERTISEMENT
Kami berangkat menggunakan empat sepeda motor, masing-masing berboncengan dua orang. Perjalanan diawali dengan suasana yang menyenangkan, jalanan masih mulus, angin bertiup sejuk, dan obrolan ringan terus mengalir di antara kami.
Saat memasuki waktu Dzuhur, kami memutuskan untuk berhenti sejenak, menunaikan sholat, serta beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Namun, tak lama setelah kembali melaju, kami menyadari bahwa arah yang kami ambil ternyata salah. Bukannya menuju Sukabumi, kami justru berbelok ke arah Banten. Rasa lelah mulai terasa, tetapi anehnya tidak ada yang mengeluh. Justru gelak tawa yang mendominasi, seolah kesalahan ini adalah bagian dari perjalanan yang harus dinikmati. Setelah memastikan kembali jalur yang benar, kami pun kembali melanjutkan perjalanan.
ADVERTISEMENT
Tantangan baru segera muncul begitu kami semakin dekat dengan tujuan. Jalanan yang sebelumnya mulus kini berubah menjadi medan berbatu yang curam. Permukaan jalan yang tidak rata menyulitkan laju kendaraan kami. Kami hanya bisa berharap jalanan akan membaik di depan, tetapi harapan itu hanyalah harapan.
Setelah beberapa jam berkendara di jalur berbatu, kecelakaan pertama pun terjadi. Rezi dan Umar kehilangan keseimbangan, motor mereka oleng lalu terjatuh. Bukannya panik, kami justru tertawa. Tidak lama kemudian, Zaki dan Zesar mengalami hal serupa. Lagi-lagi, tawa yang mengiringi peristiwa itu.
Entah karena lelah atau karena tak ada pilihan lain, kami hanya bisa saling menghibur satu sama lain. Sore mulai menjelang, tubuh semakin lelah, dan kini muncul kendala baru. Motor Zesar mulai bermasalah. Suaranya terdengar berat, seakan memprotes perjalanan panjang yang telah kami tempuh.
Kami pun beberapa kali berhenti, memberikan waktu bagi kendaraan untuk ‘beristirahat’. Di sela waktu tersebut, kami menyadari bahwa pemandangan di sekitar begitu luar biasa. Pegunungan menjulang tinggi, udara begitu segar, dan suasana yang tenang jauh dari hiruk-pikuk kota.
Namun, satu pertanyaan masih mengganjal dalam benak saya, ke mana sebenarnya kami pergi? Dan apa yang akan kami pelajari di sana? Langit mulai gelap ketika kami masih berada di jalan.
Penerangan minim, hanya suara mesin kendaraan dan percakapan ringan yang menemani perjalanan kami. Setelah hampir dua belas jam berkendara, akhirnya kami tiba di tujuan, Kesepuhan Ciptagelar.
Sesampainya di sana, saya segera menyadari bahwa tempat ini bukanlah desa biasa. Kesan tradisional begitu terasa. Rumah-rumah adat berdiri kokoh, dan suasana yang tenang memberikan nuansa seolah kami telah kembali ke masa lalu.
Lebih mengejutkan lagi, begitu tiba, warga setempat menyambut kami dengan hangat. Tanpa ragu, mereka langsung menawarkan makanan dan tempat untuk beristirahat.
Selesai menikmati hidangan, kami berbincang dengan orang sekitar. Mereka mulai menceritakan sejarah desa, perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain, hingga sebuah fakta yang membuat saya takjub, Ciptagelar memiliki sistem penyimpanan padi yang memungkinkan mereka memiliki stok pangan hingga puluhan tahun ke depan. Mendengar hal itu, saya tergerak untuk memahami lebih dalam bagaimana sistem ini bekerja.
Hingga kini, masyarakat Ciptagelar tetap mempertahankan sistem pertanian tradisional. Mereka hanya melakukan panen satu kali dalam setahun agar tanah dapat beristirahat dan tetap subur.
Padi yang telah dipanen tidak langsung dikonsumsi, melainkan disimpan di dalam leuit, lumbung padi tradisional yang telah diwariskan secara turun-temurun. Setiap rumah memiliki tiga leuit, dan ada satu bank leuit, tempat seluruh warga menyimpan padi mereka secara kolektif.
Namun, yang paling menarik adalah aturan yang mereka pegang teguh, beras di Ciptagelar tidak diperjualbelikan.
Bagi mereka, beras adalah simbol kehidupan. Memperjualbelikannya dianggap sama dengan memperdagangkan kehidupan. Sebagai gantinya, jika ada warga yang membutuhkan, mereka dapat mengambil padi secara sukarela dari lumbung yang tersedia.
Saya terdiam sejenak. Dalam era modern seperti sekarang, di mana segala sesuatu memiliki nilai ekonomi, prinsip yang dipegang oleh masyarakat Ciptagelar terasa begitu dalam.
Malam semakin larut, dan rasa lelah mulai menguasai tubuh. Teman-teman masih terus berbincang, tetapi saya memilih untuk tidur lebih dahulu. Keesokan harinya, saya terbangun bukan karena alarm, melainkan oleh udara pagi yang begitu dingin.
Saya telah mengenakan jaket dan selimut tebal, tetapi tetap saja udara dingin menusuk hingga ke tulang. Karena sudah terlanjur bangun, saya dan Umar memutuskan untuk melaksanakan sholat Subuh lebih dahulu.
Setelahnya, saya, Umar, dan Rezi berkeliling di sekitar Ciptagelar. Suasana pagi di tempat ini begitu menenangkan. Matahari perlahan muncul dari balik perbukitan, udara segar terasa di setiap tarikan napas, dan warga setempat sudah mulai beraktivitas di kebun mereka.
Semakin lama saya mengamati, semakin saya merasa bahwa hidup di sini memiliki ketenangan yang jarang ditemukan di kota.
Tak lama kemudian, teman-teman lain mulai bangun, dan kami pun kembali mengeksplorasi berbagai sudut desa. Setelah puas berjalan-jalan, kami kembali ke tempat kami menginap untuk
bersiap pulang. Sebelum berangkat, warga Ciptagelar kembali menawarkan makanan. Keramahan warga Ciptagelar benar-benar meninggalkan kesan bagi kami.
Setelah menikmati hidangan terakhir di desa ini, kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan yang telah mereka berikan.
Perjalanan pulang pun dimulai. Namun, baru beberapa menit turun dari Ciptagelar, insiden kembali terjadi. Kali ini, saya sendiri yang terjatuh dari motor.
Dan yang mengendarai motor? Yap, Zesar. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain tertawa bersama.
Meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, kesalahan arah, jalan berbatu, kendaraan mogok, dan beberapa kali terjatuh dari motor, saya sadar bahwa pengalaman ini lebih dari sekadar perjalanan biasa.
Saya tidak hanya mendapatkan pengalaman baru, tetapi juga pelajaran hidup, dalam perjalanan, kita akan menghadapi kesulitan, kehilangan arah, atau bahkan terjatuh. Namun, selama kita terus melangkah, pada akhirnya kita akan sampai ke tujuan.***
Nurwahyudin