Bogordaily.net – Sidang perkara antara mantan karyawan PT. Sayap Mas Utama, berinisial F, dengan pihak perusahaan kembali bergulir. Kuasa hukum F dari Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama (NU) Cipayung, Rosdiono Saka, SE., SH., MH., C.Med., C.LL., mengungkap sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan terhadap kliennya. Karena itu pihaknya melayangkan gugatan Perdata kepada PT Sayap Mas Utama, yang merupakan produsen dengan merek dagang WINGS.
Menurut Rosdiono, pihaknya tengah menunggu legal standing kuasa hukum PT Sayap Mas yang akan dibuktikan melalui akta kuasa dalam perkara perdata di PN Jaktim dalam perkara No 199/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Tim.
Sementara itu, untuk PHI (Penyelesaian Hubungan Industrial) dalam mediasi Tripartit antara kedua belah pihak, dijadwalkan akan berlangsung pada 27 Mei 2025.
“Kami harap mediasi tripartit ini menjadi jalan tengah penyelesaian. Dengan mediasi, kita bisa melakukan negosiasi penyelesaian yang adil,” ujar Rosdiono pada Selasa 20 Mei 2025.
Namun, perkara ini tak berhenti di meja mediasi tripartit dalam PHI. F juga berharap mediasi tripartit dapat mencapai kesepakatan bersama. Namun jika tidak mencapai kesepakatan, maka selanjutnya melayangkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), terkait hak-hak yang sama sekali belum diberikan. F mengaku, selama bekerja kerap mendapatkan intimidasi. Ia juga tidak menerima pesangon setelah mengabdi selama 10 tahun, sejak 2014.
Rosdiono menyebut, permasalahan bermula pada 11 Desember 2024, kliennya dipanggil dan diperiksa oleh pihak perusahaan.
Dalam pertemuan itu, F dihadapkan dengan sekitar sembilan perwakilan perusahaan, termasuk satu anggota kepolisian, serta dipaksa menandatangani tiga dokumen penting, yaitu:
1. Surat Pernyataan bahwa F telah menyalahgunakan jabatan dan dana perusahaan.
2. Surat Pengunduran Diri atas kemauan sendiri;
3. Surat Perjanjian Tidak Saling Menuntut, yang menyatakan kedua belah pihak sepakat menyelesaikan masalah tanpa menempuh jalur hukum.
Ketiga dokumen tersebut, lanjut Rosdiono, didiktekan dan dipaksakan kepada kliennya dalam kondisi tertekan, yang secara hukum dapat dikategorikan sebagai Misbruik Van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan.
“Klien kami menandatangani dokumen dalam kondisi di bawah tekanan psikologis karena diancam,” tegasnya.
Yang mengejutkan, keesokan harinya, PT Sayap Mas menerbitkan Surat Keterangan Audit berdasarkan ketiga surat yang ditandatangani F.
Dokumen tersebut kemudian digunakan sebagai dasar laporan pidana ke Polsek Cakung dengan tuduhan penggelapan jabatan sesuai Pasal 374 KUHP Jo. Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP.
Rosdiono menilai langkah tersebut sebagai manipulasi dan bentuk itikad buruk perusahaan.
“Ini adalah bentuk jelas dari penyalahgunaan keadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321, 1323, 1324, dan 1328 KUHPerdata. Klien kami ditipu dan ditekan untuk mengakui sesuatu yang tidak pernah dilakukannya,” jelasnya.
Dalam gugatan perdata yang dilayangkan, F menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp80 juta karena kehilangan penghasilan selama empat bulan terakhir.
Ia juga menuntut ganti rugi immateriil senilai Rp1 miliar atas kerugian psikologis, kehilangan waktu, dan tekanan yang dialaminya.
Selain itu, Penggugat juga meminta majelis hakim menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000 per hari jika perusahaan tidak memenuhi putusan pengadilan secara sukarela.
“Gugatan ini didasarkan pada bukti-bukti otentik dan sah. Kami optimis keadilan akan berpihak pada kebenaran,” tutup Rosdiono.
Sidang selanjutnya akan digelar dalam agenda mediasi pada 27 Mei 2025. Perkara ini menjadi sorotan karena menyangkut hak-hak dasar pekerja yang patut dilindungi oleh hukum.
Sebagai informasi, Seorang mantan karyawan PT Sayap Mas Utama/Wings, berinisial F, mengaku menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan secara tidak manusiawi oleh perusahaan tempatnya bekerja.
F bahkan mengungkapkan bahwa dirinya dipaksa mengundurkan diri tanpa menerima hak-haknya, termasuk pesangon.
Dalam pengakuannya, F menceritakan bahwa pada 11 Desember 2024 ia bersama lima karyawan lainnya (MN masa kerja 30 tahun, AK masa kerja 7 tahun, FFF masa kerja 3 tahun, MFA masa kerja 1 tahun 8 bulan, dan DP masa kerja 1,5 tahun) diundang untuk mengikuti rapat dengan direksi.
“Kami senang awalnya, karena selama bekerja belum pernah ada kesempatan untuk meeting langsung dengan direksi,” ujar F.
Namun, situasi berubah drastis saat pukul 09.00 WIB, enam karyawan tersebut tiba-tiba digerebek oleh pihak perusahaan yang didampingi oleh anggota kepolisian.
Mereka kemudian dibawa ke 6 ruangan terpisah dan mendapat tekanan untuk mengakui hal-hal yang menurut F tidak sesuai kenyataan. (Ruangan saya kurang lebih ada 9 orang dan ruangan tim yang lain antara 2-3 orang /ruangan)
“Saya diintimidasi untuk mengakui bahwa saya merugikan perusahaan dengan nominal antara Rp600 juta hingga Rp1,5 miliar. Saya juga diancam akan dipenjara jika tidak mau mengakui,” ujarnya.
Menurut F, saat proses intimidasi berlangsung, terdapat anggota polisi yang berjaga di luar ruangan.
Dalam kondisi tertekan, dan dengan kondisi kesehatan yang tidak baik karena menderita hipertensi, ia akhirnya menuruti permintaan perusahaan untuk menandatangani tiga surat.
Pertama surat pengakuan merugikan perusahaan, kedua surat pengunduran diri, dan ketiga surat perdamaian untuk tidak saling menggugat secara pidana maupun perdata.
Selain hak pesangon yang tidak diberikan, F juga mengaku mobil operasional yang merupakan program kepemilikan mobil (COP) yang sudah dalam proses penebusan untuk dibalik namakan pribadi pada bulan itu ikut diambil.
Ia dijanjikan akan dihubungi oleh perusahaan untuk proses pengembalian barang-barang, namun hingga saat ini tidak ada satupun konfirmasi yang ia terima.
Alih-alih mendapat kepastian, pada 6 Januari 2025, F justru menerima surat undangan klarifikasi dari Polsek Cakung yang diantar langsung ke rumahnya di Sukabumi.
“Padahal saya ingin menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Kalau memang saya dianggap merugikan perusahaan, mari kita lakukan audit independen untuk membuktikan. Saya siap bertanggung jawab jika terbukti, tapi saya juga ingin hak saya sebagai karyawan dipenuhi,” tegas F.***