Bogordaily.net – Ancelotti dan Modric pamit dari dan Real Madrid.
Akhirnya. Kata itu seperti menggantung di langit Santiago Bernabeu Sabtu malam kemarin. Tidak meledak. Tidak juga sunyi.
Tapi terasa berat. Seberat langkah kaki yang meninggalkan rumah—rumah yang telah ditinggali bertahun-tahun.
Carlo Ancelotti. Luka Modric. Dua nama yang begitu identik dengan Real Madrid. Dua nama yang Sabtu malam itu, berpamitan.
Laga terakhir Real Madrid di LaLiga musim 2024/2025 mungkin tak akan dikenang karena skor 2-0 atas Real Sociedad.
Meskipun dua gol Kylian Mbappé itu indah, tapi yang lebih abadi adalah airmata.
Tangis yang tak tersorot kamera. Tatapan kosong ke langit stadion. Pelukan panjang yang tak ingin dilepaskan.
Ancelotti—Don Carlo—telah menghabiskan empat tahun terakhir di klub ini. Ia datang sebagai arsitek. Tapi lebih dari itu, ia menjadi bapak.
Ia merancang permainan, tapi juga merawat mimpi. Sabtu malam itu, ia mengucap pidato perpisahan di depan publik Madrid. Suaranya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Bahkan untuk pelatih seberpengalaman dia, berpamitan itu tidak mudah.
“Selamat siang. Anda tidak perlu berpikir bahwa berbicara hari ini itu mudah,” ucapnya. Hening. Stadion terdiam. “Merupakan suatu kehormatan dan kesenangan untuk melatih tim ini.”
Tak semua pelatih bisa pamit dengan martabat penuh. Tapi Ancelotti bisa. Ia pergi bukan karena diusir hasil buruk. Ia pergi karena dipanggil mimpi yang lebih tinggi: melatih Brasil. Negara yang mencintai sepak bola seperti Madrid mencintai dirinya.
Lalu Luka Modric. Gelandang mungil dari Kroasia itu, telah menjadi jantung permainan Madrid selama 13 tahun. Ia tidak pernah banyak bicara. Tapi setiap sentuhan kakinya adalah puisi. Sabtu malam itu, di menit ke-87, ia ditarik keluar.
Stadion berdiri. Pemain kedua tim membentuk barisan penghormatan. Modric berjalan melewatinya dengan kepala tertunduk. Tangannya menepuk dada. Toni Kroos—sahabat sejatinya—menyambut di pinggir lapangan. Pelukan yang panjang. Pelukan yang menyimpan kenangan.
Lebih dari 25 gelar telah ia sumbangkan. Empat kali juara LaLiga. Lima kali juara Liga Champions. Dan ratusan malam tak tidur demi satu umpan sempurna.
Modric pergi karena kontraknya tak diperpanjang. Tapi tidak ada kepahitan. Tidak ada marah. Hanya kesunyian yang manis. Seperti musik latar di akhir film yang bagus.
Madrid menutup musim di posisi kedua. Barcelona juara. Tapi malam itu bukan tentang klasemen. Malam itu tentang perpisahan. Tentang mengucap terima kasih. Tentang menerima bahwa setiap cerita, seindah apapun, pada akhirnya harus ditutup.
Dan Real Madrid—sekali lagi—melahirkan dua legenda yang akan selalu dikenang. Bukan hanya karena apa yang mereka menangkan.
Tapi karena cara mereka pergi. Dengan kepala tegak. Dengan hati yang penuh. Dan dengan cinta yang tetap tinggal.
Momen Haru Ancelotti dan Modric yang pamit dari Real Madrid itu pasti akan jadi sejarahnya sendiri.**