Wednesday, 21 May 2025
HomeOpiniMendidik dengan Percakapan

Mendidik dengan Percakapan

Bogordaily.net sebagai sebuah proses membentuk manusia bermutu telah mengalami berbagai pase sejarah. Dari mulai Sang Pencipta yang mengajarkan makhluk kesayangannya yang bernama Adam, sampai di zaman sekolah formal menjadi lambang utama kegiatan .

Proses transfer ilmu berubah dari waktu ke waktu. Namun pelakunya tetap sama yaitu guru sebagai pemilik ilmu dan murid yang sedang diajarkan ilmu. Guru mengajar dan murid belajar.

Model pembelajaran pun bermunculan. Dari yang hanya guru yang bicara dengan murid yang siap mendengar atau lebih keren disebut sebagai Teacher Centered Learning sampai guru yang memberikan kebebasan kepada murid, untuk berlajar dari berbagai sumber di kelas atau lebih familiar dengan sebutan Student Centered Learning.

Apabila di model Guru Sebagai Pusat Pembelajaran murid hanya mendengar, membaca, menulis dan sesekali menjawab pertanyaan, dalam model Murid Sebagai Pusat Pembelajaran, murid dituntut untuk lebih aktif dalam diskusi kelas, praktek kemampuan dan bahkan saling mengajar dengan murid yang lain dalam kelas.

Kedua model ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Model pertama terlihat lebih terarah karena ada seorang guru sebagai actor utama yang mengendalikan semua kegiatan dalam kelas.

Tapi kelas seperti itu terlihat membosankan karena murid dianggap sebagai gelas kosong yang hanya perlu diam untuk diisi air ilmu dari teko guru.

Model kedua terlihat lebih aktif, semua murid terlibat dalam kegiatan di kelas sehingga suasana menjadi lebih hidup.

Namun demikian ada kekurangan yang sangat nyata dalam model ini yaitu standar kemampuan murid yang berbeda tentu akan mengakibatkan transfer ilmu yang tidak terstandar.

Kemampuan murid dalam menjelaskan pelajaran perlu diperhatikan betul. Selain itu waktu yang dibutuhkan untuk model kedua juga lebih banyak.

Paulo Freire, penulis buku Pedagogy of the Oppressed yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kaum Tertindas mengajukan satu model yang mengakomodir kesetaraan peran antara guru sebagai pengajar dan murid sebagai pembelajar.

Model yang disarankan Freire adalah model dialog atau percakapan. Menurut Freire dialog adalah tanda cinta.

Tidak mungkin dua orang bisa berdialog tanpa disertai dengan rasa cinta. Satu lagi menurut Freire sebuah dialog tidak mungkin terjadi tanpa didasari oleh kerendahan hati.

Kesombongan seringkali membuat manusia selalu ingin didengar dan tidak mau mendengar orang lain.

Dialog adalah jembatan menuju kesadaran kritis. Selama proses dialog manusia belajar untuk mendengar lebih tajam dan memahami lebih dalam sehingga akalnya berfungsi secara penuh.

Respon terhadap satu pertanyaan atau pernyataan membawa manusia ke dalam realitas yang lebih jernih. Dia mendengar sambil melihat dan berusaha memahami hakikat.

Menurut Freire proses pembelajaran yang mencerminkan sejati adalah ketika ada hubungan setara antara guru dan murid. Keduanya saling belajar dan mengajar selama di ruang kelas.

Pendekatan ini menolak model gaya bank. Model yang disebut Freire sebagai model Kaum Tertindas di mana guru hanya menyimpan informasi di otak murid tanpa melibatkan mereka dalam proses berpikir kritis.

Model yang disampaikan Freire sangat sejalan dengan kisah hikmah yang ditulis Al-Qur’an ribuan tahun lalu. Saat seorang ayah bernama Ibrahim mengajak putranya yang masih berusia 9 atau 10 tahun untuk berdialog menyangkut sebuah perkara yang amat penting.

“Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”
(QS. As-Saffat: 102)
Kita sudah sangat mengenal, Ibrahim as adalah seorang Nabi.

Beliau mendapat julukan sebagai kekasih Allah. Sebagai seorang Nabi tentu beliau memiliki otoritas yang sangat tinggi. Namun demikian beliau tidak egois.

Ibrahim as masih mau mengajak putranya Ismail untuk berdialog. Ismail meskipun masih seorang anak remaja diajak untuk ikut serta dalam mengambil Keputusan yang menyangkut hidupnya. Ismail tidak dipaksa apalagi ditakuti dengan dogma.

Dia diajak untuk terlibat secara sadar dalam pengambilan keputusan. Sehingga pilihan yang didapatkan adalah hasil kesadaran.

Pendidikan berbasis percakapan seperti teori Freire dan dicontohkan langsung oleh Nabi Ibrahim as telah terbukti berhasil mendidik anak manusia.

Ismail adalah contoh nyata seorang anak yang dididik dengan dialog. Dia tumbuh menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Karena dia sadar bahwa ayahnya sebagai seorang guru melibatkannya dalam pengambilan keputusan.

Dia dalam posisi sebagai anak dianggap sebagai seorang manusia yang memiliki hak suara. Dia merasa dimanusiakan.

Semoga kita bisa mencontoh Nabi Ibrahim dalam mendidik putranya Ismail. Mendidik dengan percakapan. Sehingga kita bisa mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia.

Pendidikan yang dilandasi kata penuh cinta. Pendidikan yang menganggap semua manusia setara. Pendidikan yang mampu membebaskan kaum tertindas.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here