Bogordaily.net – Pagi itu, pesawat itu baru saja parkir. Baru 30 menit sebelumnya ia mendarat mulus setelah terbang dari Amman, Yordania.
Pesawat itu bukan pesawat tempur. Bukan juga pesawat mata-mata. Hanya pesawat sipil biasa—Airbus A320 milik Yemeni Airlines.
Dan pagi itu, pesawat itu dihancurkan.
Israel membomnya. Di landasan pacu Bandara Internasional Sanaa. Hari Rabu. 28 Mei.
Padahal, pagi itu ia punya misi damai. Misi ibadah. Ia dijadwalkan terbang ke Jeddah, Arab Saudi. Mengangkut 300 jemaah haji.
Tapi tidak jadi.
Yang tersisa dari pesawat itu kini hanya puing. Asap. Dan duka.
Pesawat itu adalah satu-satunya pesawat komersial yang masih berfungsi di bandara itu. Kini tidak ada lagi.
Khaled al-Shaif, Direktur Bandara Internasional Sanaa, menulis di X: “Pesawat terakhir kami telah dihancurkan total.”
Ia tidak perlu menambahkan emotikon menangis. Kalimatnya sudah cukup.
Sebenarnya, pesawat itu sempat selamat dari serangan sebelumnya—pada 6 Mei lalu. Tapi umur panjangnya hanya bertahan tiga minggu. Serangan terbaru dari Israel menyusulnya dengan presisi.
Bagi Israel, ini bukan sekadar bom. Ini pesan.
Pesannya: jangan kirim dukungan ke Gaza. Bahkan dalam bentuk doa dan air zamzam.
Abdel-Malik al-Houthi tentu tidak diam. Dalam pidatonya beberapa jam setelah serangan itu, pemimpin kelompok Houthi Yaman menyebut tindakan Israel itu sebagai cara untuk mematahkan semangat rakyat Yaman mendukung Palestina.
Dan dia menjawabnya dengan janji: “Kami tidak akan mundur satu langkah pun dari mendukung Gaza.”
Ia tahu, pesawat yang dibom bukan soal logistik. Tapi simbol.
Hizbullah juga marah.
Kelompok di Lebanon itu langsung mengeluarkan kecaman keras. Menyebut serangan Israel sebagai “agresi biadab.”
Dan lagi-lagi, Amerika disebut.
“Amerika bertanggung jawab membiarkan ini terjadi,” kata mereka.
Mereka juga menyindir dunia internasional: “Diamnya memalukan.”
Kini perang Gaza tidak lagi di Gaza. Ia kini di Yaman. Di Lebanon. Bahkan bisa jadi besok di Iran.
Israel seperti sedang memberi pesan ke semua pendukung Palestina: “Jangan coba-coba. Kalian bukan pengecualian.”
Dan Yaman sudah menjawab: “Kami tidak takut.”
Yang paling menyayat hati dari semuanya mungkin ini:
Di saat orang lain sibuk menyiapkan koper untuk naik haji, rakyat Yaman justru kehilangan pesawatnya.
Dan bukan karena kerusakan teknis. Tapi karena bom.
Karena keputusan politis.
Karena satu negara memutuskan: ibadah pun tidak boleh jika kalian mendukung Palestina.
Tapi sejarah selalu punya cara untuk membalas ketidakadilan. Entah kapan. Tapi pasti.***