Bogordaily.net – Di tengah dinamika nasional pasca-Pemilu 2024, publik merindukan sosok yang tak sekadar memiliki jabatan, tetapi juga menyandang kebijaksanaan.
Sosok yang tidak hanya lihai dalam berpolitik, tetapi juga teguh dalam prinsip dan melayani bangsa dengan napas panjang.
Dalam lanskap tersebut, nama Prof. Dr. Muhadjir Effendy hadir sebagai contoh nyata dari seorang negarawan, tenang, jernih, dan setia pada Merah Putih.
Kader Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor Restu Kurniawan Wibawa mengatakan bahwa, penunjukan beliau sebagai Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia (BSI) pada awal Mei 2025 bukan hanya keputusan strategis di sektor keuangan syariah, melainkan juga bentuk pengakuan terhadap integritas dan dedikasi panjang beliau dalam mengabdi kepada bangsa dan umat.
Sebagaimana dalam pengabdiannya yang terdahulu, Prof. Muhadjir menerima amanah ini dengan kepala tegak dan semangat pengabdian yang tulus.
Kiprah di Pendidikan: Menata Fondasi Bangsa
Sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (2016–2019), Prof. Muhadjir tidak hanya mengelola administrasi pendidikan, tetapi membangun ulang fondasi karakter bangsa.
Ia menggagas Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) untuk menjawab persoalan mendasar: lemahnya etika publik dan karakter generasi muda.
Tak hanya itu, ia memperkenalkan sistem zonasi sekolah guna menghapus diskriminasi pendidikan dan memeratakan kualitas di seluruh daerah. Kebijakan ini memang menuai pro dan kontra, tetapi dibaliknya terdapat komitmen besar untuk menghadirkan keadilan pendidikan dari Sabang sampai Merauke.
Ia juga berdiri bersama para guru, terutama guru honorer, memperjuangkan hak dan kesejahteraan mereka sebagai pilar utama pendidikan. Di tangan Prof. Muhadjir, pendidikan tidak hanya soal kurikulum, tetapi soal misi peradaban.
Menko PMK: Turun ke Akar Masalah
Sejak menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) pada 2019, Prof. Muhadjir dikenal sebagai pemimpin yang tidak tinggal di menara gading kekuasaan. Ia turun ke lapangan, menyambangi desa-desa, berdialog dengan rakyat miskin, dan menginspeksi langsung fasilitas layanan dasar.
Selama pandemi COVID-19, ia berperan penting dalam memastikan penyaluran bantuan sosial berjalan baik. Program seperti PKH, BLT, hingga Kartu Prakerja berhasil dijalankan secara masif di bawah koordinasinya.
Ia juga memperkuat sinergi antarkementerian untuk mengakselerasi penanggulangan kemiskinan ekstrem bukan sekadar angka, tetapi menyentuh kehidupan manusia.
Di hadapan para menteri, ia menjadi perekat. Di hadapan rakyat, ia menjadi juru bicara yang tenang dan meyakinkan. Gaya kepemimpinan Prof. Muhadjir yang tidak reaktif namun penuh tindakan konkret menjadi pembeda dalam kabinet.
BSI dan Misi Keumatan
Kini, saat negara mempercayakan beliau sebagai Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia, kita melihat kesinambungan dari pengabdian itu. BSI bukan bank biasa. Ia adalah simbol dari harapan umat akan hadirnya sistem keuangan yang tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga nilai dan keberkahan.
Prof. Muhadjir bukan orang asing di dunia perbankan syariah. Dalam dirinya hidup semangat ekonomi umat yang berpijak pada keadilan dan keberpihakan.
Dengan bekal pengalaman mengelola institusi besar, mulai dari Universitas Muhammadiyah Malang hingga kementerian, serta kepekaannya terhadap realitas sosial, beliau diyakini dapat mengarahkan BSI sebagai institusi keuangan yang membawa kemaslahatan.
Ia akan memastikan bahwa BSI tidak kehilangan ruh perjuangannya. Bahwa bank syariah tetap harus hadir di tengah rakyat kecil, di pasar-pasar tradisional, di kantong-kantong pesantren, dan di pelosok desa yang jauh dari jangkauan sistem keuangan konvensional.
Tradisi Muhammadiyah dan Etos Pelayanan
Sebagai kader Muhammadiyah, Prof. Muhadjir dibesarkan dalam tradisi pelayanan dan independensi. Ia lama menjabat Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan membawa nilai-nilai itu ke ruang-ruang birokrasi nasional. Di Muhammadiyah, ia belajar bahwa jabatan bukanlah alat untuk menguasai, tetapi untuk mempermudah pengabdian.
Ia tidak membawa nama Muhammadiyah untuk mencari posisi, tapi posisi yang datang karena integritas dan rekam jejaknya sebagai pelayan umat. Ketika banyak yang mencari kekuasaan lewat politik, Prof. Muhadjir menunjukkan bahwa kekuasaan yang bermanfaat justru lahir dari kepercayaan publik yang dibangun pelan-pelan melalui kerja nyata.
Keteladanan yang Langka
Di tengah polarisasi politik dan semarak pragmatisme, sosok seperti Prof. Muhadjir menjadi oase. Ia tidak ramai di media sosial, tapi kerja-kerjanya terasa. Ia tidak gemar retorika, tapi narasinya menyentuh. Ia tidak bicara tentang nasionalisme, tapi hidup dalam kesetiaan pada bangsa dan negara.
Inilah napas panjang seorang negarawan. Ia tidak terburu-buru mencari panggung, karena ia tahu pengabdian sejati tidak butuh sorotan. Ia tetap berdiri di tengah ketika banyak memilih pinggir, menjadi jembatan ketika banyak membangun tembok. ***
Albin Pandita