Bogordaily.net – Pendidikan sejatinya bukan hanya soal menyampaikan pengetahuan dari guru ke murid. Ia adalah denyut nadi peradaban, yang menentukan arah bangsa dalam menapaki masa depan. Namun di Indonesia, dunia pendidikan seakan terus berjalan dalam lingkaran. Kita seolah bergerak, tetapi tak kunjung sampai pada tujuan yang diharapkan: pendidikan yang merata, berkualitas, dan relevan dengan zaman.
Salah satu titik lemah terbesar kita adalah kegemaran berganti kurikulum setiap kali kursi Menteri Pendidikan berpindah tangan. Fenomena ini sudah berlangsung selama puluhan tahun, dan kini, pada tahun 2025, pola tersebut kembali terulang. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah sekarang Abdul Mu’ti belum lama ini kembali melempar gagasan tentang “reformasi besar” kurikulum. Alih-alih memperkuat pondasi Kurikulum yang tengah berjalan dan belum selesai dievaluasi, ia justru merancang perubahan signifikan yang belum jelas arah dan basis akademiknya.
Pendidikan seharusnya menjadi pondasi masa depan bangsa, bukan panggung percobaan kebijakan. Namun, di Indonesia, setiap pergantian Menteri Pendidikan hampir selalu disertai dengan perubahan kurikulum. Siklus ini terus berulang, meninggalkan kebingungan di tingkat sekolah dan ketidakpastian di tengah para guru.
Data dari PISA 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam capaian literasi, numerasi, dan sains. Siswa Indonesia menempati posisi ke-65 dari 81 negara dalam aspek membaca. Ini seharusnya menjadi alarm bahwa perubahan kurikulum selama ini belum menyentuh akar persoalan pendidikan kita: kualitas guru, pemerataan akses, dan relevansi pembelajaran.
Kebijakan-kebijakan yang sempat ditiadakan kini kembali dihidupkan. Sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA yang sempat dihapus oleh Kurikulum Merdeka kini diberlakukan kembali. Ujian nasional juga muncul kembali dengan nama baru: Tes Kemampuan Akademik (TKA). Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan kita tidak memiliki arah jangka panjang yang konsisten.
Yang paling terdampak dari kebijakan zig-zag ini adalah para guru. Banyak dari mereka kini harus kembali menyusun ulang perangkat ajar, RPP, dan sistem asesmen. Mereka baru saja mulai menyesuaikan diri dengan Kurikulum Merdeka, dan kini harus beradaptasi lagi dengan kebijakan baru.
Laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tahun 2024 menunjukkan bahwa 62% guru merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan kurikulum, dan hanya 28% yang memahami arah kebijakan pendidikan nasional secara menyeluruh. Ini bukti nyata bahwa sistem pendidikan kita masih sangat elitis dan top-down.
Pendidikan Bukan Alat Politik
Pendidikan tidak bisa terus-menerus dijadikan ajang pencitraan pejabat. Setiap menteri datang dengan konsep dan istilah baru, seakan pendidikan adalah proyek pribadi yang harus diberi label. Padahal yang dibutuhkan dunia pendidikan adalah keberlanjutan dan keteguhan arah. Menteri Pendidikan seharusnya menjadi pengawal kesinambungan, bukan pembuat kejut kebijakan.
Jika ingin perubahan, lakukan dengan pendekatan bertahap, evaluatif, dan berbasis bukti. Libatkan guru yang mengajar langsung dalam ruang kelas, kepala sekolah, akademisi, serta komunitas pendidikan dalam setiap tahapan pengambilan keputusan. Pendidikan tidak akan maju jika terus dijalankan secara eksklusif dari pusat kekuasaan.
Sudah saatnya kita menata ulang pola pikir kita terhadap pendidikan. Kurikulum tidak seharusnya berganti hanya karena berganti menteri. Pendidikan harus dirancang lintas pemerintahan, dengan visi jangka panjang yang dijaga bersama. Jika kita sungguh-sungguh ingin membangun bangsa, maka pendidikan harus menjadi ruang pembangunan manusia bukan arena politik dan proyek sementara. ***
Penulis: Ketua PC PMII Kota Bogor Abdullah Nuruz Zaini, S. Pd