Wednesday, 21 May 2025
HomeNasionalPidato Dedi Mulyadi yang Viral Saat Harkitnas, Singgung Nasionalisme dan Bangsa Nyinyir

Pidato Dedi Mulyadi yang Viral Saat Harkitnas, Singgung Nasionalisme dan Bangsa Nyinyir

Bogordaily.net – Pidato Gubernur Jawa Barat Kang () yang menggelegar itu viral.

Gasibu, Bandung – Hari itu tanggal 20 Mei. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional. Pagi-pagi, langit Bandung cerah.

Podium di Lapangan Gasibu juga membara. Bukan karena matahari. Tapi karena pidato seorang .

Ya, Dedi. Gubernur Jawa Barat yang baru tiga bulan menjabat. Tapi sudah seperti lima tahun. Setidaknya begitu jika dilihat dari energi dan serangannya ke siapa pun yang dianggap “penghambat kemajuan”.

Dedi bukan orator biasa. Dia bukan tipe yang membaca naskah sambil menengok ke kiri-kanan cari kamera. Tidak.

Dedi hari itu pidato seperti sedang bertempur. Bertempur melawan “kaum nyinyir”, katanya.

Bertempur demi “anak-anak bangsa yang tersesat arah”, lanjutnya. Bertempur untuk membangkitkan, bukan sekadar memperingati.

“Saya lebih baik jadi gubernur konten tapi bisa bagi-bagi duit ke rakyat, daripada gubernur molor,” ucapnya. Pedas. Lucu. Tapi juga penuh sindiran tajam. Penonton tertawa. Tapi juga mikir. Karena banyak kepala daerah memang lebih sibuk protokoler daripada progres.

Ia menyentil mereka yang tak bisa bedakan antara kepentingan politik dan kepentingan bangsa.

“Kalau beda partai, semua salah. Kalau satu partai, semua benar. Ini bukan nasionalisme,” ujarnya.

Dan yang ia lawan bukan satu dua orang. Tapi mentalitas. Sistem. Kebiasaan diam dan apatis yang sudah terlalu lama mengakar.

Dedi memang dikenal suka ‘berisik’. Tapi kali ini, berisiknya punya ritme. Di panggung itu, dia tidak sekadar bicara soal masa lalu.

Ia bicara soal masa depan. Tentang anak-anak Jawa Barat yang kehilangan lapangan bola, kehilangan gunung, kehilangan sawah, dan digantikan dengan beton, mall, serta perumahan.

Ia bicara soal anak-anak yang kini lebih akrab dengan sangkur daripada dengan buku. Lebih fasih main game daripada menyapa orang tua.

Dan ia tidak tinggal di tataran keluhan. Ia akan membuat kebijakan sekolah kebangsaan. Di Lembang. Dengan disiplin militer. Bukan untuk menjadikan anak-anak keras, tapi agar mereka punya tulang punggung yang tegak.

Tentu saja, banyak yang mencibir. Tapi Dedi tahu: mereka yang mencibir adalah mereka yang tak pernah turun ke jalanan.

Tak pernah lihat darah remaja di trotoar. Tak pernah dengar isak orang tua yang anaknya jadi pemabuk karena lingkungan tak lagi waras.

“Kalau Anda tidak bisa bantu, minimal jangan nyinyir,” katanya.

Dan pidato belum selesai saat saya rasa ini bukan sekadar seremoni tahunan. Ini semacam deklarasi. Tentang gaya baru memimpin. Tentang keberanian mengatakan ‘tidak’ pada kebiasaan lama.

Usai pidato, ia tidak langsung masuk mobil. Ia turun podium. Menyalami satu-satu. Entah berapa puluh tangan ia genggam. Tapi mungkin itu simbol lain: bahwa ia ingin menyentuh langsung, tidak lewat protokol, tidak lewat birokrasi.

Apakah akan sukses? Tidak ada yang tahu apakah Dedi akan sukses lima tahun ke depan. Tapi satu hal pasti: pagi itu di Gasibu, semangat kebangkitan tidak hanya jadi judul acara. Ia hidup. Ia berapi-api. Ia bernama .

Dan bangsa memang butuh lebih banyak orang seperti itu. Yang bicara keras. Tapi juga kerja keras.

Yang nyentil. Tapi juga nyetel.Yang tak hanya pidato. Tapi juga turun podium.
Langsung salami rakyat. Dan pidato Gubernur Jawa Barat itu kini viral.***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here