Thursday, 17 April 2025
HomeOpiniWanita Paruh Baya Menangis Histeris, Rumahnya Dirobohkai Padahal Punya SHM

Wanita Paruh Baya Menangis Histeris, Rumahnya Dirobohkai Padahal Punya SHM

Bogordaily.net – Jadi, beberapa hari ini ramai banget di media sosial soal video seorang wanita paruh baya yang nangis histeris karena rumahnya dirobohkan paksa. Yang bikin banyak orang geram, ternyata dia punya sertifikat hak milik (SHM) atas tanah dan rumahnya. Jadi, gimana ceritanya orang yang punya bukti kepemilikan sah bisa digusur begitu saja? Ini nggak cuma soal hukum, tapi juga soal keadilan dan perlindungan hak-hak kita sebagai warga negara.

Sebenernya, masalah kayak gini nggak baru di Indonesia. Konflik tanah udah jadi masalah dari dulu, dari jaman kolonial sampe sekarang. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) aja bilang, tahun 2022 ada lebih dari 1.300 kasus konflik tanah di Indonesia. Luas areanya? Gila, sampe 2,5 juta hektar lebih! Ini nggak cuma soal tanah adat atau lahan pertanian, tapi juga tanah pribadi kayak kasus wanita ini. Nah, yang bikin banyak orang nggak habis pikir, kok bisa sih orang yang punya SHM masih kena gusur?

SHM kan mestinya jadi bukti sah bahwa tanah itu milik dia, dilindungi sama negara. Tapi kenyataannya, punya SHM aja nggak cukup buat jaminin keamanan. Kenapa? Pertama, sering banget ada tumpang tindih kebijakan. Misalnya, tanah yang udah punya SHM tiba-tiba aja diklaim buat proyek strategis nasional kayak pembangunan jalan tol atau kawasan industri. Alasannya sih buat kepentingan umum, tapi kok rasanya nggak adil ya buat yang punya tanah?

Kedua, proses hukum di Indonesia itu ribet, mahal, dan lama. Buat orang biasa kayak kita-kecik ini, berurusan sama hukum itu kayak masuk labirin. Belum lagi kalo lawannya perusahaan besar atau pemerintah. Banyak orang akhirnya nggak sanggup buat berjuang dan memilih nyerah aja. Atau kalo dikasih kompensasi, jumlahnya nggak sebanding sama nilai tanah atau rumah yang diambil.

Yang paling bikin sedih, proses penggusuran sering banget dilakukan dengan cara yang nggak manusiawi. Kayak kasus wanita ini, rumahnya dirobohkan paksa sampe dia nangis histeris. Itu bukan hanya soal kehilangan materi, tapi juga kehilangan rasa aman dan kepercayaan sama negara. Gimana nggak trauma? Rumah itu kan bukan cuma bangunan fisik, tapi juga tempat kita bernaung, berkumpul sama keluarga, dan menyimpan kenangan seumur hidup.

Dampaknya nggak cuma buat si korban, tapi juga buat masyarakat luas. Kasus kayak gini bikin kita semua ngerasa nggak aman. Kalo aja orang yang punya SHM aja bisa digusur, gimana nasib kita yang nggak punya bukti kepemilikan sekuat itu? Ini bikin kepercayaan masyarakat sama sistem hukum dan pemerintah jadi turun. Lama-lama, kalo dibiarin, bisa jadi bom waktu yang suatu hari nanti meledak.

Nah, apa yang harus dilakukan? Pertama, pemerintah harus evaluasi ulang kebijakan-kebijakan yang berhubungan sama tanah dan pembangunan. Jangan sampe kepentingan umum jadi alasan buat ngerampas hak-hak warga. Proses pembebasan lahan harus transparan, adil, dan melibatkan partisipasi masyarakat. Kompensasi juga harus sesuai sama nilai properti yang diambil, jangan asal kasih duit receh.

Kedua, penegakan hukum harus diperbaiki. SHM sebagai bukti kepemilikan sah harus dihormati dan dilindungi. Proses hukum harus bisa diakses sama semua orang, nggak peduli dia orang kecil atau orang besar. Aparat penegak hukum juga harus tegas sama praktik-praktik intimidasi atau kekerasan dalam proses penggusuran. Jangan sampe ada lagi cerita preman atau aparat yang nggak manusiawi kayak kasus ini.

Ketiga, pemerintah harus lebih gencar ngasih sosialisasi dan edukasi ke masyarakat soal hak-hak agraria. Banyak orang nggak ngerti prosedur hukum atau hak-hak mereka kalo berhadapan sama konflik tanah. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat bisa lebih siap dan nggak gampang ditindas.

Selain itu, kita sebagai masyarakat juga harus saling dukung. Kasus kayak ini harus jadi perhatian bersama. Media sosial bisa jadi alat buat nyuarakan ketidakadilan, tapi kita juga harus bijak dalam nyebarin informasi. Jangan sampe malah jadi provokasi atau bikin masalah tambahan.

Intinya, kasus wanita paruh baya ini harus jadi pelajaran buat kita semua. Jangan sampe kita ngerasa aman hanya karena punya sertifikat atau dokumen resmi. Masalah agraria di Indonesia itu kompleks dan butuh solusi yang serius dari semua pihak. Kasus wanita paruh baya ini menjadi pelajaran berharga.

Pemerintah, masyarakat, dan semua elemen bangsa harus kerja sama buat ngejamin bahwa setiap warga negara punya hak yang sama buat hidup aman dan sejahtera di tanah airnya sendiri. Jangan sampe ada lagi cerita orang nangis histeris karena rumahnya dirobohkan paksa. Itu sih nggak banget.***

Tenri Fahira Larasati Isma Mahasiswa Komunikasi dan Digital Media Sekolah Vokasi IPB

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here