Bogordaily.net – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan pelemahan tajam. Di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), rupiah kini sudah menembus angka psikologis Rp 17.000 per dolar AS, tepatnya menyentuh Rp 17.059 per dolar.
Ini merupakan pelemahan signifikan jika dibandingkan dengan posisi rupiah pada penutupan perdagangan reguler sebelum libur Lebaran, yakni Kamis 27 Maret 2025, saat rupiah masih berada di level Rp 16.555 per dolar AS dan sempat menguat tipis sebesar 0,12%.
Lonjakan kurs dolar AS terhadap rupiah tak lepas dari memanasnya tensi global, terutama sejak Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif baru yang agresif pada 2 April 2025.
Tarif resiprokal hingga 32% dikenakan terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, sebagai balasan atas defisit dagang AS.
Indonesia, yang selama ini menikmati surplus ekspor ke Negeri Paman Sam, kini harus bersiap menghadapi tantangan baru.
Dengan tarif setinggi itu, barang-barang Indonesia akan jauh lebih mahal di pasar AS, yang berisiko menurunkan daya saing dan memperlemah performa ekspor.
Situasi ini makin pelik karena pada 4 April 2025, China turut mengumumkan langkah retaliasi terhadap kebijakan tarif Trump.
Efek domino langsung terasa di pasar global—saham anjlok, investor panik, dan yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) merosot ke level terendah sejak Oktober 2024.
Bank Indonesia (BI) pun tak tinggal diam. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa bank sentral terus memantau dinamika pasar, baik global maupun domestik, yang muncul usai kebijakan tarif baru ini.
BI menegaskan komitmennya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Sejumlah langkah strategis digulirkan, termasuk intervensi melalui instrumen triple intervention, yakni intervensi langsung di pasar valuta asing (valas) untuk transaksi spot, domestic NDF (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Langkah ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan likuiditas valas bagi perbankan dan pelaku usaha, sekaligus menjaga kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia.
Meski BI telah turun tangan, pelemahan tajam rupiah tetap menjadi sinyal peringatan bahwa tekanan eksternal ke depan masih akan sangat kuat.
Apalagi jika perang dagang yang dipicu AS terus meluas dan menimbulkan efek domino pada perekonomian global.
Pelaku usaha, investor, dan masyarakat pun diimbau untuk tetap waspada terhadap potensi fluktuasi yang tinggi dalam waktu dekat.
Pemerintah juga diharapkan mengambil langkah-langkah antisipatif untuk menjaga daya tahan ekonomi nasional di tengah badai global yang belum mereda.***