Bogordaily.net – Pembunuhan di Goa Keramat Cimerak Tahun 2000 meledak. Diceritakan dalam sebuah podcast.
Seorang adik. Seorang kakak. Duduk bersebelahan. Di depan Denny Sumargo.
Keduanya tidak sedang tertawa. Tidak juga bercerita soal kisah cinta masa lalu.
Tapi membawa luka—yang sudah 24 tahun mereka simpan. Luka yang baru-baru ini dibuka di podcast milik mantan pebasket itu: Curhat Bang Denny Sumargo.
Namanya Raena dan Reni. Mereka bukan artis. Tapi kisah mereka lebih dramatis dari sinetron mana pun.
Keduanya bercerita tentang pembunuhan di Goa Keramat Cimerak pada tahun 2000.
Ayah mereka, Haji Sopandi, dibunuh. Di Goa Kramat Cimerak. Ciamis. Jawa Barat. Tahun 2000.
“Delapan orang, Bang,” kata Reni. Dengan suara pelan. Tapi tetap terdengar tajam.
Delapan orang itu — salah satunya disebut punya inisial “A”— membunuh ayah mereka secara sadis.
Jenazah ditemukan setelah menghilang sepuluh hari. Bersama uang Rp 130 juta yang masih utuh.
Raena masih bayi ketika ayahnya dibunuh. Ia baru tahu soal kematian ayah kandungnya saat menginjak usia 13. Saat ia pertama kali haid.
“Kamu sudah dewasa, sudah waktunya tahu siapa papa kamu yang sebenarnya,” begitu kalimat pembuka dari sang tante.
Nama Yusuf – yang ia kira ayah kandung selama ini – ternyata adalah pamannya. Sang pengganti sosok ayah yang hilang.
Raena hanya bisa diam. Di podcast itu, ia bercerita seperti sedang membongkar gudang tua dalam pikirannya. Yang sudah lama dikunci. Sudah berdebu.
Kakaknya, Reni, yang lebih dewasa waktu itu, ingat lebih banyak. Tapi tetap tak tahu: dari delapan orang itu, siapa yang benar-benar mengeksekusi ayah mereka?
“Tujuh orang pelaksana. Satu orang dalang. Si A itu,” ujar Reni.
Denny Sumargo tidak banyak bicara dalam episode itu. Ia tahu, suara-suara luka seperti ini tak butuh terlalu banyak pertanyaan. Cukup didengar. Sampai habis.
Dan yang menonton—mendengar—jadi seperti ikut duduk bersama mereka. Menyaksikan bukan cuma cerita pembunuhan. Tapi juga cerita tentang kehilangan.
Dan diam-diam, tentang kekuatan dua anak perempuan yang dibesarkan oleh luka—tapi tumbuh dengan kepala tegak.
Kisah itu tidak berakhir di podcast. Mungkin baru saja dimulai.***