Sunday, 1 June 2025
HomeTravellingPerjalanan Menuju Puncak dan Drama Sekaligus Keseruan di Jalan

Perjalanan Menuju Puncak dan Drama Sekaligus Keseruan di Jalan

Bogordaily.net – Tanggal 17 Desember 2024 itu bagiku bukan sekadar tanggal biasa di kalender, bukan sekadar angka-angka yang tertera tanpa makna. Hari itu bagaikan gerbang menuju dunia lain, dunia di mana tawa, kebersamaan, dan kenangan bersatu membentuk mozaik cerita yang tak akan pernah pudar.

Aku dan tim management, sekumpulan manusia-manusia luar biasa yang tak hanya sekadar rekan kerja, tapi sudah menjelma menjadi keluarga kedua, bersiap menapaki petualangan yang telah kami nanti berbulan-bulan lamanya. Tujuan kami satu: villa megah di Puncak yang konon punya panorama seindah lukisan surga.

Siang itu, di bawah langit yang muram dan mendung yang bergelayut manja, kami berangkat dengan semangat membara. Hujan yang mengguyur sejak Bogor seolah ingin menguji seberapa kuat tekad kami. Butiran air hujan menghantam kaca mobil seperti ribuan peluru air, namun kami tak gentar.

Justru, tawa kami membahana, menembus derasnya hujan, mengubah perjalanan ini bukan sekadar perjalanan, tapi sebuah epik legendaris yang akan diceritakan ulang di meja-meja kantor selama berbulan-bulan ke depan.

Perjalanan darat yang biasanya membosankan, mendadak terasa seperti talkshow dadakan. Obrolan kami melompat-lompat dari satu topik ke topik lain, mulai dari gosip hangat di dunia entertainment, mitos-mitos villa angker di Puncak, sampai teori konspirasi tentang kenapa Indomie selalu lebih enak di warung.

Ternyata, dunia entertainment yang selama ini kami anggap penuh gemerlap dan glamor, menyimpan sisi gelap dan cerita-cerita absurd yang sukses bikin kami terpingkal-pingkal sepanjang jalan.

Setelah beberapa jam melawan kemacetan yang rasanya seperti antrian konser gratis, akhirnya villa impian itu muncul di hadapan kami. Berdiri megah bak istana di negeri dongeng, dengan arsitektur yang seolah dibangun untuk para bangsawan, lengkap dengan kolam renang yang airnya bening seperti kristal dan menghadap langsung ke bentangan alam yang membuat jantung serasa berhenti berdetak.

Langit sore memancarkan semburat jingga, seakan tahu betul bahwa kami layak mendapatkan sambutan semegah ini setelah bertarung dengan derasnya hujan dan belitan kemacetan. Begitu kaki kami menginjak lantai villa, insting penjelajah kami langsung menyala.

Seolah-olah villa ini adalah kastil misterius penuh rahasia, kami menjelajah setiap sudutnya dengan antusiasme seperti anak kecil pertama kali ke taman bermain. Dari ruang tamu yang luas bagai lapangan futsal indoor, dapur yang mengundang aroma petualangan kuliner, hingga kamar-kamar yang siap menampung mimpi-mimpi liar kami malam itu.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya kami sampai pada momen sakral: sesi memasak bersama. Dapur villa yang tadinya sunyi berubah menjadi arena peperangan rasa dan aroma. Para perempuan, lengkap dengan celemek kebesaran masing-masing, berkumpul di dapur layaknya pasukan koki kerajaan. Pisau-pisau menari di atas talenan, bumbu-bumbu berterbangan di udara, dan aroma daging yang dipanggang perlahan menyatu dengan udara sore yang sejuk.

Aku yang keahlian memasaknya tak jauh beda dengan membedakan mana garam mana gula, lebih banyak jadi supporter di pinggir dapur. Tapi semangatku tak kalah membara. Sementara itu, para lelaki—yang entah sejak kapan mengklaim diri sebagai divisi hiburan—memutuskan bahwa malam itu dapur butuh soundtrack.

Mereka karaoke tanpa malu, menyanyikan lagu-lagu patah hati dengan suara yang kalau didengar produser rekaman, mungkin langsung disuruh ganti karier. Suasana makin absurd saat mereka mulai bermain billiard sambil mengomentari cara kami memotong bawang.

Saat hidangan akhirnya tersaji, kami semua berkumpul di ruang TV, ruangan yang malam itu menjelma menjadi arena pertarungan game paling sengit dalam sejarah outing management. Game tebak gaya yang biasanya hanya permainan biasa, berubah jadi ajang unjuk bakat akting dan kreativitas yang melampaui batas normal.

Tebak gambar yang awalnya santai, mendadak jadi ajang debat kusir penuh teori dan argumen tak masuk akal. Tawa kami meledak-ledak tanpa henti, mengisi setiap sudut villa dengan gelombang kebahagiaan yang tak bisa dibendung.

Dan tentu saja, tak ada game seru tanpa hadiah yang menggiurkan. Beberapa lembar uang tunai berkilau di atas meja, seolah memanggil-manggil para peserta untuk mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya. Belum lagi reward dari pemilik management yang membuat kami makin bersemangat, seolah-olah kami sedang memperebutkan mahkota ratu sejagat raya.

Setelah energi kami terkuras oleh tawa dan teriakan, acara berlanjut ke tepi kolam renang. Daging-daging yang tadi ditusuk rapi, kini mulai dipanggang perlahan di atas bara api, mengeluarkan aroma yang sukses membuat perut keroncongan makin berdendang. Obrolan santai mengalir begitu saja, dari cerita masa kecil hingga mimpi-mimpi besar yang belum sempat dikejar.

Di bawah langit Puncak yang bertabur bintang, kami menyadari bahwa malam itu bukan sekadar malam biasa. Itu adalah malam di mana kami benar-benar menjadi tim, keluarga, sahabat, dan bagian dari cerita hidup satu sama lain.

Pagi menjelang terlalu cepat, seakan semesta enggan memberi kami waktu lebih lama. Udara dingin pagi itu terasa menggigit, tapi tentu saja, bukan tim management namanya kalau pagi-pagi bisa santai. Aku yang berencana menikmati pagi dengan damai, justru diseret masuk kolam renang oleh managerku sendiri.

Air dingin yang menusuk tulang sukses membuatku menjerit lebih kencang dari alarm kebakaran. Tapi di balik jeritan itu, ada tawa bahagia yang tak bisa kututupi. Tawa yang sama keluar dari mulut rekan-rekanku yang ikut tercebur, berenang sembari menyantap sarapan dengan cara paling absurd yang pernah ada.

Tak terasa waktu checkout tiba. Villa yang sehari sebelumnya terasa seperti istana megah, kini perlahan kembali menjadi bangunan sunyi. Kami mengepak barang-barang, menyelipkan kenangan di setiap sudut kamar, lalu berfoto bersama sebagai tanda bahwa kami pernah menaklukkan tempat ini.

Perjalanan pulang, meski dipenuhi kantuk dan lelah, tetap penuh cerita. Kami mampir di salah satu tempat makan di Ciawi, mengisi perut dan menyusun ulang memori-memori yang baru saja tercipta. Namun, tentu saja, drama tak pernah absen.

Sesampainya di Bogor, salah satu talent kami baru sadar bahwa tasnya tertinggal di tempat makan. Panik? Pasti. Tapi teknologi dan jasa pengiriman online menyelamatkan kami, membuat tas itu kembali ke pangkuan pemiliknya dengan selamat.***

Tenri Fahira Larasati Isma-Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here