Bogordaily.net – Sebuah lagu viral TikTok dengan alunan yang easy listening dan alunan synth-electro menarik perhatian Gen Z dengan anggapan musiknya mirip dengan soundtrack “Ultraman”. “Friendly Father.” Katanya. Lagu ini membawa banyak sekali kontroversi yang menimbulkan keresahan warga Korea Utara.
Perhatian tertuju kepada bagaimana diksi yang dipilih dalam lagu ini terkesan membawa sebuah paham yang ditanamkan secara tidak organik. “Ayo nyanyikan Kim Jong-un, pemimpin hebat/mari kita banggakan Kim Jong-un, ayah kita yang ramah,” Seperti itu bunyinya. Pemimpin Hebat citra yang dibentuk Kim Jong-un sebagai seorang pemimpin. Apakah ini diterima dengan baik oleh warga Korea Utara?
Setiap Liriknya Akan Teringat
Lagu ini dikemas dengan konsep yang ceria, mudah diingat dan menggunakan notasi yang sederhana. Kesederhanaan dalam konteks ini mengacu kepada bagaimana sebuah propaganda dapat tersalurkan secara konstan.
Perlakuan khusus untuk lagu ini terkesan berlebihan. Seluruh telinga di Korea Utara dipaksa mendengarkan “Friendly Father” setiap hari, lagu ini akan diputar di tempat-tempat umum seperti sekolah, taman, kantor, dan sebagainya.
Salah satu kasus, adalah ketika ada sebagian orang yang memaksa untuk menari setiap mendengar lagu “Friendly Father” sebagai bentuk penghormatan serta pujian untuk Kim Jong-Un. Hal ini dinilai sangat mengganggu, bukan hanya perihal kuantitas lagu ini diputar.
Budaya Konfusianisme Korea
Krisis kebudayaan Korea akibat lagu ini adalah mulai mengikisnya kebudayaan ”Konfusianisme”. Budaya ini menekankan hubungan yang dinamis serta etika yang ditanamkan mengenai sikap yang diambil ketika perhadapan dengan orang yang lebih tua. Budaya ini menjunjung rasa hormat dan menghargai sesama.
Namun, warga berusia 70-80 an terpaksa memanggil Kim Jong-Un yang berusia 40 tahun sebagai “Ayah yang ramah” sebuah kalimat yang tertera di dalam “Friendly Father.” Dorongan pemerintah terhadap propaganda ini jauh lebih agresif dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya, dimana “Friendly Father” terinspirasi oleh lagu propaganda sebelumnya yang berjudul “Friendly Name” yang memuji ayah Kim Jong-Un dan pendahulunya, Kim Jong Il.
Selain masalah kebudayaan, setelah lagu ini di rilis, banyak kebijakan serta sikap yang terkesan terlalu kebetulan. Kim Jong-Un semakin agresif terkait pembangunan militer yang dilakukan rezimnya ditandai dengan dihancurkannya sebuah bangunan besar, melambangkan harapan untuk reunifikasi dengan Korea Selatan. Kehadiran lagu ini dinilai sebagai sebuah pesan politik untuk menandai momen-momen penting.
Sikap beragam pun muncul dari masyarakat, mayoritas sangat menentang isi dari lagu tersebut. “Friendly Father”, kontra yang ada karena anggapan bahwasannya Kim Jong-Un bukanlah sebuah sosok yang dapat dipercaya bahkan tidak adanya harapan kepada pemimpinnya melainkan hanya sebuah pembiasaan terhadap citranya yang ramah melalui lagu tersebut. Pengaruh lagu ini sangat besar terhadap pola perilaku masyarakat yang seharusnya mendapat perhatian khusus.
Keterlibatan besar pemerintah dalam hal ini dapat ditangani dengan prinsip yang kuat serta pemahaman terhadap unsur kebudayaan serta etika yang sudah seharusnya dipertahankan. Regulasi terkait lagu inipun tidak tertulis secara hukum, lagu ini hanyalah bentuk dari sebuah penghormatan.
Sebagai warga negara yang diharuskan menjalankan kebijakan pemerintah, disamping itu ada hak sebagai warga negara untuk memilih apa yang ingin atau tidak ingin dilakukan. Perihal keberadaan lagu ini, hanya perlu diketahui dan dikaji isi serta tujuan dari lagu tersebut.
“Sikap Kecil, Dapat Mengenali Aktor yang Kerdil.”***
Oleh: Syifa Aulia Andara-Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University