Tuesday, 15 April 2025
HomeTravellingPulang Sejenak: Menjemput Hari Raya di Kota Bandung

Pulang Sejenak: Menjemput Hari Raya di Kota Bandung

Bogordaily.net – Langit siang di Kota Bogor tampak cerah, seolah turut mengiringi langkahku hari itu. Setelah melaksanakan salat Jumat, aku segera menuju Terminal Baranangsiang dengan hati yang berdebar. Kali ini bukan sekadar pulang akhir pekan—aku sedang bersiap untuk mudik Lebaran, menjemput hari raya di Kota Bandung. Di penghujung Ramadan, rasa rindu pada keluarga dan kampung halaman makin tak terbendung.

Terminal terlihat lebih ramai dari biasanya. Ratusan orang dengan tujuan yang beragam, namun memiliki satu benang merah, rindu akan kampung halaman. Aku menaiki bus menuju Bandung dan memilih tempat duduk di dekat jendela—tempat favoritku untuk menikmati perjalanan panjang. Udara dalam bus terasa panas, tapi tak mengurangi semangat para penumpang.

Pedagang naik satu per satu, menawarkan gorengan, permen, tisu, sampai mainan anak-anak. Tak lama, suara gitar pengamen jalanan mengalun, membawakan lagu-lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan suasana mudik—penuh nostalgia, rindu, dan harapan.

Bus perlahan mulai bergerak, melewati deretan toko dan lampu merah, lalu masuk ke gerbang tol. Begitu sampai di jalur bebas hambatan, suasana berubah jadi lebih tenang. Tak ada lagi pedagang atau pengamen, hanya deru mesin dan suara pelan dari penumpang yang saling bercakap.

Aku sempat membuka laptop, berniat menyelesaikan tugas kuliah yang tertunda, tapi pikiranku melayang. Entah karena guncangan bus atau suasana hati yang lebih ingin mengenang, aku malah terhanyut dalam lamunan. Aku pasang earphone dan memutar lagu-lagu dari album dan penyanyi favoritku.

Di luar jendela, matahari mulai bergeser ke barat, menyinari pepohonan dan bangunan yang berlalu satu per satu. Pemandangan itu membuat dadaku terasa hangat—aku sedang dalam perjalanan pulang.

Tak lama, rasa kantuk menyerang. Aku teringat nasihat nenek yang selalu mengingatkan, “Kalau di kendaraan umum jangan tidur, nanti barang kamu ilang.” Tapi hari itu, rasanya tak bisa kucegah, dan aku pun tertidur sambil memeluk tasku erat-erat.

Aku terbangun saat bus mulai memperlambat laju, mendekati pintu keluar tol. Pintu bus terbuka di Terminal Leuwipanjang yang penuh sesak oleh penumpang lain yang juga mudik. Di tengah keramaian, aku melihat sosok yang sangat kurindukan—ayahku, berdiri di dekat motornya dengan senyum khas yang tak pernah berubah.

Perjalanan ke rumah dari terminal terasa lebih cepat dari biasanya. Angin Bandung yang sejuk menyapa wajahku, membawa aroma khas tanah yang lama tak kurasakan. Setibanya di rumah, ibu menyambutku dengan pelukan hangat dan senyuman yang menenangkan. Ada hidangan ringan di meja, kue kering mulai berjajar di toples-toples kaca, dan suara takbir yang pelan mulai terdengar dari kejauhan.

Malam itu, suasana rumah begitu hidup. Kami mengobrol, menyiapkan baju Lebaran, dan bercanda seperti dulu. Tak ada yang lebih menyenangkan dari berkumpul bersama orang-orang yang kita cintai, apalagi di waktu-waktu penuh makna seperti menjelang Idulfitri.

Beberapa hari kemudian, gema takbir menggema lebih keras. Hari Raya pun tiba. Aku dan keluarga salat Id bersama di masjid dekat rumah, lalu bersalaman, saling memaafkan. Tangis haru dan tawa bercampur jadi satu—perasaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kebahagiaan sederhana yang hanya bisa dirasakan saat mudik dan berkumpul bersama keluarga.

Tak terasa libur lebaran telah usai, saatnya kembali ke Bogor. Berat rasanya meninggalkan rumah, tapi setidaknya aku pergi dengan hati yang penuh. Karena aku tahu, tak peduli sejauh apa aku pergi, rumah akan selalu ada—menunggu aku kembali, kapan pun aku rindu. Libur ini menjadi memen saat aku menjemput Hari Raya.***

 

Rifa Diaz Maulana Kosasih, Program Studi Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB University.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here