Bogordaily.net – Pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menembus angka Rp16.000. Ini bukan sekadar kabar ekonomi yang melintas di linimasa. Ini adalah peringatan. Tanda bahwa kondisi ekonomi global sedang rapuh.
Di Amerika, Donald Trump kembali mencuat dengan wacana proteksionisme yang dulu sempat mengguncang pasar dunia. Sementara di dalam negeri, dampaknya mulai terasa: harga-harga naik, biaya hidup pun ikut melonjak.
Dari mahasiswa hingga pelaku UMKM, semua merasakan imbasnya. Namun yang membuat menggelengkan kepala, gaya hidup kita tetap sama: YOLO—You Only Live Once—seolah hidup ini hanya tentang menikmati saat ini tanpa mempertimbangkan masa depan.
Saatnya Meninggalkan YOLO
YOLO sempat menjadi semacam “pedoman hidup” generasi muda. Bepergian ke luar negeri tanpa perencanaan matang, membeli barang bermerek demi unggahan media sosial, berkumpul setiap malam demi eksistensi. Semua dianggap wajar karena katanya, “hidup hanya sekali.”
Namun, kenyataan kini semakin keras. Tagihan bertambah panjang, dompet makin tipis, dan kepala makin penuh. Prinsip YOLO perlahan terasa tidak relevan.
Kita kelelahan secara finansial, hampa secara emosional. Di tengah keresahan itu, lahir satu sudut pandang baru: YONO—You Only Need One.
YONO: Hidup Tak Perlu Banyak, Cukup yang Esensial
YONO bukan sekadar akronim. Ia merupakan cara pandang. Bahwa untuk merasa cukup, kita tidak memerlukan segalanya, kita hanya membutuhkan yang benar-benar penting.
Sepasang sepatu yang tahan lama lebih berharga daripada lima pasang yang hanya demi konten. Satu hubungan yang sehat lebih bermakna daripada menjalin banyak relasi demi pengakuan sosial.
YONO mengajak kita untuk hidup lebih tenang. Memilih mutu, bukan jumlah. Mengurangi dorongan berbelanja hanya karena potongan harga.
Dan mulai memahami bahwa “cukup” bukanlah kekurangan, melainkan bentuk kekayaan yang sering diabaikan.
Hidup Cermat di Tengah Dunia yang Tidak Menentu
Kita mungkin tidak bisa mengendalikan nilai tukar atau kebijakan luar negeri negara adikuasa.
Namun, kita masih dapat mengendalikan satu hal: gaya hidup kita sendiri.
YONO bukan sekadar ajakan menabung atau berinvestasi. Ini adalah soal pola pikir.
Bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari kemewahan, dan hidup sederhana tidak berarti hidup seadanya.
Bukan Soal Pelit, Tapi Soal Prioritas
YONO tidak mendorong kita untuk menjadi pelit, tetapi untuk menjadi bijak.
Ia mengajak kita sadar bahwa gengsi bukanlah investasi. Bahwa mengikuti tren tanpa arah justru membuat kita kehilangan jati diri.
Dan bahwa mereka yang bertahan bukanlah yang paling kaya, melainkan yang paling siap menghadapi krisis dalam ekonomi global.
Di tengah arus digital yang menjunjung tinggi pencapaian dan kemewahan, YONO hadir sebagai penyeimbang.
Ia memberikan ruang untuk jeda, untuk berpikir kembali: apakah semua yang kita kejar benar-benar kita perlukan?
Memang, kita hanya hidup sekali. Namun itu bukan alasan untuk menghabiskannya secara serampangan. Dunia sedang tidak baik-baik saja, dan ini saatnya kita berhenti hidup seolah semuanya akan terus berjalan mulus.
YONO adalah ajakan untuk hidup lebih tenang, lebih sadar, dan lebih siap menghadapi masa depan. Karena pada akhirnya, yang bertahan bukanlah yang paling mencolok, tetapi yang paling tahu arah dan tahu cukup.***
Muhammad Robi Athallah
Mahasiswa Komunikasi Digital dan Media SV IPB University